Langkah Berikut Israel dan Para Pembelanya

Oleh: Salim Said



Berhasil menggagalkan usaha menembus blokade Israel atas Gaza, langkah
berikut Israel dan para pembela mereka di Amerika Serikat adalah
menyelamatkan Israel dari sasaran kemarahan dunia sebagai akibat
tindakan bersimbah darah pasukan komando tentara Israel di perairan
internasional. Untuk tujuan itu yang jadi sasaran adalah Turki, negara
yang menjadi tempat pemberangkatan flotilla bantuan kemanusian yang
diserang Israel itu. 



Syahdan, maka dalam beberapa hari ini para pembela Israel memfokuskan
serangan mereka kepada Perdana Menteri Turki, Tayyip Erdogan. Harian
Wall Street Journal , terbitan New York, edisi 4 Juni lalu secara tegas
menuduh Erdogan lebih bertanggung jawab, -- tinimbang Perdana Menteri
Israel, Netanyahu – atas insiden berdarah di atas kapal pembawa bantuan
ke Gaza itu. Koran itu menuduh Erdogan paling sedikit mendukung
pelayaran ke Gaza “kalau tidak malah ikut merencanakannya.” 



Ditulis secara rinci pada koran milik Rupert Mordoch tersebut apa yang
mereka sebut sebagai hasil penelitian wartawannya yang mengungkapkan
hubungan antara pemerintahan Erdogan dengan IHH (Lembaga Untuk Hak
Azasi, Kemerdekaan dan Bantuan Kemanusiaan) yang “secara luas
dilaporkan mempunyai hubungan dengan Hamas, grup teroris yang menguasai
Gaza dan secara langsung membahayakan Israel.”



Ditulis juga oleh koran tsb bahwa “Pemerintah Turki mulai melakukan
sendiri penyelidikan kriminal terhadap IHH pada Desember 1997, yakni
ketika sejumlah sumber mengungkapkan bahwa pimpinan IHH membeli
sejumlah senjata otomatik dari kaum Islam radikal di kawasan sekitar
Turki. Waqktu itu kantor IHH di Istanbul digeledah dan sejumlah
tokohnya ditahan…” “ [Tapi] setelah menganalisa dokumen-dokumen IHH
yang disita aparat keamanan, pemerintah Turki menyimpulkan bahwa
orang-orang IHH yang mereka tahan itu sebenarnya merencanakan untuk
berjihad di Afganistan, Bosnia dan Chechnia.”



Ditambahkan dalam tulisan tersebut bahwa Erdogan secara vokal
menyerukan kepada dunia untuk mengakui Hamas. Di samping itu hubungan
membaik Turki dengan Sirya dan Iran, keduanya musuh Amerika dan Israel,
juga dikemukakan sebagai bukti makin bergesernya Turki kearah radikal
Islam.



Ditekankan oleh koran tersebut bahwa kebijakan Erdogan itu sangat
merisaukan Obama dan pemerintahan Israel. Presiden [Obama] telah
menanam investasi yang banyak untuk memperbaiki hubungan dengan
pemerintahan Erdogan dan opini publik di Turki. Balasan [dari Turki]
adalah diplomasi yang mengacau dalam urusan Iran dan provokasi dalam
hubungan dengan Israel.”



Sehari sebelumnya, pada edisi 3 Juni, Wall Street Journal memuat kolom
Robert L. Pollock, editor opini koran tersebut. Pollock memulai
serangannya dengan menyebut Turki akhir-akhir ini sedang bergerak
merosot kearah “madness” (gila).Menurut kolumnis dan editor opini ini,
“Orang-orang Turki secara teratur disuapi dengan informasi tentang apa
yang mereka sebut sebagai pembantaian yang dilakukan oleh tentara
Amerika di Irak, kadang dengan tambahan bahwa Amerika berperang untuk
melindungi Israel.” Disebutkan juga bahwa koran Yeni Safak, bacaan
sehari-hari Erdogan, memberitakan bahwa banyak mayat orang Irak
dilemparkan begitu saja ke sungai Euphrates, sehingga para Mullah
terpaksa mengeluarkan fatwa melarang orang makan ikan dari sungai
tersebut.



Di akhir kolomnya, Pollock menyerukan kepada Amerika agar tidak sampai
ditipu oleh Erdogan dan pemimpin Turki lainnya. “Mereka itu adalah para
demagog yang mengeksploitasi elemen-elemen terburuk di dalam negeri
mereka dan di seluruh Timur Tengah.



Untuk sekedar mengerti latar belakang serangan dan pengkambinghitaman
Erdogan dan Turki ini, kita pertama-tama haruslah mempunyai informasi
mengenai arti Turki bagi Israel. Sebelum Mesir mengakui Israel –hasil
Camp David pertama—maka hanya ada dua negeri Muslim yang memiliki
hubungan baik dengan Israel, Turki dan Iran di bawah Shah Pahlevi.
Hubungan diplomatik dengan kedua Negara berpenduduk mayoritas Muslim
itu merupakan tambahan peluang bagi Israel untuk merasa lebih aman
menindas Palestina yang juga mayoritas Muslim. Dengan latar belakang
seperti inilah juga kita harus faham gencarnya usaha Israel untuk
mendapat pengakuan dari Indonesia. 



Ayatollah Khomeini pada tahun 1979 memutuskan hubungan diplomatik Iran
dengan Israel. Yang tersisa adalah Turki yang hingga kini masih
mempunyai bukan saja hubungan diplomatik , budaya dan ekonomi, tapi
bahkan juga hubungan militer. Dalam posisi sebagai negara besar di
kawasan itu arti Turki sangatlah besar bagi Israel.



Bangkitnya Islam di Turki bersamaan dengan mengendurnya peran militer
yang amat sekuler, perlakukan tidak simpatik Eropa terhadap Turki
(terus dipersulit menjadi anggota Uni Eropa, antara lain karena
mayoritas orang Turki adalah Muslim), mendorong munculnya orientasi
baru dalam langkah-langkah diplomasi Turki. Putus asa akibat penolakan
Eropa, dan tekanan warganya untuk bertindak terhadap teror Israel
kepada penduduk Gaza akhirnya memaksa pemerintah Turki melihat ke dalam
dirinya sendiri serta sejarahnya. 



Negeri itu (sebagai Ottoman Empire dahulu) adalah penguasa untuk waktu
ratusan tahun atas sejumlah wilayah di Asia Barat, Jazirah Arab, Afrika
Utara serta Eropa Timur dan Selatan. Kebesaran masa lalu itulah yang
berperan besar dalam membentuk persepsi diri dan kebijakan
internasional Turki sekarang ini.Yang tampak sangat menyolok dari
perubahan itu adalah kebijakan regional Turki terhadap negera-negara
tetangganya. Bersimpati secara terbuka kepada penderitaan Palestina
terutama di Gaza, membina hubungan baik dengan Sirya dan Iran
(ketiganya musuh Amerika dan Israel) adalah langkah-langkah baru
diplomasi Turki yang amat merisaukan Amerika, tapi terutama Israel.



Jika perkembangan baru Turki ini diletakkan dalam konteks sejarah
keterlibatan Amerika di Timur Tengah dan belahan dunia lainnya di masa
perang dingin dahulu, maka tidak sulit diduga tujuan yang diimpikan
para penyerang Erdogan dan Turki tersebut. Serangan secara teratur dan
terfokus oleh para pembela Israel itu mudah untuk ditafsirkan sebagai
satu usaha memprovokasi Amerika untuk mendorong Tentara Turki
menggulingkan pemerintahan Erdogan. Di masa perang dingin Amerika
terbiasa melakukan praktek semacam ini di Timur Tengah, Asia Selatan,
Asia Timur, Asia Tenggara dan Latin Amerika. Apakah resep lama itu
masih akan dipakai lagi? Paling sedikit nampaknya itulah harapan yang
tercermin dari kampanye pembela Israel di Amerika Serikat sekarang. ***




Salim Said adalah mantan Dubes RI Untuk Republik Ceko dan Guru Besar Ilmu 
Politik.




 



  






      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke