Kumpulan tulisan ini juga disajikan dalam website http://umarsaid.free.fr
yang sampai sekarang sudah dikunjungi 618 240 kali == == == Berikut di bawah ini disajikan lanjutan kumpulan "Tulisan-tulisan tentang wafatnya Bung Karno" dalam rangka memperingati hari wafat beliau.tanggal 21 Juni 1970. Tulisan-tulisan yang sekarang ini, seperti halnya kumpulan yang kesatu dan kedua dimaksudkan untuk membantu menyegarkan kembali ingatan kita semua kepada peristiwa besar dalam sejarah bangsa Indonesia, yang tidak boleh dilupakan itu. * * * Mengasihani Soeharto, Mengasingkan Soekarno Oleh : Fransisca Ria Susanti Dimuat di Sinar Harapan, 15 Mei 2006 JAKARTA Seorang perempuan muncul di kantor Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di Jakarta, awal 1990-an. Di tangannya, 10 bundel buku berisi catatan para perawat jaga. Ia ingin bertemu Kartono Mohammad (Ketua IDI saat itu). Tak banyak percakapan di antara mereka. Perempuan itu kemudian menghilang. Jauh sebelum pertemuan itu, Kartono bertemu Wu Jie Ping (dokter yang merawat mantan Presiden Soekarno) di Hong Kong. Dari Wu, Kartono tahu bahwa Soekarno hanya mengalami stroke ringan akibat penyempitan sesaat di pembuluh darah otak saat diberitakan sakit pada awal Agustus 1965. Ia sama sekali tak mengalami koma. Penasaran dengan keterangan ini, sampai di Jakarta, ia menemui Mahar Mardjono. Ia meyakini satu-satunya dokter yang tahu banyak soal stroke saat itu hanya Mahar. Ia tak pernah menyangka bahwa Mahar tak hanya berkisah soal stroke itu, tapi juga rentetan kejadian yang membuatnya berkesimpulan bahwa ada pihak yang dengan sengaja menelantarkan Soekarno. Kartono gelisah. Bundel buku yang dibawa perempuan itu semakin menguatkan kegelisahan Kartono. Namun, Indonesia di awal 1990-an bukanlah negeri yang ramah. Kebenaran hanya boleh ditentukan oleh penguasa. Bundel buku itupun terpaksa teronggok di meja kerja Kartono selama bertahun-tahun. Hingga kemudian, krisis ekonomi Asia meledak. Rakyat turun ke jalan dan Soeharto dipaksa meletakkan jabatan. Indonesia berubah wajah. Kebenaran tiba-tiba muncul dalam banyak versi. Kartono pun teringat onggokan bukunya. Ia bergegas ke RSPAD, institusi yang mempekerjakan empat perawat di Wisma Yaso, tempat di mana Soekarno dirawat dan meninggal sebagai pesakitan. Ia berharap dapat menemukan mereka. Ia ingin bangsa Indonesia bisa mendapatkan cerita lengkap tentang tahun-tahun terakhir Soekarno. Namun menemukan Dina, Dasih, J. Sumiati, dan Masnetty ternyata bukan hal mudah. Seorang di antara mereka meninggal, sedangkan yang lain sudah pensiun. RSPAD pun mendadak tak memiliki file dari para perawat ini. Kartono kehilangan jejak. Upayanya untuk mencari medical record Seoekarno pun gagal. Pihak RSPAD mengatakan bahwa keluarga Soekarno telah membawanya. Kartono, saat itu, tak yakin. Hingga pekan lalu, di hadapan pers, Rachmawati Soekarnoputri berterus terang. Ia memiliki catatan medis Soekarno dari tahun 1967-1968. Mirip dengan kesimpulan Kartono, Rachmawati mengatakan bahwa Soekarno tak mendapat perawatan semestinya. Medical record tersebut menyebut bahwa Soekarno mengalami gagal ginjal. Wu Jie Ping pun, kepada Kartono, mengatakan bahwa Soekarno menderita batu ginjal dan tekanan darah tinggi sebagai komplikasi. Yang mengejutkan, kepada pers, Rachmawati mengatakan bahwa semua obat yang diberikan kepada Soekarno harus mendapat persetujuan Soeharto. Soeharto juga menolak keinginan keluarga agar Soekarno mendapat perawatan di luar negeri. Pengakuan Rachmawati ini seolah membenarkan kemarahan Mahar Mardjono saat ia menemukan resep obat yang dibuatnya untuk Soekarno ternyata tetap tersimpan di laci seorang dokter di RSPAD. Kepada Kartono, Mahar mengaku bahwa penyimpanan resep ini dilakukan atas sebuah instruksi. Dan dari catatan para perawat tersebut, Kartono menemukan bahwa tak ada dokter spesialis yang memeriksa Soekarno. Satu-satunya dokter yang datang adalah Sularyo, seorang dokter umum. Sementara itu, obat yang diberikan melulu vitamin (B12, B kompleks, dan royal jelly) serta Duvadillan yang merupakan obat untuk mengurangi penyempitan pembuluh darah perifer. Tak ada obat untuk menurunkan tekanan darah Soekarno saat mencapai 170/100 dan tak ada pula obat untuk memperlancar kencing sewaktu terjadi pembengkakan. Dalam kondisi seperti inilah, Soekarno mengembuskan nafas terakhirnya pada 21 Juni 1970 di bumi yang ia perjuangkan kemerdekaannya. Tak Adil Rachmawati berniat menyerahkan medical record ini ke pemerintah. Ia ingin menunjukkan fakta bahwa negeri ini tak cukup adil dalam memperlakukan mantan presiden. Berpuluh tahun, Soekarno diperlakukan sebagai seorang pecundang dengan keberadaan Tap MPRS XXXIII/1967 yang mengaitkannya dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965. Ia tak pernah diadili, meski tap tersebut jelas-jelas menyebut bahwa perlu ditempuh jalur hukum untuk membuktikan tudingan ini. Soeharto lebih memilih menyingkirkan Soekarno dengan mengasingkannya dan menjadikannya sebagai pesakitan. Tak pernah ada niat untuk membuktikan tudingannya di pengadilan. Sebagai gantinya, Soekarno mendapat pengadilan lewat citraan (image) sepihak yang dirancang oleh media massa yang berada di bawah kendali kekuasaan, juga melalui kurikulum yang dipasokkan ke generasi pasca-1960-an. Berpuluh tahun, Soekarno menjadi momok. Ada suatu masa, di mana memasang gambarnya pun dicurigai sebagai makar. Kini, saat publik ramai-ramai mempersoalkan pengadilan Soehartoatas tudingan korupsimendadak nama Soekarno kembali disebut. Para pejabat negara beramai-ramai bicara soal pengampunan. Tak hanya untuk Soeharto, tapi juga bagi Soekarno. Mereka menyebutnya: rehabilitasi. Sejarawan Asvi Warman Adam menyebut solusi ini semacam sogok untuk meredam kemarahan kaum Soekarnois saat belas kasihan yang ditunjukkan sejumlah pejabat negara kepada Soeharto tampak begitu berlebihan. Namun rehabilitasi, menurut Asvi, hanya cocok untuk Soekarno yang selama puluhan tahun dituding berada di balik G30S. Sebuah tudingan yang kental dengan nuansa politis. Sementara tudingan yang diarahkan ke Soeharto menyangkut soal korupsi, penyalahgunaan uang rakyat, yang sama sekali tak berkaitan dengan tudingan politis. Bagaimana mungkin obat yang diberikan untuk Soeharto disamakan dengan Soekarno? Barangkali ada kekhawatiran bahwa tudingan kepada Soeharto akan merembet pada kasus lain, termasuk G30S yang ia tudingkan pada Soekarno dan sejumlah kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di bawah kekuasaannya. Jika toh ini terjadi, sebaiknya negeri ini belajar bersikap adil. Keadilan, menurut Asvi, tak hanya cukup dilihat dari pengampunan kepada Soekarno dan Soeharto, tapi juga mempertimbangkan rasa keadilan mayoritas korban. Mereka yang kehilangan orang-orang terdekatnya, dimatikan kebebasannya, dan dinjak-injak harga dirinya selama berpuluh tahun akibat kebijakan politis yang dibuat Soeharto. Ribuan orang dibuang di Pulau Buru dan disekap di penjara-penjara Indonesia tanpa pernah diadili, ratusan ribu orang yang meregang nyawa hanya karena aspirasi politiknya, dan jutaan lainnya yang menjadi tumbal atas nama legitimasi kekuasaan, dari Tanjung Priok, Talang Sari, hingga Papua. Kita harus berdamai dengan masa lalu, bukan dengan melupakannya, tapi melihatnya secara lebih jernih, sehingga masa depan tak lagi tampak menakutkan. = = = = = = = = = Soeharto Tindas Bung Karno Oleh : Achmad Subechi, 10-9-2007 21 JUNI 1970 Bangsa Indonesia kehilangan seorang tokoh besar yang memiliki kharisma dan intelektual yang tak tertandingi di antara para pemimpin-pemimpin bangsa di Asia. Dialah Soekarno. Ia pergi meninggalkan bumi pertiwi tanpa status hukum yang jelas. Akankah Soeharto bernasib sama dengan Soekarno? Bagaimana cara Soeharto memperlakukan Soekarno? SOEHARTO kini terbaring lemas di RS Pusat Pertamina (RSPP). Status hukumnya juga masih belum jelas. Sama seperti apa yang dialami Soekarno 36 tahun yang lalu. Bedanya, status hukum Soeharto lebih jelas. Artinya, ia pernah diseret ke Kejaksaan Agung dengan status sebagai tersangka. Namun, di tingkat pengadilan menyandang status terdakwa Soeharto sama sekali tak menyentuh karpet hijau hingga detik ini dengan alasan kondisi kesehatannya tidak memungkinkan untuk diadili. Perbedaan lainnya, ketika Soeharto sakit, wartawan dengan leluasa boleh melaporkan hasil liputannya melalui medianya masing-masing. Wajar saja kalau Siti Hardiyanti Indra Rukmana alia Mbak Tutut mengucapkan rasa terima kasihnya kepada para kuli tinta. Atas nama keluarga, saya juga berterima kasih kepada semua artawan yang sudah datang menjenguk dan mengabarkan kondisi terakhir Bapak, kata putri sulung Soeharto, dalam jumpa pers 7 Mei 2006 malam. Bagaimana dengan Soekarno? Pria asal Blitar itu sama sekali tak tersentuh oleh pers. Bukannya pers tak tertarik untuk meliput kondisi kesehatan Bung Karno di Wisma Yaso, tetapi penguasa Orde Baru, Soeharto sangat sangat ketat mengawasi Soekarno dengan menggunakan militer sebagai alat untuk mengisolasi Bung Karno. Awal tahun 1968, Bung Karno dipindahkan ke Istana Batutulis, Bogor. Sejak saat itu, praktis Bung Karno dikarantina dan tidak bisa ditemui wartawan. Namun atas permintaan keluarganya, karena udara disana terlalu dingin, maka Bung Karno dipindahkan ke Wisma Yaso kini Museum Mandala Bhakti, di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Di tempat itu Bung Karno diinterograsi dan ditahan. Sejak itu Bung Karno benar-benar terisolasi dari dunia liar. Suatu hari terdengar kabar bahwa kesehatan Soekarno makin memburuk. Seorang fotografer Associated Press, Piet Warbung, nekat mengambil gambar Bung Karno. Pria itu berhasil mengambil foto Bung Karno. Selama beberapa hari, Piet Warbung berjaga di bawah pohon di depan masjid kecil yang waktu itu ada di samping Wisma Yaso. Dengan tele-lens, ia kemudian berhasil memotret Bung Karno yang sedang berdiri, tanpa peci, di depan pintu Wisma Yaso. Foto itulah yang kemudian tersebar ke seluruh dunia. Upaya memotret Bung Karno tidak hanya dilakukan wartawan AP. Tanggal 6 Juni 1970 ketika kondisi kesehatan Bung Karno makin memburuk pas di hari ulang tahunnya ke 69 Rachmawati dan Guruh dengan sembunyi-sembunyi memotret bapaknya yang terbaring di tempat tidur. Foto itu lalu dibocorkan keluar. Dan tampaknya foto-foto tersebut merupakan foto terakhir Bung Karno semasa masih hidup yang dimuat pers dunia. Beberapa hari kemudian 11 Juni 1970 Bung Karno dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) karena kesehatannya yang kian parah. Sang Proklamator itu akhirnya meninggal pada 21 Juni 1970, pukul 07.00 pagi. Dunia hari itu berduka, karena kehilangan seorang tokoh yang memiliki kharisma di mata rakyat Indonesia. SELAMA ditahan di Wisma Yaso tanpa kepastian hukum yang jelas, Bung Karno menderita tekan psikis berkepanjangan. Istri keempat Bung Karno, Ratna Sari Dewi memberikan kesaksian, disaat-saat terakhir suaminya hendak pergi meninggalkan alam fana ini, ia berada disampingnya. Saya ada disamping Bapak ketika beliau begini: kekhh kekhh kekkh.., kata Ratna Sari Dewi suatu hari, sambil memperagakan suara Soekarno yang sedang sekarat. Bapak sudah mulai begitu pukul empat sore, sampai meninggal pukul empat pagi. Jadi dua belas jam, ini luar biasa. Suatu hari kata Ratna Sari Dewi, ia bertemu dengan lima orang anggota tim dokter untuk meminta penjelasan terhadap kondisi kesehatan suaminya. Namun seorang di antara mereka mengatakan, tim dokter tak boleh memberikan laporan apa pun tanpa seizin atasan. Ya, itu berarti Jenderal Soeharto kan? ujarnya ketika ditanya siapa yang dimaksud atasan. Dari hasil konsultasinya dengan dokter di AS, Prancis, dan Jepang, ada dugaan Bung Karno meninggal akibat kelebihan dosis obat tidur. Hal itulah yang mengherankan Dewi, karena Bung Karno tidak pernah minum obat tidur. Tetapi para dokter yang dihubunginya menjelaskan, obat tidur juga dapat diberikan dengan cara injeksi. Jadi, tambah Dewi, Bung Karno dibunuh secara perlahan dengan suntikan oleh tim dokter atas perintah Soeharto. Saya kira begitu. Mungkin Soeharto kesal, kok Bapak tak juga meninggal. Dewi juga menduga, suaminya dibiarkan cepat mati agar tidak sempat lagi berbicara dengannya. Ia juga menyatakan, kisah Bung Karno yang jatuh koma dan harus dilarikan ke RSAD adalah bohong besar. Buktinya, ketika Dewi bertanya kepada penjaga Wisma Yaso, tempat Soekarno jadi tahanan rumah, diperoleh jawaban bahwa sebelum dibawa ke RSAD, Bung Karno sama sekali tidak sedang mengalami koma berat. Penjaga wisma itu mengatakan, sebelum dibawa ke RSAD, ada tentara tak dikenal yang memaksa Bapak, agar bersedia ditandu dan dibawa ke rumah sakit. Waktu itu Bapak tidak mau dibawa ke rumah sakit, tutur Dewi dengan mata berkaca-kaca. Penahananan dan pengisolasian yang teramat kejam oleh rezim Orba, kemudian siksaan lahiriah penahanan rumah, sangat tidak memadainya pengurusan kesehatan, dan isolasi politik serta mentalmempercepat proses kematian Bung Karno. Saksi sejarah Roeslan Abdoelgani pernah mengatakan, Bung Karno dalam keadaan terasing dan terkungkung. ZAMAN telah berubah. Salah satu putri Bung Karno Megawati Soekarnoputri terpilih menjadi Wapres mendampingi Gus Dur. Namun, Megawati bukanlah tipe wanita pendedam. Aparat hukum diminta bekerja secara profesional. Akhir Mei 2000, Soeharto mendapatkan status tahanan rumah. Perlakuan rezim baru terhadap Soeharto, masih manusiawi. Artinya, Soeharto boleh tinggal di rumah kebanggannya Jl Cendana. Selain itu Jaksa Agung masih memberikan izin kepada keluarga, dokter, dan pengacaranya untuk mengunjungi Soeharto. Semula Kejaksaan Agung mengalami kesulitan mencari tempat yang aman buat Soeharto, gara- gara mantan penguasa Orde Baru itu sering didemo mahasiswa. Malah, ketika itu ada rencana mau memboyong ke hotel segala. Sebaliknya, keluarga Soeharto segera menyatakan keberatan dengan rencana pemindahan itu. Alasannya, kondisi kesehatannya membutuhkan tempat yang tenang dan familiar untuk terapi. Kalau dipindahkan, sama saja dengan membunuh pelan-pelan Pak Harto, berarti mereka tidak mempunyai keinginan untuk memberkas kasus ini, kata Denny Kailimang, salah satu penasihat hokum Soeharto, waktu itu. Kini naiknya SBY menjadi presiden, semakin membuka pintu terhadap status hukum Soeharto. Wacana agar pemerintah memberikan amnesti atau abolisi semakin menggalir dan seakan mendapat dukungan dari semua pihak. Ada pro dan kontra. Namun, di mata aktivis Forkot tokoh gerakan reformasi 1998 pemberian amnesti atau istilah lainya sama dengan meruntuhkan sistem hukum di Indonesia. Okey bahwa amnesti adalah hak prerogatif presiden. Akan tetapi bagaimana seorang kepala negara memberikan pengampunan, sementara sampai saat ini Soeharto belum pernah dinyatakan bersalah oleh hakim, katanya. (achmad subechi) * * * [Non-text portions of this message have been removed]