Naluri Bergunjing Manusia Sulit Hentikan Program InfotainmentSkandal
video porno yang melibatkan vokalis band Peterpan, Ariel Irham dan
pacarnya artis Luna Maya serta artis Cut Tari, berdampak panjang dan
memecah belah masyarakat pers Indonesia.Herman HakimRabu, 28 Juli 2010Foto: 
APKisah
seputar artis, termasuk kehidupan pribadinya, seperti halnya Lindsay
Lohan tak luput dari perhatian para pekerja infotainment.Skandal
video porno yang melibatkan vokalis band Peterpan, Ariel Irham dan
kekasihnya artis Luna Maya, serta artis Cut Tari baru-baru ini, memecah
belah masyarakat pers Indonesia dalam memandang program berita hiburan
di televisi yang dalam khasanah jurnalistik Indonesia disebut
infotainment.Program berita hiburan yang dibuat beberapa rumah
produksi yang ditayangkan di hampir semua stasiun televisi ini,
mengerahkan semua energi untuk meliput skandal  yang memiliki nilai
jual tinggi ini.Banyak insan pers menilai, dalam meliput
peristiwa itu, para pekerja infotainment sering tidak mengindahkan
kaidah-kaidah peliputan sepatutnya, misalnya, mereka sering tidak
menampilkan kedua sisi maupun melakukan uji silang kepada nara sumber.Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI), Asosiasi Jurnalis Indonesia (AJI), dan
Asosiasi Jurnalis Televisi Indonesia (AJTI) menghendaki agar
infotainment dikategorikan sebagai karya non-faktual. Dengan demikian,
karya jurnalistik mereka  dikategorikan sebagai  ceritera fiktif dalam
film, meski prosedur kerja mereka mengikuti pola kerja jurnalistik.Dewan
Pers dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)  bersikap lebih netral
dengan mengatakan, infotainmen diakui oleh Undang-Undang Pers tahun
1999, karena undang-undang itu mencakup media cetak dan elektronik.
Jalan keluarnya, Dewan Pers kini tengah membahas pembentukan sebuah media watch 
untuk menganalisa siaran televisi.Sejumlah
organisasi keagamaan juga mengecam praktik jurnalistik infotainmen
karena program itu menyebarkan  aib dalam rumah tangga.Namun,
apa pun bentuk kejengkelan perorangan atau institusional terhadap
infotainmen, kegiatan ini tak akan terhentikan karena kebiasaan
bergunjing merupakan naluri kemanusiaan yang tak terhentikan oleh siapa
pun. Kemajuan teknologi radio dan pertelevisian, mengamplifikasi
pergunjingan itu. Beberapa tahun belakangan ini, Internet
menglobalisasinya.Taufiq Rachman, seorang wartawan The Jakarta
Post, lulusan Universitas Northern Illinois, De Kalb, dan Wina Armada
Sukardi, anggota Dewan Pers dan mantan ketua PWI mengulas skandal ini
dengan VOA, dan mengulas dampaknya terhadap masyarakat pers Indonesia
khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Berikut kutipan
wawancara dengan keduanya.Taufiq Rachman VOA: Bagaimana Anda menjelaskan 
praktik jurnalisme infotainment? Taufiq Rahman:
Fenomena infotaintmen itu bisa kita jelaskan sebagai kepanjangan dari
apa yang sudah kita lakukan di masa lalu ketika belum ada televisi,
belum ada media (cetak), belum ada radio. Kita biasa bergunjing dengan
tetangga untuk sekadar menghabiskan waktu luang.Si A hamil di
luar nikah, dibicarakan. Si B punya pacar baru dibicarakan. Yang
dilakukan infotainmen sekarang ini adalah kepanjangan atau ekstensi
dari apa yang sudah kita lakukan di masa lalu. Tetapi berhubung dengan
kemajuan teknologi, maka sekarang kita punya media yang khusus membahas
itu. Ada televisi yang khusus membahas dan kalau kemudian ini diklaim
sebagai perwakilan dari institusi jurnalisme, saya pikir, (itu) tak
terlalu tepat dan agak berlebihan karena kita harus menempatkan bahwa
(acara) itu adalah hiburan.Jadi, keputusan beberapa pihak yang
ingin memasukkan ini di luar ranah jurnalisme, saya setuju karena salah
satu tujuan penting, untuk tidak mengatakan, tujuan yang sangat
penting, dari jurnalisme adalah pendidikan, dan pencerahan lewat
informasi-informasi yang bisa dipertanggungjawabkan.Satu kaidah mendasar yang 
disepakati semua wartawan adalah prinsip meliput dua pihak (cover both sides).
Nah, hal inilah yang banyak tidak dilakukan oleh media-media
entertainment, media-media gosip itu. Mereka lebih banyak menyiarkan
berita-berita yang tidak jelas sumbernya. Konfirmasi yang mereka,
menurut pengamatan saya, sangat supervisial. Mereka berduyun-duyun ke
depan rumah nara sumber (tanpa diundang), tanpa pemberitahuan lebih
dahulu,  hanya sekedar memberi lip service bahwa mereka seolah-olah sudah 
melakukan tugas-tugas jurnalisme. Saya kira, tugas jurnalisme bukan itu.VOA:
Jurnalisme model infotainment di Indonesia juga ada di luar negeri.
Anda pernah menetap lama di Amerika. Bagaimana Anda menjelaskan
berita-berita hiburan di Amerika? Taufiq: Saya
terus terang ketika berada di luar negeri, terutama di Amerika, saya
senang sekali menyaksikan E! Entertainment atau TMZ yang sangat
terkenal baik online mau pun televisi TMZ, pada dasarnya menyiarkan
hal-hal yang tidak penting. Dari situ, saya, atau mungkin orang yang
nonton itu sadar bahwa itu hiburan.Jadi, kita tempat hal-hal
seperti itu pada tempat yang sebenarnya: bahwa itu hiburan. Jadi, di
luar negeri, tempatnya jelas yakni televisi kabel. Kalau koran,
tempatnya jelas yakni tabloid, koran kuning. Ketika koran kuning atau
siaran televisi gosip itu menyiarkan programnya, kita tidak menanggapi
itu sebagai hal yang serius dan orang-orang di balik media itu tidak
mengklaim diri sebagai perwakilan dari jurnalisme yang serius. Mereka
tidak berpretensi untuk menjadi serius.Sedangkan di Indonesia,
kasusnya, mereka main-main, tetapi ingin mengklaim dirinya sebagai
melakukan pekerjaan jurnalisme. Saya pikir itu tidak fair untuk
jurnalis yang benar-benar menjalankan tugasnya. Kalau di luar negeri,
ada pembagian tugas yang jelas bahwa ini entertainment. Tak usah
dianggap serius.Tetapi kalau The New York Times menulis tentang
artis, The New York Times tidak menulisnya sebagai gosip. Mereka akan
menulisnya dengan cross check ke sumber yang jelas. Oleh
kerena itu, tulisan di New York Times, akan dianggap serius dan bisa
dipertanggungjawabkan. Tetapi kalau ada orang yang menonton Angelina
Jolie di televisi TMZ, maka, orang akan melihatnya sebagai hiburan,
tidak serius.VOA: Jurnalisme infotainment atau paparazzi di Inggris lebih 
galak, bukan?Taufiq: Di
Inggris itu, tabloid-tabloid kuning itu, lebih kejam lagi. Mereka
terkenal sangat sarkastis, sangat mengganggu privacy orang lain. Salah
satu dari beberapa agen foto paparazzi paling besar, adalah di Inggris.
Satu foto seharga 100 hingga 200 ribu dolar hanya untuk foto artis yang
sedang mandi di tepi pantai . Jadi, hal-hal yang supervisial mendapat
tempat yang tinggi di sana. Jadi, itu fenomena yang sangat universal
bahwa manusia tak bisa dilepaskan dari kecenderungannya untuk
bergunjing. Cuma, pada akhirnya harus ada batasannya.Wina Armada Sukardi VOA: 
Skandal video porno memecah belah masyarakat pers. Bagaimana Anda 
menjelaskannya? Wina Armada Sukardi:
Saya ingin meluruskan apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia.  Tak
ada satu keputusan resmi yang mengatakan bahwa infotainment bukan
jurnalistik. Dalam hal ini, ada dua pendapat bahkan di kalangan
organisasi wartawan. Persatuan Wartawan Indonesia sejak awal mengatakan
infotainment adalah bagian dari  jurnalistik. Oleh karena itu, PWI
memiliki departemen infotainment.Sebaliknya AJI, baru saja
beberapa hari lalu mengatakan infotainment bukan jurnalistik. Bagaimana
dengan Dewan Pers, lembaga independen yang ditugaskan oleh UU Pers
untuk mengurusi masalah-masalah pers. Dewan pers berpatokan kepada
pasal 1 ayat 1 UU no 40 1999 yang mengatakan UU Per situ meliputi pers
cetak, elektronik, termasuk radio dan televisi dan semua saluran yang
tersedia.Oleh karena itu,sampai hari ini, pendapat Dewan Pers
adalah semua yang memenuhi kaidah UU pers dan kode etik jurnalistik,
apakah itu infotainment atau bukan, termasuk ke dalam karya
jurnalistik. Inilah yang menjadi keputusan.VOA: Mengapa AJI mempersoalkannya? 
Wina: Masalah
ini bermula kepada penayangan mengenai kasus video porno yang
melibatkan Ariel, Luna Maya dan Cut Tari. Ada perbedaan pendapat
memandang hal ini. Satu pihak mengatakan termasuk banyak pendukung AJI:
bahwa Ariel, Cut Tari dan Luna Maya tidak bersalah, mereka adalah
korban. Oleh karena itu, tak bisa dihukum. Sebaliknya banyak pendukung 
lainnya, terutama pendukung PWI yang mengatakan ini adalah tindakan
asusila dan dijatuhi hukuman sesuai undang-undang pornografi.Perdebatan
soal ini kemudian melebar  kepada masalah infotainment karena soal ini
ditayangkan hampir setiap hari dan sempat memecahkan rekor sebagai trending 
topic
di Twitter. Dari situlah kemudian menimbulkan perdebatan. Perdebatan
lebih hangat lagi ketika ada keputusan ketika ada rapat antara KPI,
Komisi I DPR dan tiga anggota Dewan Pers yang mengatakan akan
mempertimbangkan infotainment dari karya factual menjadi karya
non-factual.Jadi, kalau selama ini,  menurut KPI infotainment
adalah karya factual, berdasarkan fakta-fakta  akan dimasukkan ke dalam
karya non-faktual. Jadi, dianggap kreasi imajinatif  dan penuh
rekayasa. Kalau ini terjadi, maka infotainment, sebagai konsekuensi
logis, akan masuk ke dalam sensor yang dilakukan lembaga resmi yakni
Lembaga Sensor Film.Tentu penyensoran semacam ini menimbulkan
lagi perdebatan di kalangan jurnalistik karena UU Pers pasal 4 ayat 2
dengan tegas mengatakan, terhadap pers nasional, tidak dikenakan
penyensoran, pembreidelan dan pelarangan siaran.VOA:
Seperti di Amerika, bagaimana kalau televisi kabel dikembangkan di
Indonesia agar program infotainment bisa melakukan eksplorasi secara
lebih leluasa tetapi eksklusif? Wina: Kalau kita
bicara channel khusus maka akan banyak sekali, sedangkan ini, setiap
stasiun televisi, hampir mempunyai infotainment. Anda bayangkan, berapa
banyak channel khusus nantinya.Kemudian juga di sini, berkaitan
dengan kewenangan, yuridiksi. KPI mengatakan, karena ini di layar
televisi, adalah kewenangan KPI.  Dan oleh karena itu, KPI berhak
memutuskan apa saja,  termasuk melakukan sensor, pemberhentian
penyiaran sementara, teguran dan sebagainya.Sebaliknya, saya
pribadi, (merujuk pada) UU Pers, yang meliputi cetak dan elektronik.
Inilah pada hari-hari ini, yang di Indonesia sedang ramai
diperbincangkan, bahkan sudah menyangkut masalah pribadi dari
masing-masing orang dari anggota Dewan Pers maupun KPI.















 
        
         
        
        
        
        
        
        
        
         
        
        
        
        
                

        







                
                
        
         
        
        
        
        
        Find this article at:
        

http://www1.voanews.com/indonesian/news/Naluri-Bergunjing-Manusia-Sulit-Hentikan-Program-Infotainmen-99508649.html?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter&utm_campaign=VOA+Indonesia




From: TVJunkiest <naratam...@yahoo.com>
Subject: [NaratamaTV] VOA kupas Infotainmen
To: naratam...@yahoogroups.com
Date: Thursday, July 29, 2010, 10:04 AM







 



  


    
      
      
      Dear all,



VOA sempat mengupas topik Infotainment ini,

simak ya:



Naluri Bergunjing Manusia Sulit Hentikan Infotainmen



http://www1.voanews.com/indonesian/news/Naluri-Bergunjing-Manusia-Sulit-Hentikan-Program-Infotainmen-99508649.html?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter&utm_campaign=VOA+Indonesia



Salam

Naratama



 



  






      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke