KH. Abdul Wahid Hasyim, Jombang – Jawa Timur

Berprestasi di usia muda



[image: wahid hasyim.jpg]



Riwayat Singkat



Lahir : 1 Juni 1914

Wafat : 19 April 1953

Pendidikan : Pesantren Tebuireng, Jombang ; Pesantren Siwalan, Panji,
Sidoarjo ; Pesantren Lirboyo Kediri ; Makkah Mukkaramah.

Perjuangan/Pengabdian : Ketua Dep Ma'arif PBNU ; Ketua MIAI ; Ketua Masyumi
; perintis berdirinya Hizbullah ; pendiri sekolah Tinggi Islam Jakarta ;
Kepala Jawatan Agama Pusat(Shumubucho) ; anggota termuda BPUPKI ; penasihat
Panglima Besar Jenderal Soedirman ; Ketua Umum PBNU ; Menteri Agama.

Pada 22 Desember 1951, sebuah majalah ibu kota memuat artikel yang secara
keras mengkritik para tokoh Islam. Penulisnya adalah Ma'mun Bingung. Di
bawah judul tulisan *"Umat Islam Indonesia Menunggu Ajalnya, tetapi
Pemimpin-pemimpinnya Tidak Tahu" *, Ma'mun Bingung menguraikan dua peristiwa
yang dinilai mengandung isyarat penting.



Peristiwa pertama adalah adanya konferensi yang dihadiri para profesor
Kristen se-Asia yang berlangsung di Priangan. Dan kedua, peristiwa peletakan
batu pertama pembangunan kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta
yang dilakukan oleh presiden (rektor) universitas negeri itu, Prof. Dr.
Sardjito. Dalam pertemuan profesor se-Asia, secara terbuka disampaikan
rencana menjadikan Indonesia sebagai negara Kristen. Sedangkan dalam
kegiatan peletakan batu pertama kampus UGM, ada seorang tokoh yang
mengusulkan sesuatu yang dinilai aneh. Karena kampus UGM terletak di antara
Candi Borobudur dan Candi Prambanan, maka demikian usulnya, kelak dia harus
bisa menjelmakan (reinkarnasi) kedua candi itu.



Dalam tulisan itu Ma'mun Bingung tidak memprotes ide menjadikan Indonesia
sebagai Negara Kristen atau kampus UGM sebagai jelmaan Candi Borobudur dan
Candi Prambanan. "Di dalam negara demokrasi seperti Indonesia, tiap-tiap
orang boleh berbicara apa yang dikehendaki, boleh mengemukakan pendapat dan
pikiran dengan sebebas- bebasnya asal di dalam bebas-batas undang-undang,"
demikian tulisnya.



"Hanya kepada umat Islam yang menurut hukum demokrasi mempunyai hak hidup
dan mengeluarkan pikiran, kami mengeluarkan kritik ini. Terutama kepada para
pemimpin Islam. Kami menyesal karena adanya peristiwa demikian itu tidak ada
seorang pun dari pemimpin tergerak hatinya untuk menunjukkan kepada umat
Islam di Indonesia agar jangan tetap dalam tidur nyenyaknya dan mabuk
politik yang membahayakan," kata Ma'mun Bingung melalui tulisannya.



Siapa Ma'mun Bingung, penulis artikel pedas itu? Dia tak lain adalah KH.
Abdul Wahid Hasyim. Nama Ma'mun Bingung merupakan salah satu saja dari
sekian banyak nama samaran yang dipakainya ketika menulis artikel.



Cuplikan pendek artikel itu, setidak-tidaknya menampakkan tiga hal mendasar
yang memperlihatkan sosok penulisnya.



*Pertama*, betapa KH. Abdul Wahid Hasyim memiliki jiwa toleransi yang tinggi
terhadap perbedaan paham dan bersikap proporsional dalam menyikapi setiap
persoalan yang dihadapi;

*Kedua*, besarnya kepedulian terhadap peningkatan kualitas hidup umat Islam;
dan

*Ketiga*, adalah sikap kritisnya yang tak pernah padam meskipun menyangkut
umat Islam sendiri. Melalui tulisannya, kita menangkap getaran keprihatinan
yang sangat dari KH. Abdul Wahid Hasyim, setiap dia menyaksikan kondisi umat
Islam ketika itu. Sungguh aneh di mata Wahid Hasyim. Banyak pemimpin Islam
waktu itu yang secara verbal sering menggembar-gemborkan perjuangan Islam
melalui berbagai jalur, terutama jalur politik, justru membiarkan umat Islam
hidup dalam kualitas serba memprihatinkan. Menurutnya, banyak orang membawa
bendera Islam untuk kepentingan yang sebenarnya bertolak belakang dengan
semangat Islam.



Melihat profil dan sikap KH. Abdul Wahid Hasyim seperti itu, segera orang
menjadi mafhum jika menyaksikan hal yang sama juga terjadi pada salah
seorang puteranya, yakni KH. Abdurrahman Wahid (mantan Ketua Umum PBNU).
Rupanya dalam beberapa hal KH. Abdurrahman Wahid mewarisi karakter yang
dimiliki sang ayah.



Kelahiran dan Masa Kecilnya



Abdul Wahid adalah putera kelima pasangan KH. Hasyim Asy'ari dengan Nyai
Nafiqah binti K. Ilyas. Anak lelaki pertama dari 10 bersaudara ini lahir
pada hari Jumat Legi, 5 Rabiul Awal 1333 H. bertepatan dengan 1 Juni 1914 M.
ketika di rumahnya sedang ramai dengan pengajian.



Sewaktu mengandung putera kelimanya ini, kondisi kesehatan Ny. Nafiqah agak
memburuk. Badannya lemah dan sering sakit-sakitan. Karena itu, suatu hari
Ny. Nafiqah bernazar, "Jika nanti bayi yang aku kandung lahir dengan
selamat, dia akan aku bawa ke guru ayahnya (KH. Cholil) di Madura."



Semula oleh sang ayah akan diberi nama Muhammad Asy'ari, tetapi urung karena
kurang sesuai. Sebagai lelaki pertama, nama Abdul Wahid diambil dari nama
seorang datuknya, dirasakan paling cocok. Namun demikian, ibunya memanggil
Abdul Wahid dengan Mudin. Sedangkan beberapa kemenakannya memanggil dengan
Pak It.



Kesepuluh putera KH. Hasyim Asy'ari itu adalah Hannah, Khairiyah, Aisyah,
Izzah, Abdul Wahid, Hafidz, Abdul Karim, Ubaidillah, Masrurah dan Muhammad
Yusuf. Sementara itu, dengan Nyai Masrurah KH. Hasyim Asy'ari dikaruniai
empat orang putera, yakni Abdul Kadir, Fatimah, Chodijah dan Ya'kub.



Nazar mesti dipenuhi. Ketika berusia tiga bulan, bayi Abdul Wahid oleh
ibunya dibawa ke Bangkalan Madura untuk dipertemukan dengan KH. Cholil, Ny.
Nafiqah ditemani Mbah Abu.



Suatu pengalaman spiritual untuk pertama kali dialami bayi Abdul Wahid.
Setibanya di kediaman Mbah Cholil, sebutan populer KH. Cholil, hari sudah
merangkak malam. Cuaca ketika itu buruk, hujan turun disertai sambaran
petir. Anehnya dalam suasana seperti itu, Ny. Nafiqah beserta bayinya tidak
diperkenankan masuk rumah. Oleh tuan rumah malahan dia diminta tetap berada
di halaman. Sudah tentu mereka harus berhujan-hujanan.



Kasihan melihat bayinya menggigil tertepa air hujan, Ny. Nafiqah mencoba
menempatkannya di emperan rumah biar tidak kehujanan. Sambil menaruh bayi
Abdul Wahid di bawah emperan, Ny. Nafiqah tak henti- hentinya berucap, "La
Ilaha Illa Anta, Ya Hayyu Ya Qayyum (tiada Tuhan melainkan Engkau, hai Tuhan
yang menjaga dan menghidupkan)." Tahu hal ini, Mbah Cholil marah dan
memintanya agar bayi itu dibawa ke tengah halaman. Ny. Nafiqah menuruti saja
perintah itu.



Akhirnya, Mbah Cholil minta kepada Ny. Nafiqah agar segera meninggalkan
tempat itu. Tidak ada pilihan lain, Ny. Nafiqah pun pulang ke Jombang dengan
seribu tanda tanya yang tidak terjawabkan ketika itu; kenapa Mbah Cholil
berbuat seperti itu. Rupanya kejadian di luar kebiasaan itu menjadi salah
satu pertanda bahwa Abdul Wahid kelak akan menjadi orang yang tergolong luar
biasa. Ternyata hal itu terbukti di kemudian hari.



Mondok Cukup dengan Hitungan Hari



KH. Hasyim Asy'ari adalah seorang kyai terkenal yang sangat disiplin dalam
memimpin. Kepemimpinannya sangat efektif dan unggul sehingga sebagian besar
orang yang dipimpinnya menjadi "orang" di kemudian hari. Hampir semua kyai
kenamaan pengasuh pesantren pada dekade '40-an sampai '70-an pernah berguru
pada KH. Hasyim Asy'ari. Dia juga berjiwa demokratis. Kedisiplinan dalam
memimpin dan sikap demokratisnya tampak menonjol dalam kehidupan keluarga,
terutama dalam mendidik putera-puterinya. Sebagai ulama besar beliau
mengharapkan putera-puterinya bisa mengikuti jejak dan berkembang menjadi
generasi yang berpengetahuan luas, khususnya dalam ilmu agama. Untuk itulah
suasana kehidupan keluarga diciptakan sedemikian rupa sehingga mendukung
proses pembelajaran seluruh anggota keluarganya. Sejak dini putera-puterinya
diperkenalkan dengan pengetahuan agama Islam dan dibebaskan untuk
mempelajari ilmu pengetahuan umum. Tidak soal baginya bagaimana mendapatkan
buku bahan bacaan bagi putera-puterinya sebab secara ekonomi dia tergolong
mampu untuk ukuran saat itu. Dalam suasana seperti itulah Abdul Wahid tumbuh
dan berkembang.



Abdul Wahid berotak sangat cerdas. Pada usia kanak-kanak dia sudah pandai
membaca al-Qur'an, dan malah sudah khatam al-Qur'an ketika masih berusia
tujuh tahun. Selain mendapat bimbingan langsung dari ayahnya, Abdul Wahid
belajar di bangku Madrasah Salafiyah di Pesantren Tebuireng. Pada usia 12
tahun, setamat dari madrasah dia sudah bisa membantu ayahnya mengajar
adik-adik dan anak-anak seusianya.



Sebagai anak tokoh, Abdul Wahid tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku
sekolah Pemerintah Hindia Belanda. Dia lebih banyak belajar secara
autodidak. Selain belajar di madrasah, dia banyak mempelajari sendiri
kitab-kitab dan buku berbahasa Arab. Abdul Wahid mendalami syair-syair
berbahasa Arab dan hafal di luar kepala, selain menguasai maknanya dengan
baik. Pada usia 13 tahun dia dikirim ke Pondok Siwalan, Panji, sebuah
pesantren tua di Sidoarjo. Ternyata di sana dia hanya bertahan sebulan. Dari
Siwalan dia pindah ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Lagi-lagi dia di
pesantren ini mondok dalam waktu yang singkat, beberapa hari saja. Dengan
berpindah-pindah pondok dan nyantri hanya dalam hitungan hari itu,
seolah-olah yang diperlukan oleh Abdul Wahid adalah keberkatan dari sang
guru, bukan ilmunya itu sendiri. Soal ilmu, demikian mungkin dia berpikir,
bisa dipelajari di mana saja dan dengan cara bagaimana saja. Tapi soal
memperoleh berkat soal kiai? Inilah yang agaknya menjadi pertimbangan utama
dari Abdul Wahid ketika itu.



Sepulang dari Lirboyo, Abdul Wahid tidak meneruskan belajar di pesantren
lain, tetapi memilih tinggal di rumah. Oleh ayahnya pilihan tinggal di rumah
dibiarkan saja, toh Abdul Wahid bisa menentukan sendiri bagaimana harus
belajar. Benar juga, selama berada di rumah semangat belajarnya tidak padam,
terutama belajar secara autodidak. Meskipun tidak sekolah di lembaga
pendidikan umum milik Pemerintah Hindia Belanda, pada usia 15 tahun dia
sudah mengenal huruf Latin dan menguasai bahasa Inggris dan Belanda. Kedua
bahasa asing itu dipelajari dengan membaca majalah yang diperoleh dari dalam
negeri atau kiriman dari luar negeri.



Pada tahun 1932 ketika menginjak usia 18 tahun, dia dikirimkan ke Mekkah,
disamping untuk menunaikan rukun Islam kelima juga untuk memperdalam
berbagai cabang ilmu agama. Kepergiannya ke Mekkah ditemani oleh saudara
sepupunya, Muchammad Ilyas (kelak menjadi Menteri Agama). Muchammad Ilyas
memiliki jasa yang besar dalam membimbing Abdul Wahid sehingga tumbuh
menjadi remaja yang cerdas. Muchammad Ilyas dikenal fasih dalam bahasa Arab,
mengajari Abdul Wahid dalam bahasa ini. Di tanah suci dia belajar selama dua
tahun.



Jarang ada orang yang memasuki suatu organisasi atau perhimpunan atas dasar
kesadaran kritis. Pada umumnya orang aktif dalam sebuah organisasi atas
dasar tradisi -mengikuti jejak kakek, ayah atau keluarga lain- karena
ikut-ikutan atau karena semangat primordial. Tidak terkecuali bagi
kebanyakan warga NU. Sudah lazim orang ber-NU karena keturunan: ayahnya
aktif di NU, maka secara otomatis pula anaknya masuk dan menjadi aktivis NU.
Kelaziman seperti itu agaknya tidak berlaku bagi Abdul Wahid Hasyim. Proses
ke-NU-an Wahid Hasyim berlangsung dalam waktu cukup lama, setelah melakukan
perenungan mendalam. Dia menggunakan kesadaran kritis untuk menentuk pilihan
organisasi mana yang akan dimasuki.



Waktu itu April 1934. Sepulang dari mukim di Mekkah, banyak permintaan dari
kawan-kawannya agar Wahid Hasyim aktif di perhimpunan atau organisasi yang
dipimpinnya. Tawaran juga datang dari Nahdlatul Ulama. Pada tahun-tahun itu
di tanah air banyak berkembang perkumpulan atau organisasi pergerakan. Baik
yang bercorak keagamaan maupun nasionalis. Setiap perkumpulan berusaha
memperkuat basis organisasinya, dengan merekrut sebanyak mungkin anggota
dari tokoh- tokoh berpengaruh. Wajar saja jika kedatangan Wahid Hasyim ke
tanah air disambut penuh antusias para pemimpin perhimpunan dan diajak
bergabung dalam perhimpunannya. Ternyata tak satu pun tawaran itu yang
diterima, termasuk tawaran dari NU.



Apa yang menjadi pergulatan pemikiran Abdul Wahid sehingga dia tidak secara
cepat menentukan pilihan untuk bergabung di dalam salah satu perkumpulan?
Waktu itu memang ada dua alternatif di benak Wahid Hasyim. Kemungkinan
pertama dia menerima tawaran dan masuk ke dalam salah satu perkumpulan atau
partai yang ada. Dan kemungkinan kedua, mendirikan perhimpunan atau partai
sendiri. Di mata Wahid Hasyim, perhimpunan atau partai yang berkembang waktu
itu tidak memuaskan. Itulah yang menyebkan dia agak ragu kalau harus masuk
dan aktif di partai. Ada saja kekurangan yang melekat pada setiap
perhimpunan. Menurut penilaian Wahid Hasyim, Partai A kurang radikal, Partai
B kurang berpengaruh, Partai C kurang memiliki kaum terpelajar dan Partai D
pimpinannya dinilai tidak jujur.



"Di mata saya, ada seribu satu macam kekurangan yang ada pada setiap
partai," tegas Wahid Hasyim ketika berceramah depan pemuda yang tergabung
dalam organisasi Gerakan Pendidikan Politik Muslimin Indonesia.



Geraknya Lambat



Selama empat tahun Wahid Hasyim menimbang-nimbang berbagai tawaran yang
diterima. Sesudah itu barulah pilihan dijatuhkan kepada organisasi Nahdlatul
Ulama. Tepatnya tahun 1938 dia menyatakan menerima tawaran untuk aktif di
NU. "NU saya pilih untuk mengembangkan sayap dan kecakapan," ujarnya. Dalam
buku Mengapa Memilih NU? Wahid Hasyim menjelaskan alasan dia memilih NU
sebagai tempat "berlabuh".



Mula-mula dia menyadari bahwa tidak ada satu pun perhimpunan yang seratus
persen memuaskan. "Ibarat jodoh, yang sungguh-sungguh memuaskan
kecantikannya, kecerdasannya, rumahnya, saudaranya, kemenakannya dan
lain-lainnya lagi, pasti tidak terdapat di dunia ini," ujarnya membuat
tamsil. Karena itu menurut Abdul Wahid Hasyim, harus dipilih perkumpulan
yang paling ringan tingkat kekurangannya. Untuk ini dia menggunakan tolok
ukur tersendiri, yaitu pertama ukuran keradikalan. Dari segi ini, Wahid
Hasyim mengakui bahwa NU kurang memenuhi keinginannya.



"Nahdlatul Ulama merupakan perhimpunan orang-orang tua yang geraknya lambat,
tidak terasa dan tidak revolusioner," tuturnya. Tetapi ada kenyataan lain
yang membuat NU di mata Wahid Hasyim memiliki nilai lebih dibandingkan
dengan perhimpunan lain, bahkan dari perhimpunan kaum muda sekalipun.
Beberapa perhimpunan pemuda Islam yang ada, selama lebih satu dasawarsa
mengembangkan sayapnya, baru memiliki cabang di 20 tempat dan itu pun
tempatnya berdekatan. Sedangkan perkembangan NU di mata Wahid Hasyim
demikian lain. Mesti ada sesuatu yang berbeda dengan NU. Hanya dalam tempo
satu dasawarsa, NU telah berkembang mencapai 60% di berbagai daerah dan
hampir merata di seluruh Indonesia.



Lalu Wahid Hasyim mempertanyakan sendiri tolok ukur yang pernah dipergunakan
sebagai kriteria untuk menentukan pilihan. Apa artinya radikal dan
revolusioner jika hasilnya hanya sebatas itu. Masak selama sepuluh tahun
hanya memiliki puluhan cabang yang berada di satu-dua keresidenan saja.
Radikalisme dan revolusioner memang menimbulkan kesan gagah. "Tapi yang
penting dalam hal ini bukanlah kegagahan di dalam berjuang, melainkan hasil
yang dicapai dalam perjuangan itu sendiri," kata Wahid Hasyim.



Ada lagi ukuran lain yang dijadikan Wahid Hasyim untuk menentukan
pilihannya, yaitu banyaknya kaum terpelajar yang tergabung di dalamnya. Jika
ukuran ini yang dipakai, jelas NU tidak masuk hitungan. Untuk mencari
akademisi di dalam NU, Abdul Wahid Hasyim mentamsilkan orang dengan mencari
penjual es pada pukul satu malam. Tetapi Wahid Hasyim menanggalkan sendiri
penggunaan ukuran "banyaknya kaum terpelajar ini". Menurut Wahid Hasyim,
banyaknya kaum terpelajar bukan menjadi jaminan suatu perhimpunan akan maju.



*"Bukan hanya otak yang menyebabkan majunya perhimpunan atau partai,
melainkan juga mentalitas,"* ujarnya seraya menunjukkan sejumlah contoh.
Banyak perhimpunan yang waktu itu dipenuhi kaum terpelajar, tetapi karena
mentalitasnya tidak memadai, maka perhimpunan itu tidak maju-maju. Waktu dan
tenaganya habis untuk mengatasi pergolakan yang terjadi di dalam. Dia
menunjuk PKI salah satu contoh partai yang solid, padahal tidak memiliki
banyak kaum terpelajar.



Wahid Hasyim juga berbeda pandangan dengan kebanyakan pemuda Islam lain kala
itu dalam melihat NU. Selama ini kalangan pemuda Islam enggan memasuki
organisasi NU karena dua alasan:



Pertama, NU dinilai terlalu kuat menuntut anggotanya dalam urusan
menjalankan kewajiban agama. Misalnya setiap anggota NU harus "beres" dalam
melaksanakan shalat, shalat Jum'at, puasa atau ibadah lain. NU menerapkan
ukuran yang berat kepada anggotanya dalam soal tersebut. Seandainya ada
kehidupan prive (pribadi) anggota NU yang kurang sedap di mata kyai NU, yang
bersangkutan akan mendapat peringatan keras. Hal ini menyebabkan orang luar
sering memandang NU sebagai organisasi yang menakutkan; dan



Kedua, adalah berkenan dengan kedudukan ulama di dalam NU yang dinilai
memonopoli perhimpunan. Sedangkan para ulama sendiri selalu menyandarkan
pemikiran, perkataan dan perbuatannya kepada para ulama terdahulu melalui
kitab-kitab karyanya. Menurut anggapan sebagian pemuda Islam waktu itu,
kemerdekaan berpikir dan bergerak di dalam perhimpunan NU sudah tentu akan
sangat terhambat oleh pandangan para ulama yang dipandang kolot seperti itu.



Menghadapi pandangan seperti itu, Wahid Hasyim semakin berketetapan hati
untuk masuk NU. Menurut Wahid Hasyim, jika orang mau bersungguh- sungguh
menyelidiki NU akan ditemui kenyataan bahwa kedudukan ulama di dalam NU
tidak lebih dari anggota biasa. Ulama tidak memonopoli perhimpunan.
Kedudukan ulama di dalam tubuh NU digambarkan oleh Wahid Hasyim sebagai
penjaga ajaran Islam dari kemungkinan dilanggar oleh anggotanya. Jika ajaran
agama Islam dilanggar oleh penganutnya sendiri, siapa yang akan bersedia
memelihara dan menjaganya, kalau bukan ulama?



Wahid Hasyim juga tidak melihat bahwa kehadiran ulama NU sebagai "penjaga"
ajaran Islam menyebabkan ajaran Islam menjadi statis atau jumud. Para ulama
dinilai bisa mengakselerasi dan menyesuaikan pemikiran keagamaan secara
tepat terhadap perkembangan keadaan, sejauh hal itu tidak bertentangan
dengan pokok-pokok ajaran Islam.



Selama empat tahun Wahid Hasyim mengembangkan pemikiran kritisnya terhadap
eksistensi berbagai perhimpunan atau partai yang ada, baik yang berdasarkan
Islam maupun kebangsaan. Setelah itu dia pun memilih NU, dengan keyakinan
yang kuat bahwa NU bisa lebih memberi banyak kemungkinan bagi kebangkitan
umat Islam di Indonesia.



"Faktor-faktor di dalam yang dahulu saya anggap sebagai rintangan bagi
kemajuan malah sebaliknya, justru menjadi faktor yang mempercepat kemajuan,"
katanya beragumentasi.



Keterlibatan Wahid Hasyim di NU dirasakan menambah kekuatan tersendiri bagi
perkumpulan ini. Dia memulai keterlibatannya dari bawah sekali, yaitu
menjadi penulis NU Ranting Cukir, sebuah struktur organisasi di NU paling
bawah. Tidak lama sesudah itu dia sudah dipercaya menjadi ketua NU Cabang
Jombang. Kariernya di organisasi melaju cepat, selang dua tahun yaitu tahun
1940, HBNO mengesahkan Departeman Ma'arif (pendidikan) sebagai departemen
yang pengurusnya berdiri sendiri dan memiliki anggaran rumah tangga sendiri.
KH. Abdul Wahid ditunjuk sebagai penanggung jawab proses pembentukan Ma'arif
yang berdiri sendiri itu. Sekaligus KH. Abdul Wahid Hasyim dipercaya untuk
menjadi ketuanya. Inilah awal keterlibatan Abdul Wahid Hasyim dalam
kepengurusan Nahdlatul Ulama di tingkat pusat (PBNU).



Pribadi Tawadhu'



Meskipun dikenal sebagai pemimpin nasional yang berpikiran maju, KH. Abdul
Wahid Hasyim tetap memiliki sikap tawadhu (kepada para ulama, lebih-lebih
kepada ayahandanya Hadhratusysyaikh Hasyim Asy'ari. Hal itu, antara lain
bisa dilihat ketika melakukan percakapan sehari-hari dengan sang ayah.
Kepada KH. Abdul Wahid Hasyim, Hadhratusysyaikh Hasyim Asy'ari biasa
melakukan percakapan dengan bahasa Arab yang fasih. Tetapi KH. Abdul Wahid
Hasyim selalu menjawab dengan bahasa Jawa halus (kromo inggil). KH. Abdul
Wahid Hasyim kurang lancar bercakap-cakap dengan bahasa Arab? Jelas bukan.
Penggunaan bahasa Jawa halus saat bercakap-cakap dengan ayahnya dilakukan
KH. Abdul Wahid Hasyim untuk memperlihatkan sikap tawadhu (rendah hati)
kepada orangtuanya. Apalagi jika percakapan itu disaksikan oleh orang ketiga
atau orang keempat. KH. Abdul Wahid Hasyim ingin menghindari jangan sampai
ada orang yang tersinggung atau tidak paham dengan yang dibicarakan.



Hidupnya sederhana, ilmunya mendalam dan cara berpikirnya moderat. Karena
itu menjadi mudah baginya untuk melakukan sesuatu dalam kondisi apa pun.
Tidak menjadi soal baginya kalau suatu waktu harus mengenakan kain pantalon,
atau jas berdasi tanpa mengenakan kopiah hitam, sementara di kesempatan yang
lain dia mesti mengenakan kain sarung atau baju takwa. Ketika berada di
Jombang, untuk menunjang aktivitasnya sehari-hari KH. Wahid Hasyim memiliki
kendaraan pribadi mobil merk Chevrolet Cabriolet berwarna putih. Sedangkan
di Jakarta dia biasa menyetir sendiri mobil Fiatnya.



Abdul Wahid Hasyim bertubuh agak pendek, sedikit gemuk dengan kulit sawo
matang dan berhidung mancung. Lehernya sedikit pendek dan dadanya bidang,
dengan tahi lalat di dada, bahu kiri sebelah atas dan salah satu ujung
jarinya.



Pada usia 25 tahun, Abdul Wahid mempersunting gadis Solichah puteri KH. M.
Bisri Syansuri , yang waktu itu berusia 15 tahun. Pasangan ini dikaruniai
enam putera, yaitu Abdurrahman Ad-Dakhil (mantan Ketua Umum PBNU), Aisyah
(salah seorang wakil ketua PP Muslimat NU), Salahudin Al-Ayyubi (insinyur
lulusan ITB), Umar (dokter lulusan UI), Chadijah dan Hasyim.



Salah satu kebiasaan yang melekat pada diri KH. Abdul Wahid Hasyim adalah
kegemaran berkirim surat kepada kawan-kawannya. Berkirim surat menjadi salah
satu media silaturahim yang dipilih di kala yang bersangkutan tidak banyak
kesempatan untuk bersilaturahim secara langsung. Surat-surat itu umumnya
berisi pandangan politik, arah perjuangan dan cita-citanya. Segalanya
ditulis dengan bahasa yang menarik, lancar dan tak lupa dibumbui humor
segar.



Mendudukkan para santri dalam posisi sejajar, atau bahkan bila mungkin lebih
tinggi, dengan kelompok lain agaknya menjadi obsesi yang tumbuh sejak usia
muda. Dia tidak ingin melihat santri berkedudukkan rendah dalam pergaulan
masyarakat. Karena itu sepulangnya dari menimba ilmu pengetahuan, dia
berkiprah langsung membina pondok pesantren asuhan ayahandanya.



Pertama-tama dia mencoba menerapkan model pendidikan klasikal dengan
memadukan unsur ilmu agama dan ilmu-ilmu umum di pesantrennya. Ternyata uji
cobanya dinilai berhasil. Karena itu, pada tahun 1935 model pendidikan yang
diujicobakan itu diterapkan secara besar- besaran dengan mendirikan madrasah
modern bernama Madrasah Nazamiyah. Di madrasah ini diajarkan materi
pelajaran yang sebelumnya tidak pernah ada di pesantren. Dia membuka fan-fan
pengetahuan umum yang kala itu merupakan barang asing di dunia pesantren.
Karena itu dia dikenal sebagai perintis pendidikan klasikal dan pendidikan
modern di dunia pesantren.



"Biarlah saya tidur di mushalla ini saja," kata KH. Abdul Wahid Hasyim
ketika melihat bahwa di atas kamar mandi ada mushalla. Waktu itu kebetulan
dia berkunjung ke rumah sahabatnya, KH. Saifuddin Zuhri di Sokaraja,
Banyumas.



"Kami telah menyiapkan kamar buat Gus Wahid," kata tuan rumah Saifuddin
Zuhri.



"Tak apa. Mushalla berbentuk panggung seperti ini mempunyai sirkulasi udara
yang baik. Biasanya tidak banyak nyamuk. Kalau toh ada nyamuknya ya biar
saja. Anggap saja kita bersedekah sedikit dengan darah kita kepada
nyamuk-nyamuk itu," jawabnya.



Dia memang terkenal memiliki cita rasa humor yang tinggi. Kepada siapa saja
dia biasa melemparkan joke-joke segar, untuk mencairkan suasana sehingga
komunikasi bisa berjalan lancar dan akrab. Kepada sopirnya hal yang sama
juga berlaku.



"Wah ini ikan gurame, Rasyad!" serunya kepada sopirnya yang bernama Rasyad.
"Ente tahu, orang yang suka makan gurame otaknya akan bertambah cerdas.
Percaya apa tidak?" ujar KH. Abdul Wahid Hasyim.

"Saya percaya. Tentu saja menjadi cerdas karena orang selalu berpikir,
bagaimana mendapatkan uang agar bisa makan ikan gurame setiap hari...,"
jawab Rasyad setengah berseloroh. Serentak meledaklah tawa mereka. Mereka
setuju karena ikan gurame dikenal lezat.



*Wa mal hayatud dunya illa mata'ul ghurur*



Sewaktu terjadi perombakan kabinet dan nama Wahid Hasyim tidak tercantum
lagi dalam daftar nama anggota kabinet baru, beberapa orang tampak kecewa.
Padahal yang bersangkutan cuek saja. Ketika mereka bertemu dengan KH. Abdul
Wahid Hasyim, kekecewaan itu langsung ditumpahkan kepadanya.



"Kami merasa kecewa karena Gus Wahid tidak duduk lagi di kabinet," kata H.
Azhari.



"Tak usah kecewa. Saya toh masih bisa duduk di rumah. Saya mempunyai banyak
kursi dan bangku panjang. Tinggal pilih saja," jawab KH. Abdul Wahid Hasyim
sekenanya sehingga mengundang tawa yang hadir.



"Tapi kami tetap menyesal karena pemimpin kita tidak dipakai oleh
pemerintah...," ujar H. Ichwan.



"Kalau tidak dipakai oleh negara, biarlah saya pakai sendiri...," sekali
lagi KH. Abdul Wahid Hasyim menjawab dengan santai dan penuh humor. Suara
tawa kembali meledak.



"Kenapa ya, menjadi menteri kok cuma sebentar?" tanya H. Azhari masih
penasaran.



"Lho, kalau kita mengantarkan jenazah ke kuburan, pembaca talqin itu kan
selalu mengingatkan kita, "Wa mal hayatud-dunya illa mata'ul ghurur".
Memangnya orang menjadi menteri untuk selamanya?" jawab KH. Abdul Wahid
Hasyim. Kali ini dengan nada sedikit serius, menggunakan *i'tibar* yang pas.



Pada tahun 1939 NU masuk menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A'la
Indonesia), sebuah badan federasi partai dan ormas Islam. Setelah masuknya
NU ke dalam federasi ini, dilakukan reorganisasi dan saat itulah KH. Abdul
Wahid Hasyim, wakil NU terpilih menjadi ketua MIAI.



Selaku pimpinan Masyumi, Wahid Hasyim merintis pembentukan Hizbullah sebagai
sayap "militer" yang membantu perjuangan umat Islam mewujudkan kemerdekaan.
Rencana pembentukan Hizbullah semula hampir urung. Banyak pihak yang
mencurigai kehadirannya dalam membantu Perang Asia Timur Raya. Tapi KH.
Abdul Wahid Hasyim, atas nama pimpinan Masyumi waktu itu, terus gigih
memperjuangkan pembentukan Hizbullah hingga akhirnya berhasil.



Ketika Jepang masuk, KH. Abdul Wahid Hasyim ditunjuk menjadi Ketua Majelis
Syuro Muslimin Indonesia. Selain mengadakan gerakan politik di kalangan umat
Islam, melalui Majelis ini Wahid Hasyim juga mengembangkan pendidikan di
kalangan umat Islam. Tahun 1944 dia mendirikan Sekolah Tinggi Islam di
Jakarta yang pengasuhannya ditangani oleh KH. A. Kahar Muzakkir.



Perhatiannya kepada dunia pendidikan sangat besar. Sewaktu menjadi Menteri
Agama pada tahun 1950 Wahid Hasyim mengeluarkan peraturan berdirinya
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kini menjadi IAIN itu.



Dalam sebuah kesempatan pidato di depan majelis pengajian NU di Banyumas,
KH. Abdul Wahid menceritakan ihwal keluarnya KH. Hasyim Asy'ari dari tahanan
Jepang. Menurut Abdul Wahid, banyak orang dengki dan tukang fitnah berusaha
menyusahkan NU dan menyengsarakan Hadhratusysyaikh. Karena Allah menghendaki
lain, maka sia-sialah usaha mereka. Malahan kini, sekeluarnya
Hadhratusysyaikh dari tahanan, beliau diberi kompensasi oleh Pemerintah
Jepang untuk menjabat Shumubucho, Kepala Jawatan Agama Pusat. Ini merupakan
kompensasi Jepang yang waktu itu merasa kedudukannya makin terdesak dan
merasa salah langkah menghadapi umat Islam.



Mendapat tawaran itu KH. Hasyim Asy'ari menerima dengan catatan, mengingat
usia yang sudah uzur dan dia harus mengasuh pesantren sehingga tidak mungkin
kalau harus bolak-balik Jakarta-Jombang. Karena kondisi ini, dia mengusulkan
agar tugasnya sebagai Shumubucho diserahkan kepada Abdul Wahid Hasyim,
puteranya.



Taktik ini sengaja dilakukan KH. Hasyim Asy'ari untuk menghindari jangan
sampai Nippon tersinggung atau menjadi curiga terhadap KH. Hasyim Asy'ari.
Memang serba sulit posisi waktu itu. Jika tawaran ini diterima, kemungkinan
akan menimbulkan fitnah, disamping kenyataannya usianya sudah uzur. Jika
ditolak, jelas akan mendatangkan kecurigaan di pihak Nippon.



Keputusan KH. Hasyim Asy'ari ternyata merupakan sebuah sikap yang sangat
brilian dan memiliki implikasi jauh sekali. Dengan keputusan itu, keinginan
Jepang terpenuhi sehingga tidak menimbulkan kecurigaan politik. Selain itu,
rupanya secara tidak langsung KH. Hasyim Asy'ari juga sedang melakukan
kaderisasi kepemimpinan level nasional kepada Abdul Wahid Hasyim. Melalui
proses inilah mulai terlihat kelas kepemimpinan Abdul Wahid Hasyim yang
sesungguhnya.



Menurut KH. Abdul Wahid Hasyim, sebenarnya dengan keputusan seperti itu
ayahnya ingin memberi contoh keteladanan kepada generasi muda bahwa
pengertian bijaksana bukanlah menjatuhkan pilihan terhadap sesuatu yang
benar dan yang salah, atau terhadap sesuatu yang baik dan yang buruk. Bijaksana
adalah kemampuan seseorang menjatuhkan pilihan antara dua perkara yang
sama-sama salah atau sama-sama buruk, tetapi kondisi mengharuskan untuk
memilih salah satunya.



Dalam kesempatan itu dia menjelaskan panjang lebar kisah penahanan
Hadhratusysyaikh dan politik kompensasi yang dijalankan Jepang. Insya Allah
dalam waktu tidak lama lagi banyak kyai yang akan menduduki Kepala Jawatan
Agama di daerah-daerah. *"Mudah-mudahan Jawatan Agama itu tidak menjurus
menjadi Jowo tan Agomo, Jawa tanpa agama,"* ujar KH. Wahid Hasyim
berseloroh.



Tokoh Termuda



Karier Wahid Hasyim dalam pentas politik nasional terus melejit. Dalam
usianya yang masih muda, beberapa jabatan penting dia sandang, baik di
kepengurusan NU maupun Masyumi. Bahkan ketika Jepang membentuk badan yang
bertugas menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan atau dikenal BPUKI,
Wahid Hasyim merupakan salah satu anggota termuda setelah BPH. Bitoro, dari
62 orang yang ada. Waktu itu Wahid Hasyim berusia 33 tahun, sementara
Bintoro 27 tahun. Sebagai tokoh muda, dia juga diangkat menjadi penasihat
Panglima Besar Jenderal Soedirman. Dia juga merupakan tokoh termuda dari
sembilan tokoh nasional yang menandatangani Piagam Djakarta, sebuah piagam
yang melahirkan proklamasi dan konstitusi negara.



Di dalam kabinet pertama, dibentuk Presiden Sukarno pada September 1945,
Abdul Wahid Hasyim ditunjuk menjadi Menteri Negara. Demikian juga dalam
Kabinet Sjahrir tahun 1946. Ketika KNIP dibentuk, Abdul Wahid Hasyim menjadi
salah seorang anggotanya mewakili Masyumi dan meningkat menjadi anggota
BPKNIP tahun 1946.



Setelah terjadi penyerahan kedaulatan dan berdirinya RIS, dalam Kabinet
Hatta tahun 1950 dia diangkat menjadi Menteri Agama. Jabatan Menteri Agama
terus dipercayakan kepadanya selama tiga kali kabinet, yakni Kabinet Hatta,
Natsir dan Kabinet Sukiman.



Pada 1 Mei 1952, dalam muktamarnya di Palembang NU memutuskan keluar dari
Masyumi dan menjadi partai politik sendiri. Sesudah keluarnya NU dari
Masyumi, KH. Wahid Hasyim menulis sepucuk surat kepada PB Masyumi yang
menyatakan alasan betapa pentingnya Masyumi mengubah struktur organisasi
menjadi sebuah badan federasi. Dengan struktur demikian, semua organisasi
yang berdasarkan Islam dapat menjadi anggotanya dan dapat dipersatukan
kembali potensi umat Islam dalam melakukan perjuangan. Seruan itu ternyata
tidak ditanggapi pihak Masyumi. Kemudian Wahid Hasyim menyampaikan gagasan
pembentukan badan federasi itu kepada Partai Sarikat Islam Indonesia dan
Partai Perti (Pergerakan Tarbiyah Islamiyah) dan ternyata disambut positif.



Dalam rapat badan persiapan, disetujui federasi itu dinamakan Liga Muslimin
Indonesia. Peresmiannya dilakukan di serambi Gedung Parlemen Pejambon (kini
Gedung Deplu) pada 30 Agustus 1952, bertepatan dengan Hari Wukuf di Arafah
pada musim haji tahun itu. Menurut anggaran dasarnya, federasi ini dibentuk
untuk mewujudkan masyatakat Islamiyah yang sesuai dengan hukum Allah dan
Sunnah Rasulullah. Untuk mewujudkan tujuan itu, federasi ini berusaha
mengatur rencana bersama mengenai langkah- langkah besar bagi kepentingan
umat Islam di Indonesia dalam segala lapangan kehidupan.



Selama menjadi Menteri Agama, KH. Abdul Wahid Hasyim melihat tanda- tanda
munculnya sikap manja di kalangan umat Islam, suatu sikap yang sangat tidak
disuka olehnya. Umat Islam sering terlalu mengandalkan support dari para
pejabat yang beragama Islam, terutama Menteri Agama. Sikap ini lambat laun
dinilai Wahid Hasyim melahirkan menurunnya semangat berusaha dan kurangnya
rasa percaya diri. Merasa punya menteri yang bisa diminta bantuan apa pun
terutama bantuan materi, dalam banyak hal umat Islam menjadi manja. Memang
ini dirasakan cukup dilematis. Jika kebutuhan umat Islam tidak dipenuhi,
akan menimbulkan perasaan tidak senang dari kalangan Islam. Apalagi secara
objektif kondisinya memang perlu dibantu. Tetapi bila setiap kebutuhan
terus-menerus dipenuhi, dikhawatirkan menimbulkan sikap manja dan melemahnya
semangat kemandirian.



Pada suatu waktu, KH. Abdul Wahid Hasyim mengeluhkan kondisi itu kepada KH.
Saifuddin Zuhri. "Apa saya tidak salah memberikan bantuan keuangan kepada
umat ini?" ujar Wahid Hasyim dengan nada bertanya. Kenapa?



"Sejak dahulu umat Islam tidak pernah mendapat bantuan material atau moral
dari Pemerintah Hindia Belanda. Umat memiliki kepercayaan pada diri sendiri
yang demikian besar. Dengan kemampuan sendiri, dengan semangat
gotong-royong, mereka mendirikan masjid, madrasah, pesantren dan bangunan
untuk kepentingan agama lainnya. Tapi kini setelah merasakan bantuan
Departemen Agama, mereka menjadi manja," katanya.



"Kan sudah selayaknya Departemen Agama membantu umat Islam, umat yang serba
terbelakang," kata KH. Saifuddin Zuhri menimpali.



"Membantu memang harus, tetapi kalau menyebabkan manja?" tuturnya setengah
uring-uringan.



Tak mau kalah, Saifuddin Zuhri balik bertanya, "Lha, yang selama ini
membantu siapa? Kan sampeyan sendiri Menteri Agama pertama yang melakukan
kebijaksanaan memberikan bantuan....."



"*Thayyib*, benar, memang saya akui. Sebab itu tadi saya menanyakan kepada
ente, apa saya tidak salah memberikan bantuan keuangan kepada umat Islam.
Pertanyaan saya itu seperti *zelf-correctie*, kritik diri," ujarnya.



Musibah di Cimindi



Tanggal 19 April 1953 merupakan hari berkabung. Waktu itu hari Sabtu tanggal
18 April, KH. Abdul Wahid Hasyim bermaksud pergi ke Sumedang untuk
menghadiri rapat NU. Berkendaraan mobil Chevrolet miliknya, Abdul Wahid
Hasyim ditemani seorang sopir dari harian Pemandangan, Argo Sutjipto, tata
usaha majalah Gema Muslimin dan putera sulungnya, Abdurrahman Ad-Dakhil.
Abdul Wahid Hasyim duduk di jok belakang bersama Argo Sutjipto.



Daerah di sekitar Cimahi dan Bandung waktu itu diguyur hujan dan jalan
menjadi licin. Pada waktu itu lalu lintas di jalan Cimindi, sebuah daerah
antara Cimahi-Bandung, cukup ramai. Sekitar pukul 13.00 ketika memasuki
Cimindi, mobil yang ditumpangi Abdul Wahid Hasyim selip dan sopirnya tidak
bisa menguasai kendaraan. Di belakang Chevrolet nahas itu banyak
iringan-iringan mobil. Sedangkan dari arah depan sebuah truk yang melaju
kencang terpaksa berhenti begitu melihat ada mobil zig-zag karena selip dari
arah berlawanan. Karena mobil Chevrolet itu melaju cukup kencang, bagian
belakangnya membentur badan truk dengan kerasnya. Ketika terjadi benturan,
Abdul Wahid Hasyim dan Argo Sutjipto terlempar ke bawah truk yang sudah
berhenti itu. Keduanya luka parah. KH. Abdul Wahid Hasyim terluka bagian
kening dan mata, serta pipi dan bagian lehernya. Sedangkan sang sopir dan
Abdurrahman tidak cedera sedikit pun. Mobilnya hanya rusak bagian belakang
dan masih berjalan seperti semula.



Lokasi terjadinya kecelakaan ini memang agak jauh dari kota. Karena itu
usaha pertolongan datang sangat terlambat. Baru pada pukul 16.00 datang
mobil ambulans untuk mengangkut korban ke Rumah Sakit Boromeus di Bandung.
Sejak mengalami kecelakaan, kedua korban terus tidak sadarkan diri. Pada
pukul 10.30 hari Ahad, 19 April 1953, KH. Abdul Wahid Hasyim dipanggil ke
hadirat Allah SWT. dalam usia 39 tahun. Beberapa jam kemudian, tepatnya
pukul 18.00 Argo Sutjipto menyusul menghadap Sang Khalik.



Musibah ini tentu mengejutkan masyarakat. Jenazahnya dibawa ke Jakarta dan
setelah disemayamkan sejenak, lalu diterbangkan ke Surabaya. Selanjutnya
dibawa ke Jombang untuk dimakamkan di Pesantren Tebuireng. Banyak yang
menyesalkan kyai berusia muda dan merupakan tokoh nasional itu begitu cepat
dipanggil menghadap Sang Khalik. Tetapi, itulah kehendak Tuhan.



Jika pada umumnya kematangan prestasi dan karier seseorang baru dimulai pada
usia 40, KH. Wahid Hasyim justru telah merengkuhnya pada usia di bawah itu.
Orang menilai kematian itu teramat cepat datangnya, secepat Wahid Hasyim
meraih prestasi. Karena itu, melihat kepemimpinan dan prestasi yang diraih
Wahid Hasyim dalam usia mudanya, sering muncul pengandaian dari masyarakat,
*"...seandainya KH. Wahid Hasyim dikaruniai usia yang lebih panjang, tidak
mustahil..."*



Dari *"KARISMA ULAMA, Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU"*, Editor: Saifullah
Ma'shum, Penerbit: Yayasan Saefuddin Zuhri dan Penerbit MIZAN


-- 
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://ppi-india.blogspot.com 
4. Satu email perhari: ppiindia-dig...@yahoogroups.com
5. No-email/web only: ppiindia-nom...@yahoogroups.com
6. kembali menerima email: ppiindia-nor...@yahoogroups.com
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    ppiindia-dig...@yahoogroups.com 
    ppiindia-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke