Luna Bukan Kopaja

Peluru ditembakkan ke udara. Asbak melayang. Dan sekarang, sebaris sumpah 
serapah di Twitter.

Relasi media hiburan dengan komoditas tunggalnya—yakni para penghibur, atau 
yang lebih sering disebut "artis"—adalah hubungan yang berwarna-warni. 
Kadang-kadang keduanya menempel manis bagai semut yang memeluk gula, tapi 
kadang-kadang keduanya saling sengit bagai kucing dan anjing.

Dan kini, dalam mangkok besar industri hiburan, kita pun punya apa yang 
disebut: infotainment—hadir dalam bentuk program teve yang laku ditonton dan 
diproduksi dengan biaya tak besar. Berbeda dengan sinetron yang menuntut 
puluhan kru serta puluhan pemain dengan honor yang tak kecil, infotainment 
melenggang ringan dengan satu-dua kamera, dua-tiga kru, dan segenggam mikrofon 
yang ditodongkan ke para artis yang tak dibayar* untuk membuka ruang privat 
kehidupan mereka. Simbiosa? Sudah pasti. Saling membutuhkan? Tidak setiap saat. 
Saling menguntungkan? Belum tentu.

Berikut beberapa anggapan umum, yang saking mapannya bersarang di benak 
masyarakat, sudah jarang kita pertanyakan atau cek kebenarannya, antara lain:

1. "Media hiburan dan artis saling membutuhkan."

Bagi saya, kalimat itu terdengar manis dan bijak tapi juga menjebak dan 
menjerat. Menjebak hingga artis dipaksa untuk melonggarkan bahkan merobohkan 
garis privasi di luar keinginannya, dan menjerat masyarakat untuk terus 
mewajarkan tindakan-tindakan intimidatif infotainment dengan alasan "itu kan 
risiko jadi orang terkenal."

Agar karya saya menggaung di masyarakat luas, saya membutuhkan media sebagai 
amplifier-nya, termasuk media hiburan (meski ada juga karya yang jadi besar dan 
laris bahkan sebelum media sempat menyentuhnya). Namun tidak semua jenis 
pemberitaan mendukung karya ataupun pamor saya. Bahkan ada pemberitaan yang 
mengganggu hidup saya. Bukan "saling membutuhkan" namanya jika saya menolak 
diliput dan malah terus dikuntit, rumah saya ditongkrongi dan dimata-matai. 
Bukan "saling membutuhkan" namanya jika kalimat saya diputar-balikkan untuk 
memenuhi opini subjektif tertentu melalui gambar dan narasi yang lantas dibagi 
ke jutaan pemirsa. Dalam situasi seperti itu, saya menolak keras generalisasi 
bahwa artis selalu membutuhkan media hiburan.

Media dan seorang artis hanya layak disebut saling membutuhkan jika memang 
keduanya sedang merasa ada kebutuhan, yang artinya: situasional. Tidak 
terus-menerus dan berubah-ubah.

2. "Hubungan antara artis dan infotainment bersifat mutualisme."

Mengatakan, atau mengharapkan, bahwa hubungan antara artis dan infotainment 
selalu bersimbiosa mutualisme, menurut saya, adalah pernyataan yang buta. 
Simbiosa yang terjadi di lapangan bisa beragam:

• Mutualisme : Saat si artis mengizinkan dengan sukarela untuk si infotainment 
masuk ke dalam ruang privatnya, dari mulai meliput bisnis sampingan, meliput 
ulang tahun anak, bahkan untuk membantu posisi tawarnya dalam industri. 
Infotainment pun kadang sengaja dilibatkan ketika si artis hendak memenangkan 
sebuah konflik. Dalam relasi ini, kedua pihak sama-sama diuntungkan.

• Komensalisme : Dengan izin atau tanpa izin, disengaja atau tidak, 
infotainment mewawancarai artis dan diladeni secara netral-netral saja. 
Misalnya, untuk memberi komentar ringan, atau meminta klarifikasi atas 
berita-berita remeh (baca: bukan skandal). Dalam pengamatan saya, relasi macam 
inilah yang paling banyak terjadi; si artis bisa berjalan lalu sambil berkata 
"Ah. Biasalah, infotainment," dan si reporter bisa permisi pergi dengan muka 
lurus tanpa harus mengejar dan mencecar. Dalam jenis relasi ini, artis tidak 
merasa diuntungkan, tapi juga tidak merasa dirugikan.

• Parasitisme : Ketika si artis tidak memberikan persetujuan, kerelaan, atau 
keinginan untuk meladeni infotainment, tapi terus didesak, dipaksa, bahkan 
diintimidasi. Dan kemudian berita tetap ditayangkan dengan memakai perspektif 
satu pihak saja. Dalam pengemasannya, beberapa infotainment bahkan sampai 
melakukan teknik wawancara imajiner, pemalsuan suara, memutar balik kejadian 
sebenarnya, dan cara-cara lain yang sudah menjurus ke arah fitnah.** Dalam 
relasi ini, jelas yang diuntungkan hanyalah pihak infotainment, sementara pihak 
artis dirugikan, bahkan dicurangi.

3. "Kalau beritanya aib pasti artisnya menghindar, kalau berita baik 
infotainment-nya dibaik-baikin."

Lagi-lagi, buat saya itu adalah opini yang malas dan tak jeli. Tak sedikit area 
yang disebut "baik-baik" oleh banyak orang, tapi bagi beberapa artis tertentu 
merupakan ruang privat yang tidak ingin dibagi ke infotainment, seperti 
kelahiran anak, acara pernikahan, dst. Dan banyak juga konflik/isu berbau 
skandal yang secara sengaja justru melibatkan infotainment atas 
undangan/persetujuan/kerelaan artisnya. Jadi, fakta di lapangan lagi-lagi tidak 
mendukung opini umum tersebut. Setiap artis punya preferensi dan garis batasnya 
masing-masing.

4. "Seorang figur publik wajib membuka dirinya terhadap publik karena ia sudah 
jadi milik publik."

Sewaktu kecil, saya tidak pernah bercita-cita jadi figur publik. Yang saya 
ingat, saya ingin jadi penulis dan musisi profesional. Itu saja. Saat saya 
berkarya, saya mempertanggungjawabkannya dengan cara-cara yang sederhana: 
menjamin bahwa karya saya asli dan mencintainya sepenuh hati.

Namun karya dan citra melangkah seiring sejalan ketika sudah masuk ke dalam 
industri. Di sana, karya menjadi besar, citra pun ikut membesar, dan saya yang 
manusia biasa kadang-kadang tenggelam oleh keduanya. "Figur publik" akhirnya 
menjadi efek samping yang mengiringi profesi artis, walaupun berkarya dan 
terkenal sebetulnya adalah dua hal yang berbeda.

Sialnya, pengertian "figur publik" selalu ditempelkan dengan konotasi "milik 
publik". Kita amat sering terpeleset dengan menganggap keduanya identik, 
padahal secara esensi keduanya berbeda. Dalil itulah yang kemudian digunakan 
infotainment untuk menuntut artis buka mulut. Sering sekali mereka 
mengatasnamakan "masyarakat" dengan mengatakan "Masyarakat berhak untuk tahu!"

Bagi saya, yang menjadi milik publik adalah karya saya. Masyarakat bisa membeli 
buku saya, CD album saya, mengundang saya untuk diskusi buku dalam kapasitas 
saya sebagai penulis, atau mengundang saya bernyanyi dalam kapasitas saya 
sebagai penyanyi. Namun saya punya hak penuh atas kehidupan pribadi saya. Hidup 
saya bukan milik publik. Adalah hak saya sepenuhnya untuk menentukan seberapa 
banyak potongan kehidupan pribadi yang ingin saya bagi dan mana saja yang ingin 
saya simpan.

Artis adalah manusia yang berkarya. Bukan telepon umum.

5. "Seorang artis harus selalu bertutur laku baik dan sopan."

Ini barangkali anggapan umum yang paling naif tentang artis. Pertama-tama, 
bukan hanya artis, seorang tukang becak pun dituntut untuk bertutur laku baik 
dan sopan pada penumpangnya. Ketika sudah hidup bermasyarakat, sikap baik dan 
sopan melancarkan interaksi kita dengan satu sama lain. Namun kita juga manusia 
yang punya dua sisi. Kita pun bisa marah dan kehilangan kendali. Lantas apa 
yang membedakan Luna Maya dengan Mang Jeje—tukang becak langganan saya di 
Bandung?

Sebuah pepatah bijak berkata: "Semakin tinggi pohon, semakin keras angin 
menerpa." Saya setuju. Tapi tidak berarti bahwa seseorang yang dianggap bintang 
lantas di-dehumanisasi-kan. Menuntut seorang bintang untuk selalu sempurna, 
bukan saja berarti penyangkalan atas kemanusiawian, tapi juga mustahil bisa 
dipenuhi. Jadi, jika kesempurnaan adalah kemustahilan, mengapa sebagian dari 
kita begitu sulit berempati?

Seorang Luna Maya, yang sudah minta pengertian secara baik-baik, tapi malah 
terus didesak hingga kamera membentur kepala anak yang sedang ia gendong, 
lantas meledakkan emosinya di Twitter—sebegitu irasionalkah tindakannya itu? 
Atau justru manusiawi? Apa yang kira-kira akan kita lakukan jika kita menjadi 
Luna? Tetap bermanis-manis hanya karena status artisnya, hanya karena konon ia 
"milik publik"? Sekali lagi, seingat saya, Luna adalah model dan presenter. 
Bukan Kopaja. Apa hak kita untuk mengklaim agar Luna bertutur laku sebagaimana 
keinginan kita? Kita bisa menyimpan fotonya, menyimpan RBT lagu Luna di telepon 
genggam kita, tapi kita tidak bisa mengontrol manusianya seperti kita 
mengoperasikan AC dan remote-nya.

6. "Tanpa media, artis tidak akan jadi siapa-siapa."

Ini barangkali sihir terkuat yang merasuk di kalangan artis. Kita tahu, betapa 
besar peran media dalam perkembangan karier seorang artis—entah itu karier 
musik, sinetron, film, model, dsb. Tapi, mari kita lihat skala yang 
sesungguhnya: Media bukan cuma satu. Media hiburan merupakan salah satu bagian, 
bukan keseluruhan. Infotainment juga cuma sebagian dari media hiburan, bukan 
keseluruhan.

Infotainment memang powerful. Terbukti ada orang-orang yang disulap dari bukan 
siapa-siapa dan tahu-tahu menjadi artis papan atas setelah diekspos 
habis-habisan di infotainment. Dan ada juga artis yang hidupnya ditelanjangi 
habis-habisan sampai harus menghilang bertahun-tahun dari panggung hiburan.

Tapi, jangan kita balik logikanya. Saya tidak melihat infotainment dan artis 
seperti logika ayam dan telur. Apalagi kalau infotainment disebut sebagai 
"induk" dari eksistensi seorang artis. Infotainment adalah fenomena yang muncul 
tahun '90-an, sementara saya tumbuh besar menyaksikan artis-artis yang mampu 
eksis berdasarkan bakat dan karyanya jauh sebelum ada infotainment. Dan jangan 
kita lupa, tanpa artis, infotainment hanya corong kosong tanpa isi. Corong itu 
boleh nyaring. Tapi kalau tidak ada yang disuarakan, ia pun senyap dan hampa.


Bangun Dari Ilusi

Sayangnya, selama ini dari kalangan artis sendiri lebih banyak memilih diam 
atau bersungut-sungut di belakang. Padahal pihak artislah yang paling banyak 
dirugikan. Entah karena terlena, merasa bakal sia-sia saja, atau kita masih 
dihantui image infotainment yang terasa begitu besar dan berkuasa hingga kita 
percaya buta bahwa jatuh-bangun karier kita ditentukan mereka. Dan sama seperti 
semua manusia, tidak ada artis yang ingin kehilangan rezekinya atau dihukum di 
layar kaca dengan pemberitaan negatif.

Jika ada pepatah bijak yang bisa berguna, maka inilah dia: "Rezeki diatur oleh 
Tuhan. Bukan oleh infotainment."

Saya tidak mengajak siapa pun untuk memusuhi infotainment. Permusuhan bukanlah 
tujuan saya menulis sebegini panjang lebar. Tapi kiranya para artis bisa 
melihat relasinya dengan media hiburan secara proporsional.

Mari kita bangun dari ilusi bahwa cuma ada satu tangan besar yang menentukan 
mati-hidupnya karier kita. Keberhasilan seorang artis ditentukan oleh banyak 
faktor, frekuensi pemunculannya di infotainment hanyalah satu faktor, bukan 
segalanya.

Berikut beberapa hal sederhana yang sekiranya bisa seorang artis lakukan untuk 
perimbangan berita:

1. Ungkapkanlah sisi cerita kita. Menulis di blog/situs pribadi, atau lakukan 
wawancara dengan media cetak yang bersahabat untuk menulis sisi cerita kita. 
Jangan kecil hati jika cerita kita kalah jumlah pembacanya dengan pemirsa teve 
yang jutaan. Adanya sebuah sumber cerita langsung dari yang bersangkutan jauh 
lebih berarti ketimbang bungkam sama sekali.

2. Jika memungkinkan, bawalah alat perekam/kamera saat infotainment meliput 
kita. Semua artis yang pernah berurusan dengan infotainment tentunya tahu 
betapa banyak kejadian asli yang terdiskon ketika muncul di layar teve, belum 
lagi narasi yang merajut potongan adegan agar muat di kerangka opini tertentu 
saja. Lalu kemanakah rekaman dari sisi kita itu kita tayangkan? YouTube. 
Promosinya? Believe me, with a tweet or two, we can have thousands of viewers 
before we know it. Maybe even more if it got spread. Kalau tidak mau repot 
sampai menayangkan pun tidak masalah, dengan membawa perekam tandingan saja 
sudah cukup mengubah percaturan psikologis saat kita sedang diliput. Catatan: 
Reza pernah merekam balik juru kamera infotainment yang menguntitnya. Dan 
ketika dia bertanya: "Buat apa Mas Reza pakai kamera segala?" Reza menjawab, 
"Ya sama kayak kamu, ngambil gambar tanpa izin." Hasilnya? Yang bersangkutan 
pun akhirnya gerah sendiri dan kabur ke toilet pria. And yes. Reza followed him 
all the way there.

3. Tegas berkata `tidak' dan berikan batas dari awal. Tidak jarang, artis 
diundang ke satu acara atau dikontrak oleh pihak yang memang secara resmi 
mengundang infotainment. Kita bisa mensyaratkan sejak awal pada pihak 
penyelenggara bahwa wawancara hanya sebatas materi yang mendukung acara dan 
tidak melenceng ke hal-hal pribadi, dan untuk itu kita bisa meminta panitia 
untuk ikut menggawangi jalannya wawancara. Tegas bilang `tidak' atau diam 
ketika pertanyaan mulai melenceng. And when things start to get out of hand, 
just do what every Miss Universe is known best at: smile and wave.


Penderitaan Sebagai Candu

Di luar dari itu semua, sebagian besar masyarakat pun punya problem adiksinya 
sendiri. Infotainment telah memanjakan tendensi manusiawi kita untuk merasakan 
kepuasan saat melihat ada orang lain yang tidak lebih baik, bahkan lebih 
menderita, ketimbang kita. Schadenfreude. Apalagi kalau orang-orang itu adalah 
kaum yang kita anggap super, yang punya segalanya. Kita semua menyimpan 
tendensi itu, sadar atau tak sadar, sama halnya kita punya potensi untuk 
membunuh dan merusak. Namun kita punya pilihan untuk tidak melakukannya, tidak 
memeliharanya.

Kita bisa menjadi penonton yang lebih mawas dan melek. Tontonan infotainment 
seharusnya ditujukan untuk menghibur dan memberi informasi. Ketika sudah 
menjadi ajang penghakiman, berarti ada yang tidak beres. Ada yang melenceng.

Sebagai penonton yang memilih tidak suka, saya sarankan untuk bersuara dengan 
konstruktif, entah lewat jaringan sosial di internet atau apa pun sesuai 
kapasitas kita. Dengan menyuarakan sikap, mudah-mudahan pihak produser 
infotainment maupun teve sudi instrospeksi dan membuat konten programnya lebih 
bermutu dan berimbang.

Cara paling sederhana? Matikan teve. Atau ganti saluran.


Berempati Tidak Perlu Polisi

It takes one to know one. Sampai kita mengalami apa rasanya dicecar dan 
dikepung kamera, kita tidak bisa sepenuhnya mengerti apa yang membuat Parto 
menembakkan pistol ke udara, apa yang membuat Sarah Azhari melempar asbak, dan 
apa yang membuat Luna Maya mengumpat di Twitter-nya. Di lain sisi, sampai kita 
tahu apa rasanya berpeluh dan bersusah payah mengejar sekalimat-dua kalimat 
demi mengejar setoran berita, kita pun tidak bisa sepenuhnya memahami mengapa 
mereka, para wartawan infotainment yang awalnya bisa sangat manis dan sopan, 
tahu-tahu bisa berubah seperti preman tak tahu aturan.

Saya tidak berpendapat bahwa yang ditulis Luna di Twitter-nya itu manis dan 
terpuji. Ia memang mengumpat dan memaki. Tapi dengan mengetahui sebab yang 
melatari aksi Luna, segalanya sangatlah sederhana. Kita manusia. Kita menangis. 
Kita tertawa. Kita marah. Kita khilaf. Sesuatu yang bisa diselesaikan dengan 
satu musyawarah di kedai kopi. Tanpa perlu mengadu ke polisi. Tanpa perlu UU 
ITE. Jadi, untuk apa membunuh nyamuk dengan bom atom?


Menghindari Bumerang Dengan Nurani

Mengadukan Luna hingga ke polisi, dan di sisi lain TIDAK memberikan berita 
berimbang tentang MENGAPA Luna sampai bersumpah serapah di Twitter, dan 
bukannya MINTA MAAF karena nyaris membuat seorang anak cedera, menurut saya 
adalah langkah yang tidak strategis bahkan berbahaya. Infotainment jelas bukan 
figur bercitra innocent yang mengundang simpati. Saat ini, infotainment tengah 
diuji. Artis pun sedang diuji. Dan masyarakat menyoroti. Pembelaan terhadap 
Luna terus mengalir.

Ironisnya, kamera pun terus berputar. Semakin panjang dan heboh masalah ini, 
kembali infotainment diuntungkan. Sensasi adalah uang. Jadi, jika keuntungan 
finansial sudah di kantong, tidakkah kehormatan juga layak dikantongi? Andai 
saja pihak infotainment sudi menelan ludahnya lalu melucuti label-label "pers", 
"artis", dst, kembali menjadi individu, kembali menjadi manusia biasa, ia 
justru bisa memperoleh respek. Namun jalur yang dipilihnya kini justru 
berpotensi menjadi bumerang. Pers hiburan memang besar. Tapi masyarakat jauh 
lebih besar.

Kasus ini bukan saja memancing reaksi dari masyarakat yang selama ini jengah 
bahkan muak dengan kualitas tayangan infotainment, tapi juga mengundang potensi 
`pengadilan rakyat' yang berbasis nurani umum, seperti halnya kasus Prita vs 
RS. Omni. Tapi jika tujuan akhir pihak infotainment yang dinaungi PWI tersebut 
ternyata hanyalah sensasi (baca: rating)? Maka biarlah kecerdasan dan nurani 
rakyat yang akhirnya menilai sendiri.

Suara saya ini mungkin tidak punya arti. Setelah kasus ini berlalu, mungkin 
tetap tidak terjadi perubahan apa-apa dalam praktek infotainment, pada 
kegandrungan masyarakat luas akan kehidupan pribadi para artis, maupun pada 
sikap kebanyakan artis yang masih cenderung permisif dan bermain aman ketika 
berhadapan dengan kuasa kamera infotainment. Saya menghargai pilihan setiap 
orang. Bersimbiosa mutualisme dengan infotainment bukanlah hal yang salah. 
Bekerja bagi industri infotainment pun bukan hal yang salah—baik itu sebagai 
kru maupun presenter. Menjadi artis yang memilih untuk menutup diri dari 
infotainment pun bukan hal yang salah. Ini memang bukan masalah benar atau 
salah, melainkan preferensi. Dan ketika kita menghargai pilihan masing-masing, 
batas privasi masing-masing, niscaya tidak perlu lagi ada peluru menembak ke 
udara atau caci maki di jagat maya.

Hukum, dan praktek hukum di lapangan, tidak selalu berbasiskan nurani, 
melainkan permainan kelihaian di dalam kotak sistem. Jadi bukannya tidak 
mungkin pihak infotainment/PWI akan menjadi pemenang di jalur hukum. Jujur, 
saya tidak terlalu menganggapnya penting. Nurani tidak bisa dikelabui. Dan, 
sekali nurani terusik, masyarakat—Anda dan saya—tak akan pernah lupa.


* Ada kalanya artis dibayar. Berita-berita ringan lucu yang tahu-tahu 
memunculkan kemasan odol, obat penurun panas, suplemen, dsb, itu? Berita 
demikian namanya "insertion". Dan artis yang berpartisipasi mendapat imbalan 
dari produsen yang bekerja sama dengan infotainment.

** Semua contoh metode memutar balik fakta tersebut sudah pernah saya alami 
langsung. Detailnya bisa dibaca di sini dan di sono.


SUMBER : Blog Dewi lestari 

http://dee-idea.blogspot.com/2009/12/luna-bukan-kopaja.html

Kirim email ke