http://www.suarakarya-online.com/news.html?category_name=Opini 

            Penyederhanaan Parpol dan Demokrasi
            Oleh M Sabil Rachman 



            Jumat, 11 Juni 2010

            Hari-hari ini, usulan tentang penyederhanaan partai politik sudah 
mulai ramai diperdebatkan. Wakil Ketua Umum Partai Golkar Theo L Sambuaga saat 
menutup Rakornas Legislator Partai Golkar, 6 Juni 2010, di Hotel The 
Ritz-Carlton, Jakarta, menegaskan bahwa penyederhanaan partai politik merupakan 
agenda mendesak untuk meningkatkan kinerja parlemen. 

            Pernyataan tersebut memperkuat komitmen Partai Golkar yang dalam 
rakornas tersebut diharapkan memelopori upaya penyederhanaan parpol dengan 
menaikkan angka parliamentary threshold (PT) menjadi lima persen. Penetapan itu 
secara alami bisa mengurangi jumlah parpol di Indonesia sehingga stabilitas 
politik dan pendewasaan demokrasi bisa ditata sejak dini. Gagasan ini tampaknya 
bisa terwujud mengingat Partai Demokrat, kekuatan politik terbesar di parlemen, 
saat ini telah memberikan isyarat dukungan. 

            Rencana itu sendiri telah mendapat tanggapan luas dari publik. 
Partai-partai kecil yang pada Pemilu 2009 gagal mencapai target 2,5 persen, 
sejak dini bereaksi menolak gagasan tersebut. Penyederhanaan parpol dianggap 
cermin dari arogansi parpol besar, terutama Partai Demokrat dan Partai Golkar. 
Beberapa akademisi juga menuduh gagasan itu adalah indikasi kepanikan parpol 
besar yang tidak siap berkompetisi. Bahkan, ada yang mengkhawatirkan bahwa 
menaikkan angka PT hingga lima persen berpotensi menghambat kebebasan politik 
dan mencederai demokrasi. Benarkah? 

            Rasional


            Penyederhanaan parpol merupakan agenda rasionalisasi politik. Sejak 
Orde Baru tumbang, politik dan reformasi dilanda euforia yang luar biasa. Tapi, 
ternyata ini bukan berita gembira. Kebebasan politik dan reformasi yang 
semestinya menggaransi kemajuan dan kesejahteraan, dalam kenyataannya tidak 
terbukti. Pradjarto (2002) mencatat bahwa reformasi telah disalahtafsirkan. Di 
beberapa daerah di Jawa Tengah, misalnya, reformasi berarti seorang pemimpin 
bisa dipaksa lengser dengan kekuatan rakyat yang besar dan brutal meski 
kesalahannya belum bisa dibuktikan. 

            Studi Alfred Stepan (1978) tentang nasib megara-negara yang 
mengalami transisi politik di Amerika Latin tahun 1970-an memberikan sinyal 
bahwa kebebasan politik tanpa dilandasi kesadaran kritis justru mempertaruhkan 
demokrasi itu sendiri. Stepan mencatat bahwa 70 persen negara yang menghadapi 
transisi politik gagal menggapai demokrasi. Sebaliknya, negara-negara itu malah 
kembali terperangkap dalam jebakan otoriterisme karena kekuasaan memerlukan 
stabilitas dan eifisiensi. 

            Banyaknya parpol di negeri ini tidak otomatis merupakan cermin 
tingginya semangat berdemokrasi di kalangan elite politik. Kemudahan mendirikan 
parpol menstimulasi elite untuk berlomba memperebutkan kekuasaan tanpa 
pertimbangan matang. Banyak parpol didirikan tanpa elaborasi ideologi yang 
jelas dan visi yang terukur serta aplikatif. Infrastruktur kelembagaan parpol 
dan basis konstituennya lemah sehingga gagal membangun kekuatan politik yang 
pantas diperhitungkan. 

            Sialnya, avonturisme elite ini mendapat dukungan dari rakyat yang 
belum lepas dari jebakan patronase politik. Di banyak daerah, pilihan politik 
rakyat sering didasarkan pada tampilan luar seperti isu agama, suku, dan 
entitas budaya. Ideologi dan isu yang menjadi basis pelembagaan politik sering 
masih menjadi faktor sekunder. 

            Jika demikian, penyederhanaan parpol menjadi agenda mendesak untuk 
mendorong lahirnya rasionalisasi politik. Intinya adalah bahwa kebebasan 
berpolitik bukanlah modal tunggal untuk meraih kekuasaan. Kebebasan politik 
juga harus dibangun atas kesadaran rasional bahwa dukungan publik hanya mungkin 
diberikan jika suatu kekuatan politik bisa memenuhi beberapa syarat berikut, 
yaitu (1) kemampuan untuk memetakan konstituen (party rooting); (2) adanya 
pengakuan dari publik (party legitimacy); (3) tersedianya aturan dan regulasi 
yang jelas (rule and regulation) dan kemampuan untuk bersaing (competitiveness) 
(Wicipto Setiadi, 2010). 

            Pemenuhan keempat syarat itu dan disertai kemampuan finansial 
menjadi garansi penting bagi suatu kekuatan politik untuk mendapat dukungan 
publik. Parpol juga bisa menjalankan perannya secara maksimal dalam hal 
legislasi, anggaran, dan pengawasan. 

            Pemberadaban


            Demokrasi, kata Leslie (1962), bersenyawakan kebebasan (liberty), 
kesetaraan (equality), dan keadilan (justice). Ketiganya harus dikembangkan 
secara simultan dan berimbang sehingga demokrasi bisa tumbuh secara wajar. 

            Berdasarkan pengalaman negara-negara demokrasi maju, seperti 
Amerika Serikat (AS) dan Inggris, demokrasi hanya bisa tumbuh sehat jika ada 
aturan main. Demokrasi bukan berarti mendewakan kebebasan dan mengabaikan 
aturan main. Demokrasi kita tidak boleh lagi terperangkap dalam paham liberal 
yang memandang kebebasan dan kebahagiaan individu adalah segala-galanya. 
Demokrasi harus tumbuh dari sikap hormat setiap pelakunya terhadap aturan main 
(rule of law) yang telah disepakati. 

            Menguatnya basis rasionalitas dalam berpolitik menempatkan 
demokrasi sebagai medium pemberadaban. Hal itu antara lain diukur dari 
kesadaran setiap pelaku politik untuk menyadari kapasitas diri dan menguatnya 
sportivitas sebagai spirit dasar berkompetisi. Dengan demikian, kalah dalam 
politik bukan berarti kehilangan segala-galanya sehingga harus dilawan dengan 
segala cara, termasuk menggunakan kekerasan. Sebaliknya, demokrasi menempatkan 
pihak yang menang bukan sebagai "raja" atau "ratu", melainkan "pelayan" yang 
harus berlaku adil dengan menghindari tendensi dominasi dan diskriminasi. 

            Di samping itu, dambaan terhadap demokrasi hendaknya diintegrasikan 
dengan cita-cita kemerdekaan, yakni mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. 
Pada titik ini, kita sepakat dengan gagasan penyederhanaan parpol sebagai 
strategi untuk menjamin stabilitas politik dan pemerintahan sehingga bangsa ini 
bisa segera bangkit dari lembah kemiskinan dan keterbelakangan. *** 

            Penulis adalah Wakil Ketua Umum DPP AMPI,
            peserta program S-3 Ilmu Politik UI  
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke