Refleksi : Sekalipun TKI penyumbang devisa kedua setelah Migas, tetapi sektor 
ini yang paling tidak dilindungi oleh negara dan rezim berkuasa. 

Jadi kalau TKI adalah salah satu sumber utama devisa negara, dan perlu 
diperbesar sumbernya, maka angka kelahiran penduduk perlu dijaga agar selalu 
tinggi. Dengan lain kata tidak perlu adanya program keluarga berencana. 
Barangkali  tanpa dikumandang, dijalankan praktek policy kepndudukan yang 
demikian ialah dengan listerik dikedip-kedipkan agar supaya penduduk lekas bobo 
pada malam hari, tidak membuang-buang waktu untuk nonton TV dan takut keluar 
rumah nanti disambar gendruwo, jadi bisa banyak calon-calon TKI yang lahir. 

Sebagai sumber devisa, maka sepatutnya tidak ada lagi dipakai istilah "TKI 
illegal", sebab tenaga kerja distempel illegal, tetapi uang yang dikirim 
menjadi devisa legal membuat rezim tepuk dada dengan memuji diri tentang 
keahliannya mengatur cadangan devisa.  

http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=56898:tki-sumbang-devisa-negara-terbesar-kedua-setelah-migas&catid=26:nasional&Itemid=44


      TKI Sumbang Devisa Negara Terbesar Kedua setelah Migas      
      Jakarta, (Analisa)

      Sumbangan devisa negara yang berasal dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) 
masih menduduki urutan kedua terbesar setelah sektor minyak dan gas (migas). 

      Pada tahun 2009 saja devisa TKI melalui pengiriman remitansi ke Tanah Air 
mencapai US$ 6,617 miliar.

      "TKI menyumbang devisa terbesar kedua setelah migas," kata Ketua 
Pergantian Antar Waktu (PAW) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Adi Putra Tahir 
dalam acara Seminar Nasional Mengurai Benang Kusut Penempatan dan Perlindungan 
Tenaga Kerja di Luar Negeri, di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (2/6).

      Ia menuturkan kebijakan penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja 
Indonesia (TKI) masih belum maksimal. Sehingga kata dia pembenahan masalah 
penempatan dan perlindungan TKI harus menjadi gerakan nasional yang tertata 
baik dan sinergi.

      "Saya harapkan ini menjadi gerakan nasional yang rapi, para stakeholder 
harus berjalan sinergis. Perlu perhatian khusus mulai dari perekrutan, 
penempatan, bahkan perlindungannya," jelas Adi.

      Menurut Adi, banyaknya TKI yang bekerja ke luar negeri tidak terlepas 
dari penyediaan lapangan kerja oleh pemerintah yang masih terbatas. Laju 
pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan mencapai 6% masih belum mengangkat 
ketersediaan lapangan kerja di tanah air.

      Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri jumlah TKI yang bekerja di luar 
negeri mencapai 3,246 juta orang tersebar di banyak negara. Dari jumlah itu 
hingga tahun 2009 kasus TKI bermasalah mencapai 69.004 orang.

      Indonesia bisa menempatkan tenaga kerja luar negeri (TKI) sampai 10 juta 
orang atau sekitar lima persen dari jumlah penduduknya.

      Hal tersebut diungkapkan Ketua Komite Tetap Penempatan Tenaga Kerja Luar 
Negeri Kadin, Nurfaizi, dalam seminar tentang TKI yang diselenggarakan oleh 
Kadin di Jakarta, Rabu (2/6).

      Nurfaizi yang juga Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Jasa TKI (APJATI) itu 
membandingkan dengan Filipina yang telah menempatkan 10 persen dari jumlah 
penduduknya untuk bekerja di luar negeri.

      "Hasil, Pilipina meraup devisa hingga 15 miliar dolar AS per tahun dan 
menjadi penghasil yang terbesar dari seluruh devisa yang dihasilkan oleh 
pemerintah Filipina," katanya.

      Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, katanya, penempatan TKI telah 
mencapai empat juta orang dan ditargetkan bertambah empat juta orang pada dua 
tahun mendatang.

      "Itu bila didukung semua pihak dan komitmen pemerintah yang konsisten," 
katanya.

      Peningkatan jumlah penempatan TKI dengan pertumbuhan 21 persen per tahun 
mulai dari 2004 yang berjumlah 380.690 orang menjadi 696.743 orang pada 2007 
dengan negara tujuan Timur Tengah dan Asia Pasifik.

      Nurfaizi mengatakan penempatan TKI di sektor informal masih mendominasi 
hingga 78 persen, sedangkan penempatan untuk kawasan Asia Pasifik pada sektor 
formal bisa mencapai 52 persen pada tahun-tahun terakhir.

      Secara umum, katanya, ada peningkatan jumlah penempatan TKI yang tidak 
hanya dilihat sebagai keberhasilan program penempatan TKI, tapi juga 
meningkatnya jumlah angkatan kerja yang tidak sebanding dengan ketersediaan 
lapangan kerja di dalam negeri.

      Mengutip data Kemnakertrans, Dirjen Protokol dan Konsuler Kementerian 
Luar Negeri, Lutfi Rauf, mengatakan ada 2,8 juta orang TKI pada kurun 2005-2009 
dengan "remittance" (pengiriman uang TKI ke dalam negeri) mencapai 6.617 dolar 
AS pada 2009 dengan 69.004 TKI yang bermasalah selama tahun 2009.

      Selama 2009, Kemlu berkoordinasi dengan Perwakilan RI telah berhasil 
mengupayakan pemenuhan hak-hak normatif TKI yang mengalami permasalahan di luar 
negeri dengan hak-hak normatif yang terhimpun mencapai 438.750 dolar AS dan 
326.495 dolar Singapura.

      Pada Januari - Mei 2010, Kemlu dan Perwakilan RI berhasil memfasilitasi 
pemenuhan hak-hak normatif TKI sebanyak 156.416 dolar AS, Rp185.736.941, 1.845 
dirham Uni Emirat Arab, 4.800 riyal dan 140.000 dolar Singapura.

      Untuk kasus-kasus TKI antara lain gaji yang tidak dibayar, pelecehan 
seksual, gaji dibayar rendah, penganiayaan, kasus pembunuhan, kecelakaan kerja, 
"trafficking" (perdagangan manusia), pelanggaran keimigrasian, dan sebagainya.

      Lutfi mengatakan kendala yang mereka temukan dalam perlindungan WNI 
antara lain tidak dipatuhinya aturan dan perundangan, Pemerintah RI belum 
memiliki perjanjian bilateral dengan semua negara penempatan TKI, pengiriman 
TKI secara ilegal, dan TKI yang tidak kompeten.

      Menlu Marty Natalegawa dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi I DPR RI 
pada 2 Desember 2009 mengatakan masalah perlindungan WNI di luar negeri adalah 
prioritas Kemlu. (dtc/Ant)
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke