Refleksi: Rezim yang mengasosiasikan diri dengan feodalisme memerlukan adanya 
kastanisasi sistem pendidikannya, karena dengan begitu kekuasaan negara bisa 
dijamin terpelihara keselamatannya oleh kasta  terdidik lapisan atas dan yang 
tidak terdidik dimanipulasi semikian rupa supaya tetap mendukung lapisan atas 
yang biasanya disebut kaum bangsawan atau juga elit masyarakat.

Dari segi ekonimi, region gegrafis negara dibagi dalam region pemberi upeti dan 
region penerima upeti. Pusat kekuasaan bertahta adalah penerima dan gudang 
penambung upeti. Keuntungannya dari pembagian demikian ialah sri baginda dan 
kaum bangsawannya lebih berdesposisi untuk mengontrol dan mengkonsumsi upeti.



http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=showpage&kat=7

[ Jum'at, 04 Juni 2010 ] 


Kastanisasi Pendidikan 
Oleh Ki Supriyoko


MESKI telah banyak keluhan tentang rintisan sekolah berstandar internasional 
(RSBI), Pak M. Nuh selaku menteri pendidikan mengisyaratkan tidak akan menutup 
sekolah tersebut. Sebab, UU Sisdiknas mengamanatkan supaya pemerintah dan/atau 
pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan 
pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang 
bertaraf internasional.

Hal itu disampaikan menteri pendidikan ketika meresmikan Taman Bacaan dan Balai 
Belajar Bersama di City of Tomorrow Surabaya, 30 Mei. Pak Nuh menyatakan 
pihaknya telah menerima keluhan masyarakat tentang relatif tingginya biaya 
pendidikan di RSBI, sehingga banyak anak miskin yang tidak mampu menikmatinya. 
Karena itu, Kementerian Pendidikan Nasional sudah merencanakan evaluasi 
terhadap keberadaan dan kinerja RSBI.

Kastanisasi Pendidikan 

RSBI memang pantas disyukuri sekaligus dienggani masyarakat kita. Disyukuri 
karena proses pendidikan di RSBI relatif lebih baik daripada sekolah pada 
umumnya, sehingga (diharapkan) menghasilkan lulusan yang lebih berkualitas. 
Proses pendidikan di RSBI didukung sarana dan prasarana belajar yang lebih 
memadai, guru yang berpendidikan minimal magister, guru yang dapat berbahasa 
Inggris untuk semua pelajaran, perangkat ICT yang lebih komplet, dan sebagainya.

Pada sisi lain, RSBI juga dienggani masyarakat, khususnya masyarakat tidak 
berpunya secara finansial (the have not). Apa artinya berkualitas dan 
berstandar internasional kalau hanya dapat dinikmati kalangan berduit (the 
have). Bukankah negara ini tidak hanya milik orang-orang yang berduit?

Kehadiran RSBI memang menimbulkan kastanisasi pendidikan, mulai kasta yang 
rendah, kasta menengah, sampai kasta yang tinggi, kalau dilihat dari sisi 
finansial.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, sekolah negeri dilarang menarik iuran untuk 
keperluan biaya operasional sekolah karena sudah mendapat bantuan secara 
langsung maupun tidak langsung, baik oleh pemerintah (pusat) maupun pemerintah 
daerah, dalam bentuk bantuan operasional sekolah (BOS), insentif guru, dan 
sebagainya. Implikasinya, para siswa sekolah negeri bebas dari biaya sumbangan 
pembinaan pendidikan (SPP) dan semacamnya. Artinya, orang tua tidak perlu 
mengeluarkan biaya SPP dan semacamnya.

Lain sekolah negeri, lain sekolah swasta. Meski sudah mendapat bantuan 
pemerintah berupa BOS dan insentif guru, banyak sekolah swasta yang menarik SPP 
kepada siswa karena bantuan tersebut dirasa belum mencukupi kebutuhan sekolah. 
Namun, besarnya SPP yang ditarik relatif terbatas. Sebab, kalau menariknya 
terlalu besar, pemerintah bisa menghentikan BOS, insentif guru, dan lainnya.

Lain sekolah negeri, lain sekolah swasta, dan lain pula RSBI. Sekolah yang 
berstatus RSBI secara resmi dihalalkan dan dilegalkan menarik iuran dari siswa, 
termasuk iuran untuk biaya operasional. Jumlahnya pun relatif tidak terbatas. 
Karena itulah, banyak sekolah berstatus RSBI yang menarik iuran dalam jumlah 
''tidak terkira'', sehingga hanya bisa dibayar oleh orang-orang yang 
berkecukupan.

Dari ilustrasi tersebut, tampak adanya kasta-kasta dalam pembayaran pendidikan. 
Hal yang sangat tidak relevan dengan amanat UUD 1945 yang memberikan hak kepada 
semua warga negara untuk mendapatkan pelayanan pendidikan, termasuk pelayanan 
RSBI.

Bertaraf Internasional 

Kalau kita mengacu pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas, memang ada kewajiban bagi 
pemerintah dan/atau pemerintah daerah untuk menyelenggarakan sekurang-kurangnya 
satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi 
satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Sayangnya, UU tersebut sama 
sekali tidak memberikan penjelasan akan maksud bertaraf internasional.

Kalau kita menafsirkan terminologi bertaraf internasional itu dari sisi 
kurikulum, jelas tidak benar karena tidak ada kurikulum pendidikan yang 
disepakati masyarakat secara internasional. ''Kurikulum Cambridge'' memang 
banyak diaplikasikan oleh sekolah di Inggris dan negara-negara bekas jajahan 
Inggris. ''Kurikulum IBO'' memang banyak diaplikasikan sekolah di Prancis dan 
Jepang. Namun, semua itu bukan berarti kurikulum internasional. Sama-sama 
sekolah di Australia saja, kurikulumnya berbeda kalau provinsi atau teritorinya 
berbeda.

Kalau kita menafsirkan terminologi bertaraf internasional dari dimensi 
kualitas, juga tidak tepat. Sebab, sampai sekarang tidak ada kualitas 
internasional itu. Di Australia ada sekolah-sekolah yang sangat terkenal. 
Yaitu, Billanook School dan Trinity School. Sama-sama berkualitas, tapi 
ukurannya berbeda.

Kalau kita menafsirkan terminologi bertaraf internasional dari dimensi kiblat, 
barangkali lebih tepat. Disebut bertaraf internasional kalau sekolah itu 
memiliki ciri khas dan/atau keunggulan tertentu, sehingga dijadikan kiblat oleh 
sekolah-sekolah lain secara internasional.

Kita bisa saja, misalnya, mendirikan sekolah batik yang dijadikan kiblat oleh 
sekolah-sekolah lain di mancanegara. Demikian pula, kita mampu mendirikan 
sekolah karawitan, sekolah pewayangan, sekolah tari bali, dan lainnya.

Pak Nuh..., evaluasi terhadap RSBI hendaknya tidak semata-mata menyangkut 
kastanisasi pendidikan yang memang harus segera dihentikan, tapi juga 
menyangkut kejelasan konsep sekolah berstandar ataupun bertaraf internasional 
itu sendiri! (*)

*) Prof Dr Ki Supriyoko SDU MPd , direktur Pascasarjana Universitas 
Sarjanawiyata Tamansiswa Jogjakarta, mantan anggota Badan Pertimbangan 
Pendidikan Nasional (BPPN) dan sekretaris Komisi Nasional (Komnas) Pendidikan 
Indonesia 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke