From: Tatang muttaqin <tata...@yahoo.com> Subject: Industri Pesawat Terbang dan Nuklir Indonesia? To: Date: Thursday, June 17, 2010, 5:41 PM
Sohibs yang mulia, Terlampir catatan ringan dan bodor dari seorang teman, ahli ekonomi energi di sebuah milis. Atas ijin penulis yang kebetulan tetangga dan sering bareng naik bis, saya meminta ijin untuk di-cross-posting dengan sedikit mengedit. insya-Allah editan tersebut tidak mengurangi substansi catatan tersebut. Intinya, bagaimana nasib nuklir dan pesawat terbang kita? Selamat menikmati dan semoga bermanfaat. Salam hangat, Tatang "Aufklarung" Industri Pesawat Terbang (dan Nuklir) INDONESIA Hanan Nugroho Saya ternganga mengikuti presentasi Brother Andi Alisjahbana mengenai "Solusi pesawat udara untuk mengatasi berbagai permasalahan nasional" (judul tidak persis). Ternyata pesawat terbang bisa begitu hebat, jauh lebih hebat dari yang pernah saya bayangkan sampai sebelum presentasi itu. Presentasi Br. Andi (Direktur di PTDI) memukau. Habis Jum'atan minggu kemarin, di ruang SG-4, saya sebetulnya tidak ada dalam daftar undangan yang ditandatangani Br. Bambang. Saya ke situ karena perasaan l'esprit de corp saja, karena di-sms-i Brother dari PTDI. Rasanya saya tidak "blank-blank amat sih" soal industri pesawat terbang. Saya ikut dalam tim yang menyusun laporan "The study on the future demand of the inter-island air traffic in the Republic of Indonesia." Dalam dokumen itu kami memperkirakan –sampai lumayan jauh ke depan-- kebutuhan penerbangan di Indonesia, kemudian mengembangkannya sebagai "entry point" (lubang masuk?) bagi penentuan jenis pesawat terbang yang cocok dipakai dan dikembangkan oleh industri pesawat terbang Indonesia sendiri. Itu saya lakukan sebelum pindah ke Bappenas lebih 2 dekade lalu. Mungkin tidak sesering beberapa Brother/Sister lain, tapi saya juga sudah terbang kesana kemari di negeri berpulau-pulau ini. Aceh-Jayapura sudah saya kunjungi, demikian juga Medan-Manokwari, Lombok-Ternate, Bangka-Manado, Pontianak-Gorontalo, Ambon-Palembang, Semarang-Bontang, Yogya-Balikpapan, Bandung-Samarinda, Sorong-Makasar, Surabaya-Bengkulu, Banjarmasin-Palangkaraya, Tanjungpinang-Matak (Natuna), Palu-Padang, Biak-Pekanbaru, Sibolga-Inawatan, muter-muter survai di atas hutan Kalimantan, … dan yang paling bikin bosan: Batam-Bali. Ini yang dengan pesawat terbang sayap tetap/ fixed wing dan yang saya ingat saja, belum yang pakai rotary wing (helikopter ). Ada perasaan "gimana, gitu lho" yang muncul saban saya terbang di atas laut biru, langit putih-biru, gunung-gunung hijau Indonesia. Rasa bangga, bersyukur punya negeri besar: berjam-jam terbang kita masih melayang di langit Nusantara, masih di atas Tanah dan Air Indonesia yang sangat luas; yang cantik jelita, bahkan lebih cantik dari "neng geulis ti Garut" itu. Kalau sudah begini, ada perasaan mendesir, "How I love this country …" Tapi selain syukur dan bangga, sering membersit pula rasa menyesal bahkan sedih, terutama tahun-tahun belakangan ini. Begitu banyak pesawat terbang "wira-wiri" di Indonesia kini. Sering saya duduk di air port di Tanah Air –sambil pegang bacaan atau buka laptop—memandang keluar ke arah runway melihat pesawat-pesawat datang dan pergi: landing dan take-off. Banyak sekali burung-burung besi itu! Rasanya mereka di lapangan terbang di Indonesia kini, lebih banyak daripada yang pernah saya lihat di Perth, Phoenix (AZ) atau Wina dulu …! Begitu banyak, tapi hampir tak ada yang kita bikin sendiri! Ini yang bikin saya sedih. Ah, bukannya dulu, bahkan 3-5 dekade yang lalu, kita sudah pernah membayangkan bahwa rakyat Indonesia sudah tidak akan "miskin-miskin amat" lagi; akan semakin kaya, dan pulau-pulau Indonesia ini akan diterbangi dari sana ke sini, kesitu kemari. Ekonomi negeri besar ini akan tumbuh, terus tumbuh, dan "terbang sana-sini" itu pasti akan terjadi. Kami tidak hanya membayangkan, tapi bikin rencana jelas untuk mengisi (sebagian) kebutuhan pesawat terbang itu dengan bikinan kita sendiri. Dan bekerja keras, berjuang untuk mewujudkannya! Kemudian datanglah petaka itu, Krismon 1997/98. Uang buat program bikin pesawat distop; bahkan –kalau mungkin—industri yang baru belajar berdiri itu ditutup saja. Nggak tahu itu maunya siapa. Apapun alasannya dan siapapun yang punya mau (dan disampaikannya lewat tangan atau mulut siapa lagi), yang jelas PHD (Pemutusan Hubungan Duit) itu bikin industri pesawat kita di Bandung sana jadi "kelimpungan", "mogol". Ini ibaratnya sebuah sajian makan malam di restoran dengan urutan menu: combro, misro, sukro, dan konro (semua teratur pakai "ro", enak, tho?). Kita baru sampai ronde menyantap misro, lalu Boss bilang uangnya habis, jadi jangan lanjutkan makan malamnya. Wah, nanggung amat. Pekerjaan besar itu tertunda! 2 mingguan lalu saya didatangi Mukaiyama-San, advisor Pemerintah Jepang soal tenaga nuklir (tepatnya pembangkit listrik tenaga nuklir) karena tulisan saya "Development of nuclear power plant in Indonesia: Stop or go?" di The Jakarta Post sebelumnya. Mukaiyama-San (sangat senior) yang " … masugu, Narita-kukou kara Jakaruta made, hikoki de … " ("tembak langsung" dari lapangan terbang Narita ke Jakarta, dengan montor mabur) menanyakan opini saya soal prospek PLTN di Indonesia. Saya tidak ingat apa jawaban saya "sono toki wa" (waktu itu), tapi yang jelas saya tidak menjawab dengan "menurut UU No. 17 Tahun 2005 Tentang …. " atau "menurut-menurut" yang lain seperti gaya kalangan Pejabat. Saya pikir buat banyak orang Jepang atau expert lainnya jawaban model "menurut-menurut" begitu tidak ada gunanya, karena mereka menyimpan pengetahuan, data dan analisis yang lebih baik daripada saya yang sering lupa bergenit-genit pula pakai gaya "menurut-menurut …" itu (khususnya kalau sedang manggung di depan Abdi Negara di seberang sana). Sehabis " hanashimashita" (bicara-bicara) itu, meskipun terlihat menyiul-nyiulkan "Comme d'habitude" (My Way) dan lagu kebangsaan saya "Tsubete no hito no kokoro hana wo …" (Di dalam semua hati manusia, mengembang bunga), sebetulnya saya sedih. Belum lama merdeka, Bung Karno (Bapaknya Megawati Soekarnoputri, kalau ada yang belum tahu) sudah mencanangkan Indonesia segera punya kemampuan nuklir. PRAB (Pusat Reaktor Atom Bandung) sudah lama dibangun (saya lama tinggal di kampung kumuh dekat situ), reaktor Kartini di Yogya didirikan, juga reaktor Siwabessy yang lumayan besar di Serpong. Kini, ketika permintaan listrik kita tumbuh amat pesat dan lampu mati dimana-mana, PLTN yang keahliannya sudah disiapkan lama-lama itu tak jua menampilkan wujudnya. Sudah pasti uang, waktu dan tenaga banyak yang telah keluar untuk membangun kesiapan punya industri pesawat terbang dan PLTN sendiri. Zaman Pak Habibie dulu, berbondon-bondon ribuan anak muda Indonesia dikirimkan ke negeri maju belajar soal-soal teknologi itu. Kemana mereka? Br. Andi pernah lama tinggal di Seattle (WA), kerja di Boeing. Bukan hanya Br. Andi yang pernah kerja di pabrik "montor mabur" paling besar di dunia itu, tapi juga ada orang Indonesia lain yang sampai hari ini masih di situ. Juga yang kerja untuk industri pesawat terbang dan nuklir di Brazil, Kanada, negara-negara Eropa, Jepang, bahkan Malaysia. Ini karena Tanah Air sendiri belum (tidak?) memberikan ruang bagi mereka untuk ber-darma-bakti bagi Ibu Pertiwi (seperti yang sudah lama menjadi "privilege" anggota Korpri itu). Malah industrinya mau ditutup, dihalang-halangi supaya ngak jadi-jadi. (Dulu) sering keluyuran di Malaysia, saya tidak marah-marah sama negara jiran itu (Upin & Ipin malah bikin saya ketawa-ketawa). Tapi, saya memang sering "jealous" sama mereka. Negeri berpenduduk kecil itu (sekitar se-per-sepuluh-nya Indonesia) bikin industri mobilnya sendiri. Dimana-mana ada Kancil, Perodua, Wira, Waja, Gen-2, Ixora, hingga Perdana produk mereka sendiri, mendominasi jalan-jalan mereka. Terlepas dari apakah bikin industri mobil sendiri itu ekonomis atau tidak buat penduduk sekecil itu, tapi yang jelas "they proud of it." Mereka bisa bilang, "Yes, We Can". Ah, saya punya negeri besar yang bersemboyan "Indonesia Bisa" tapi rasanya kita belum bisa main bola, main tenis, main golf, dstnya. Baru bisa main mobil-mobilan saja. Jawaban standar saya kalau ada Brother muda tanya-tanya soal industri minyak dan gas adalah, "Pergi kau ke Menara Petronas, di sana ada Museum Petrosains. Kuriling-kuriling saja kau 2-3 hari belajar di situ" Sungguh, saya termasuk yang tidak percaya anggapan dari orang-orang kita juga, bahwa kita tidak mampu untuk mengelola industri pesawat terbang apalagi Pusat Listrik Tenaga Nuklir. Saya percaya pada kemampuan Brother-Brother kita yang kini bekerja di industri-industri padat teknologi dunia. Mereka jagoan, mereka adalah pekerja world class. Mungkin mereka drop out dari IPTN atau pernah menjadi Abdi Negara ikut-ikutan mikir soal nuklir. Ndak `katampi' di sini, mereka berjaya di negeri orang! Saya sedih dan gembira saban ketemu (dan sedikit ngobrol) sama Brother Indonesia yang tengah bekerja di industri-industri teknologi tinggi kelas dunia di Eropa, Jepang, Malaysia atau tahun lalu waktu sempat keluyuran di Qatar (di negeri surga gas bumi ini ribuan orang kita bekerja untuk industri minyak dan gas, petrokimia, bahkan telekomunikasi dan penerbangan). Sedih, karena mereka --meskipun sangat ingin—tidak bisa mendarmabaktikan keahlian mereka secara langsung kepada Ibu Pertiwi di negeri tumpah darah sendiri (yang keindahan alam dan "mak nyus" makanannya pasti sangat mereka kangeni). Gembira, karena mereka bisa mengembangkan kemampuan profesional mereka dengan maksimum, tidak seperti saya yang terpaksa harus cepat berpindah dari keahlian insinyur ke "keahlian" lain seperti "teknik kata-kata", power point engineering atau teknik mengolah matriks. Mereka boleh berkompetisi menunjukkan kemampuan di depan warga negara-negara lain, dapat gaji besar (sekalee), serta dapat bertahan untuk terus berpikir jernih dan berlaku lurus. Juga pasti, mereka tak perlu berpusing-pusing memikirkan masalah-masalah "semelekete" atau ikut-ikutan sibuk promosikan diri jadi Komisaris UG Jaya Sejati demi sesuap terasi? Sedih lagi karena, apakah kita memang harus melewati tahapan seperti ini: anak-anak muda kita yang pinter-pinter itu pergi ber-brain drain mengembangkan industri-industri bagus di negeri orang, dan baru nanti –entah kapan?—akan (ada generasi yang) pulang kembali untuk mengembangkan industri agak canggih di negeri kita sendiri ini? Kembali ke presentasi Br. Andi. Kepada Boss pemimpin rapat saya usulkan agar presentasi Br. Andi "dimainkan" lebih luas. Saya paham, meskipun banyak Brother/Sister yang sangat paham memainkan matriks, tapi banyak pula yang tidak paham mendalam soal pesawat terbang. Lha wong saya saja yang pernah hidup di industri itu (malahan pernah kuriling di negeri sana belajar soal industri itu) masih banyak ndak pahamnya koq soal manfaat "montor muluk". Ambil contoh begini: 1. Subsidi Pupuk. Daripada subsidi pupuk dibagi-bagikan dengan cara seperti sekarang; pakai saja duitnya (sebagian) buat beli pesawat. Di pesawat itu ditaruh pupuk (bukan krupuk), sebarkan ke persawahan. Pesawat juga bisa dikasih tugas bikin hujan buatan, sebarkan bibit atau malah semprotkan hama. Dari segi "parduitan", cara ini bisa lebih hemat. 2. Penanganan orang sakit. Daripada bikin beberapa rumah sakit di tempat-tempat terpencil (makan duit, datangkan orang dari Jawasuruh netap cukup sulit) pakai saja pesawat-pesawat kecil untuk melayani tempat-tempat itu; nggak usah khusus bangun RS-nya. Jadinya bisa lebih murah. 3. Drop BBM. Dari pesawat, drop BBM (logistik lain) ke tempat remote yang "butuh" (Kalimantan pasti "butuh"; Maluku, Papua juga). Pesawatnya ndak perlu mendarat, cukup menjatuhkan saja tanki-tanki yang dirancang khusus buat di"semprotkan"dari "burung besi" itu. Pesawatnya tetap muter-muter ke sasaran yang "butuh" lainnya. Bisa lebih murah daripada "maksain" pakai jalan-jalan tikus atau sungai yang untuk sampai ke tujuannya pakai terseok-seok dulu. 4. Ganti lapangan terbang. Usulan minta dibikinkan lapangan terbang yang banyak-banyak dan ramai-ramai itu perlu di-screen hati-hati. Buat banyak tempat di Indonesia yang bertepi-tepi laut, berteluk-teluk dan bersungai-sungai, pesawat mendarat di air (amfibi) bisa jadi lebih tepat. Duit yang sedianya mau dipakai buat lapangan terbang di darat, bisa dipakai buat beli (dan BIKIN) pesawatnya sekalian, karena "mendarat di air" dan "mendarat di darat" itu tokh sama-sama "mendarat/landing" juga tho? Sama-sama enaknya, kan? Duit buat bikin lapangan terbang bisa diganti jadi buat BIKIN PESAWAT TERBANG yang akan naik-turun mendarat di tepi-tepi laut, teluk-teluk tenang tak bergelombang, dan sungai-sungai kita. Tuhan sudah kasih "lapangan terbang gratis" di air koq malah ikut-ikutan kaya orang Jawa yang sukanya apa-apa di darat. Dalam rapat Jum'at kemarin sesungguhnya yang dibicarakan cuma soal kemungkinan mengembangkan angkutan udara perintis, dan bagaimana PTDI mungkin bisa ikut "main" di situ. Soal "menghidupkan kembali" kemampuan bikin pesawat itu belum disinggung-singgung; hanya saya saja yang ingin "nyodok" untuk dapat informasi lebih jelas soal itu. Saya kira Brother/Sister di PTDI situ pingin lagi meneruskan program N-50, N-100; yah, sekarang mulainya distel lagi dari N-19, barangkali. Ketemu beberapa Brother ex-IPTN di Malaysia, mereka bilang ada di sana untuk mengembangkan industri pesawat terbang negeri jiran itu. Saya dengar-dengar, Vietnam sudah mulai mengijon alumni STTN (Sekolah Tinggi Teknik Nuklir) kita untuk membantu Vietnam menyiapkan PLTN pertama. Pemerintah Malaysia sudah declare bahwa mereka akan segera membangun PLTN (meskipun PETRONAS kini sudah jauh lebih kaya dan berjaya daripada Pertamina; cadangan minyak dan gas bumi Malaysia sudah lebih banyak daripada Indonesia – sementara Boss-Boss kita tingkat atas –terutama yang sudah pergi itu-- sukanya baru teriak-teriak soal lipting, lipting, lipting; apaan sih?). Pastinya, kita masih pasti menunggu dalam ketidakpastian … Bodor pisan! Br. Andi adalah putra dari Prof. Iskandar Alisjahbana (alm.), guru besar dan mantan rektor ITB yang sangat dihormati. Dihormati dulu karena kecerdasan dan pandangan Beliau yang jauh ke depan, dan semangat Beliau yang selalu memotivasi/menginspirasi seluruh mahasiswanya. Saya anak kampung mahasiswa "katrok" yang baru mau belajar bahasa Sunda (bahasa gaul kampus Kebun Binatang), hanya dengan mendengarkan sekali dua kali ceramah Prof. Iskandar Alisjahbana dulu, langsung terpacu untuk baca buku Small is Beautiful, Future Shock, The Third Wave, dstnya, buku-buku top dunia waktu itu yang dianjurkan Beliau untuk "baca-baca" (padahal di Bandung pun buku-buku itu adanya jarang, dan saya betul-betul "teu boga artos pisan euy" untuk foto-kopi buku-buku model gituan). Membaca dengan tertatih-tatih, karena buat generasi saya anak kampung waktu itu, sesungguhnya bahasa Indonesia itu sudah "foreign language", apalagi basa Sunda. Apa, apa-lagi bahasa Inggris! (Note: namun basa Sunda zaman itu "extremely important" untuk menjalin komunikasi dengan tetangga mahasiswi "neng garareulis ti UNFAD" yang "kamfusnya vas di devan Jalan Difati Ukur eta tea." Tentu bukan saya saja yang tersihir oleh ceramah Prof. Iskandar Alisjahbana. Banyak ribuan, dan hampir seratusan yang kini "mejeng/gaya-gaya" di kantor pemerintahan mengalami hal yang sama, saya kira. Prof. Iskandar Alisjahbana dan orang tuanya, pujangga besar Sutan Takdir Alisjahbana (STA) adalah orang yang suka berbicara soal "aufklarung", tentang "renaissance." Waktu ketemu Mukaiyama-San kemarin itu, dia juga bicara soal "nuclear renaissance." "Blusak-blusuk" di beberapa PLTN di Korea 2 tahunan yang lalu, saya ikut-ikutan semangat berdiskusi soal yang sama: "nuclear renaissance." Mungkinkah kita mendorong "aufklarung, renaissance" Industri Pesawat Terbang dan PLTN kita? [Non-text portions of this message have been removed] [Non-text portions of this message have been removed]