Tulisan ini juga disajikan dalam website http://umarsaid.free.fr
yang sampai sekarang sudah dikunjungi   613 940  kali



= ==  = = = =



Peringatan Hari Pancasila 1 Juni


Nama Bung Karno berkumandang lagi !


Bung Karno berkali-kali menegaskan bahwa Pancasila adalah kiri





Kiranya,  ada hal-hal yang sangat penting dan menarik sekali tentang
peringatan hari lahirnya Pancasila 1 Juni yang dirayakan baru-baru ini yang
patut mendapat perhatian kita semua. Di antaranya adalah berkumandangnya
lagi (secara cukup gegap gempita)   nama Bung Karno sebagai tokoh besar
bangsa, dan  tingginya penghargaan masyarakat terhadap Pancasila. Tulisan
kali ini  akan berusaha menyoroti  sebagian dari hal-hal itu, sebagai bahan
untuk kajian kita bersama.



Di antara peristiwa yang sangat penting itu adalah diadakannya acara
peringatan hari yang bersejarah itu oleh MPR pada tanggal 1 Juni 2010.
Diselenggarakannya acara peringatan oleh MPR secara resmi dan juga
dilengkapi dengan pidato presiden RI adalah untuk pertama kalinya ( !)
sejak lahirnya Orde Baru hampir setengah abad yang lalu. Dan berkumandangnya
lagi nama Bung Karno sebegitu « gemuruhnya »  -- juga untuk  pertama kalinya
sejak puluhan tahun disekap  -- adalah sesuatu yang baru yang menandakan
bahwa situasi di tanahair sedang mengalami pergeseran, walaupun belum begitu
besar.



Di antara kita banyak yang masih ingat bahwa karena sikap anti-Bung Karno
dari pimpinan militer (Suharto dan para jenderalnya, dengan dukungan Golkar
beserta kalangan reaksioner lainnya) di masa lalu maka Pancasila telah
dicoba dipisahkan dari Bung Karno. Di sinilah kelihatan dilemma yang
dihadapi rejim militer Orde Baru. Sebab, oleh karena Pancasila sudah
dinyatakan sebagai dasar-dasar negara sejak Republik Indonesia dilahirkan,
maka sulit untuk merobahnya atau menentangnya.



Namun, bagi kalangan pimpinan Angkatan Darat ( dulu), adalah perlu sekali
untuk terus-menerus menjalankan « de-Sukarnoisasi » , sesudah Suharto
melakukan pengkhianatan dengan kudeta merangkak terhadap Bung Karno. Bagi
kalangan pimpinan militer (terutama AD),  yang bersekongkol dengan kekuatan
imperialisme (terutama AS), maka harus dicegah – dengan segala jalan dan
cara  -- adanya kemungkinan bagi kembalinya ketokohan Bung Karno. Untuk
mencapai tujuan itu « de-Sukarnoisasi » harus dijalankan, di segala bidang,
dan dengan berbagai cara.



Salah satu di antara banyak cara yang dijalankan adalah berusaha merekayasa,
atau memelintir, atau memalsu sejarah Pancasila. Untuk itu telah diusahakan
menyebarkan bantahan (atau penolakan) bahwa Bung Karno adalah tokoh
penggagas atau penggali Pancasila. Dikampanyekan oleh mereka (antara lain
oleh Nugroho Notosutanto, sejarawan yang mengabdi kepada kepentingan
pimpinan Angkatan Darat) bahwa sebelum Bung Karno mengucapkan pidatonya di
depan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang
mengandung isi dasar-dasar negara yang akan dibentuk kemudian ada
orang-orang lainnya yang sudah mengemukakannya terlebih  dulu.



Peringatan Hari Lahirnya Pancasila dilarang Kopkamtib



Pemelintiran  atau pemalsuan sejarah ini dimaksudkan untuk menghilangkan
sama sekali atau menghancurkan citra Bung Karno sebagai satu-satunya tokoh
bersejarah bangsa, yang mempunyai gagasan begitu besar seperti yang
dirumuskan dalam Pancasila. Usaha ini diperkuat lagi dengan dilarangnya oleh
Kopkamtib (sejak 1 Juni 1970) segala peringatan tentang Hari Lahirnya
Pancasila.



Larangan oleh Kopkamtib ini bisa diartikan sebagai usaha untuk mencegah
banyak orang tetap mengingat kepada tokoh besar bangsa, Bung Karno, yang
sebelum G30S adalah satu-satunya pemimpin yang paling dihormati oleh semua
golongan yang berjuang melawan imperialisme beserta kakitangannya di
Indonesia.



Larangan Kopkamtib untuk memperingati Hari Lahirnya Pancasila 1Juni adalah
bukti tambahan lagi bahwa pimpinan Angkatan Darat (waktu itu) memang
mempunyai rencana menghilangkan nama besar atau sosok agung Bung Karno dari
sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Larangan ini adalah kelanjutan dari
tindakan pimpinan militer menempatkan Bung Karno dalam tahanan rumah dengan
perlakuan yang sama sekali tidak manusiawi, sampai wafatnya dalam keadaan
yang mengenaskan sekali.



Seluruh politik Orde Baru adalah anti-Pancasila



Rekayasa  dan pemalsuan Pancasila adalah salah satu di antara banyak sekali
kejahatan pimpinan Angkatan Darat (dulu)  terhadap Bung Karno yang dilakukan
oleh rejim militer Orde Baru. Selama 32 tahun lamanya Orde Baru telah
menggembar-gemborkan Pancasila, Pancasila, Pancasila, padahal prakteknya
adalah sama sekali serba bertentangan dengan isi atau jiwa atau tujuan
Pancasila yang asli dan sebenarnya.



Boleh dikatakan bahwa seluruh politik dan praktek rejim Orde Baru selama
puluhan tahun itu adalah pengkhianatan atau pengrusakan atau pembusukan
Pancasilanya Bung Karno. Salah satu bentuknya adalah pembentukan Badan
Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila dan dipaksakannya penataran P4 ( Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasilla) yang membosankan dan kosong isinya di seluruh
Indonesia.



Suharto beserta rejim militernya tidak mungkin bisa menjiwai dan
mempraktekkan Pancasila yang asli dan sebenarnya, karena sikapnya yang
anti-Bung Karno. Sedangkan, Bung Karno dan Pancasila adalah satu dan
senyawa, dan tidak bisa dipisahkan. Jadinya, jelaslah kiranya, bahwa
orang-orang atau golongan yang anti-Bung Karno tidak mungkin menjadi
penganut atau penjunjung Pancasila yang sejati. Dari sudut ini bisalah kita
katakan bahwa kalangan atau golongan yang anti-Bung Karno pada hakekatnya
adalah pengkhianat Pancasila.



Perlulah kiranya sekali lagi ditekankan bahwa Orde Baru telah melakukan
banyak sekali dan berbagai macam kesalahan atau pelanggaran atau kejahatan
yang bertentangan dengan jiwa atau isi Pancasila yang asli, yaitu
Pancasilanya Bung Karno. Dan ini dilakukan dalam bidang politik, ekonomi,
sosial, kebudayaan,  dan moral selama puluhan tahun itu. Bisalah dikatakan
bahwa dengan merusak jiwa Pancasila  itu pada hakekatnya atau sebenarnya
pimpinan Angkatan Darat (dulu) sudah merusak negara dan bangsa. Akibat
kerusakan yang parah  itu dapat kita saksikan dengan jelas dengan adanya
kebusukan, kebobrokan, dan kebejatan yang terjadi terus-menerus sampai
dewasa ini di seluruh negeri.



Rindu kepada kepemimpinan yang mempersatukan bangsa


Oleh karena itulah kita bisa melihat adanya peringatan Hari Lahirnya
Pancasila yang diselenggarakan oleh MPR (harap catat :  lembaga tertinggi
negara ) sebagai peristiwa penting dalam usaha untuk meluruskan sejarah dan
menempatkan Bung Karno pada tempat terhormatnya yang layak dan kedudukan
agungnya yang seharusnya pula.



Arti penting lainnya dari peringatan oleh MPR kali ini adalah satu indikasi
bahwa usaha pimpinan Angkatan Darat  (dulu) untuk menghapus atau memperkecil
ketokohan raksasa Bung Karno sebagai pemimpin bangsa yang sebenarnya sudah
gagal. Tanda-tanda kegagalan pimpinan  Angkatan Darat (dulu) untuk melakukan
« de-Sukarnoisasi » ini juga kelihatan dari diucapkannya pidato presiden SBY
(nota bene mantan pimpinan tinggi Angkatan Darat) selama 30 menit, yang pada
pokoknya berisi hal-hal yang positif tentang Bung Karno dan Pancasilanya.



Apakah pidato presiden SBY mengenai Bung Karno dan isi Pancasila itu karena
dipaksa oleh karena jabatannya sebagai presiden, ataukah hanya merupakan
lamis bibir dengan perhitungan-perhitungan politik tertentu, pastilah akan
sama-sama kita ketahui jawabannya tidak lama lagi di kemudian hari.



Karena adanya sekarang ini banyak sekali keresahan atau kekuatiran
masyarakat akibat timbulnya pertentangan suku, agama, perasaan kedaerahan,
kesenjangan sosial yang makin menganga lebar-lebar, sebagai akibat buruknya
situasi politik, ekonomi, sosial, maka timbullah rasa rindu kepada adanya
kepemimpinan dan pedoman yang bisa mempersatukan seluruh bangsa untuk
mengatasi persoalan-persoalan besar dan parah bangsa tersebut.



Juga adanya segolongan kecil dari kalangan Islam fanatik, yang mengadakan
berbagai kegiatan   -- terbuka maupun tertutup --  untuk mendirikan negara
Islam dan, karenanya, menentang atau mempersoalkan Pancasila, menggugah
kesedaran banyak orang untuk menghidupkan kembali arti penting Pancasila
yang asli seperti yang diajarkan Bung Karno.



Perubahan-perubahan besar untuk restorasi Indonesia


Dan, dalam menghadapi berbagai persoalan besar yang parah, yang menyebabkan
kesengsaraan atau penderitaan sebagian besar rakyat kita (kemiskinan yang
meluas, pengangguran yang membengkak, kesehatan rakyat yang tak terurus,
pendidikan yang terbengkalai, kebejatan moral yang merajalela, korupsi yang
mengganas) banyak orang jadinya ingat bahwa Pancasila selama ini tidak
dipraktekkan sama sekali.



Pentingnya arti Pancasila (yang asli) juga diangkat secara serius oleh
simposium Nasional Demokrat (yang dipimpin Surya Paloh) yang dengan thema
« Restorasi Indonesia » telah mengajak banyak tokoh dan pakar dari berbagai
bidang untuk membahas adanya urgensi untuk melaksanakan gagasan-gagasan
besar Bung Karno dalam menghadapi masalah-masalah besar dewasa ini dan di
masa datang.



Dalam batas tertentu dapatlah dikatakan bahwa simposium « Restorasi
Indonesia » di Jakarta (tanggal 1 dan 2 Juni) diliputi oleh suasana hari
peringatan Pancasila 1 Juni dan penghormatan kepada sosok besar Bung Karno.
Dalam suasana yang demikian ini telah dikupas berbagai masalah-masalah besar
yang sedang dihadapi oleh bangsa dan negara, dan  solusinya atau jalan
keluarnya, dengan mengadakan perubahan-perubahan yang sudah mendesak. Ini
semua merupakan angin segar, ketika situasi di Indonesia sedang diselimuti
oleh kepengapan yang penuh dengan kemunafikan, kepura-puraan, yang
mencerminkan kerusakan moral yang meluas.



Korban Orde Baru : pelanggaran besar terhadap Pancasila



Namun demikian, dalam memperingati Hari Lahirnya Pancasila 1 Juni kali ini
seyogyanya kita semua tidak melupakan adanya pelanggaran besar-besaran atau
penginjak-injakan hasil gagasan agung Bung Karno ini oleh Orde Baru, yaitu
masih terkatung-katungnya atau diterlantarkannya (sampai sekarang !) kasus
para korban Orde Baru yang terdiri dari anggota dan simpatisan PKI beserta
sanak saudaranya. Mereka ini terdiri dari keluarga orang-orang yang dibunuhi
secara besar-besaran, atau terdiri dari para tapol berserta keluarganya,
yang sudah disengsarakan selama puluhan tahun.



Kalau dilihat dari berbagai segi, dan direnungkan dalam-dalam, perlakuan
pimpinan Angkatann Darat (Orde Baru) terhadap golongan kiri penganut politik
Bung Karno ini (terutama golongan PKI)  termasuk pelanggaran  berat dan
besar sekali terhadap sila-sila Pancasila yang terdiri : Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan, dan
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia



Berbagai pelanggaran berat rejim Suharto (yang didukung oleh Golkar dan
kalangan reaksioner di Indonesia maupun di luar negeri) terhadap golongan
kiri ini kelihatan lebih jelas kalau diingat bahwa Pancasila ini tidak
dimusuhi oleh golongan kiri dan juga bahwa Pancasila juga sama sekali tidak
anti-kiri.



Bahkan, sebaliknya ( !!!) menurut penjelasan penggagasnya atau penggalinya,
yaitu Bung Karno, justru Pancasila adalah kiri. Mungkin, ada orang yang baru
mendengar untuk pertama kalinya bahwa bahwa Bung Karno pernah berkali-kali
menegaskan bahwa Pancasila adalah kiri. Namun, bagi orang yang meragukannya
perlulah dikutip pernyataan oleh « sumbernya » yang paling berhak (dan juga
paling sah )untuk menjelaskannya sendiri.



Bung Karno : « Pancasila adalah kiri dan anti kapitalisme’


Penjelasan Bung Karno bahwa Pancasila adalah kiri, dapat dibaca oleh
siapapun juga dalam buku « Revolusi belum selesai » (jilid I dan II), yang
beberapa kutipannya antara lain adalah sebagai berikut :



« Sayalah, saudara-saudara, yang mengerti benar arti, idée, dari Pancasila.
Idée, sebagai ku katakan  tadi, syukur Alhamdulillah terhadap kepada Allah
SWT, saya yang menggali lima mutiara dari pada bumi Indonesia ini. Saya yang
memformuleer (pen. Bhs Bld . Memformulasi)  Pancasila. Saya yang
mempersembahkan Pancasila ini ke hadapan sidang dari pada pemimpin-pemimpin
Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Sayalah, saudara-saudara, jadi aku
tahu Pancasila itu apa. »   (« Revolusi belum selesai », halaman 428)



« Jangan kira, saudara-saudara, kiri is alleen maar (pen. hanya)
anti-imperialisme.  Jangan kira kiri hanya imperialisme, tetapi kiri juga
anti uitbuiting (pen.pemerasan)  Kiri adalah juga menghendaki satu
masyarakat yang adil dan makmur, di dalam arti tiada kapitalisme, tiada
exploitation de l’homme par l’homme, tetapi kiri. Oleh karena itu, maka saya
berkata tempo hari, Pancasila adalah kiri. Oleh karena apa ? Terutama sekali
oleh karena di dalam Pancasila adalah unsur keadilan sosial. Pancasila
adalah anti kapitalisme. Pancasila adalah anti –exploitation de l’homme par
l’homme. Pancasila adalah anti exploitation de nation par nation. Karena
itulah  Pancasila kiri ».  (« Revolusi belum selesai », halaman 77)



Hal-hal yang diangkat seperti tersebut di atas menunjukkan bahwa Bung Karno
adalah betul-betul seorang pemimpin revolusioner, yang mengemban
gagasan-gagasan kiri yang dituangkannya dalam Pancasila dan
ajaaran-ajarannya yang lain dalam memimpin revolusi rakyat Indonesia. Dan
ajaran-ajaran revolusionernya itu pada pokoknya masih relevan untuk diambil
jiwanya atau isinya untuk menghadapi berbagai masalah besar bangsa dan
negara kita dewasa ini.



Paris, 2 Juni 2010



A. Umar Said



* * *


















[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke