Refeleksi : Pesta "kemerdekaan" dan bulan puasa kali ini adalah  sangat 
istimewa sebab selama usia 65 tahun sebahagian besar rakyat sering berpuasa 
bukan karena alasan agama, tetapi karena negara tidak membebaskan rakyatnya 
dari kemiskinan. Tidak bebas dari kemiskinan berarti sering lapar karena tidak 
ada makanan untuk di makan, dengan lain kata mereka berpuasa tanpa diritualkan 
oleh agama tetapi oleh negara dan penguasanya.

http://nasional.kompas.com/read/2010/08/10/08041367/Puasa.dan.Kemerdekaan

Selasa, 10 Agustus 2010 | 08:04 WIB

OPINI

Puasa dan Kemerdekaan
Oleh Hasan Asy'ari*

KOMPAS.com - Dalam catatan sejarah, bangsa Indonesia mendeklarasikan 
kemerdekaannya pada saat mayoritas elemen bangsa sedang menunaikan ibadah 
puasa. Pada saat ini pun, di usianya yang ke-65 tahun, pesta kemerdekaan jatuh 
pada bulan puasa, saat masyarakat disibukkan dengan intensitas ibadah.

Secara fisik dan dalam kacamata awam, orang yang sedang berpuasa sering 
digambarkan dengan kondisi tubuh yang lemah, tidak bertenaga, tidak 
bersemangat, dan bermalas-malasan. Sebab, selama lebih kurang 12 jam tidak 
tersuapi makanan dan minuman, terlebih lagi dalam tekanan psikis karena 
terjajah.

Sebuah ironi dengan kemerdekaan. Tidak mungkin kemerdekaan dapat dideklarasikan 
dengan kondisi fisik yang lemah dan kemerdekaan tidak mungkin bisa direbut 
kalau tidak didasari oleh semangat yang tinggi.

Kemerdekaan adalah suatu kondisi tidak terjajah oleh koloni ketidakadilan dan 
dehumanistik. Lalu, apa relevansi makna Ramadhan dengan kemerdekaan atau 
bagaimana puasa bisa mendorong kehendak merdeka?

Paling tidak, pertanyaan tersebut bisa ditemukan jawabannya dengan 
merevitalisasi substansi puasa dalam kehidupan sosial. Tidak cukup dipahami 
bahwa puasa adalah ibadah formal yang hanya cukup digugurkan kewajibannya 
selama sebulan penuh, sedangkan bulan-bulan berikutnya tidak terpantul secara 
implementatif oleh efek ibadah puasa. Setiap detik dan setiap saat 
perilaku-perilaku sosial seharusnya terpancar oleh sinar-sinar substansi yang 
diajarkan oleh ibadah puasa.

Liberasi

Kelahiran agama pada dasarnya membawa semangat liberatif bagi umat manusia, 
pembebas dari kezaliman sosial, kemungkaran dan ketidakadilan sosial untuk 
mencapai kehidupan yang lebih sejahtera (rahmatan lil'alamin). Semangat 
tersebut termanifestasi melalui simbol-simbol ritus keagamaan, termasuk juga 
pada puasa.

Puasa adalah menahan dan mengendalikan diri dari segala perbuatan dehumanisasi 
yang bisa menurunkan kualitas dan bahkan membatalkan puasa. Walaupun 
pengendalian diri menuntut upaya personal atau bersifat pribadi, akan bermakna 
jika bisa memberikan implikasi pada kepentingan sosial. Yang perlu ditekankan 
adalah bagaimana proses aksi pengendalian diri yang bermula dari diri sendiri 
itu dimuarakan pada kemaslahatan bersama, kepentingan bangsa dan masyarakat 
luas.

Dalam buku Fiqh al-Shiyam, Yusuf Qaradhowi mengemukakan berbagai hikmah ibadah 
puasa. Salah satunya, tarbiyah li al-iradah, puasa mengajarkan untuk 
berkehendak. Pilihan untuk tidak makan dan minum serta berhubungan suami-istri 
pada siang hari merupakan wujud dari melaksanakan kehendak walaupun hal 
tersebut sangat sulit. Dalam konteks yang lebih luas, bagaimana pendidikan 
berkehendak tersebut bisa termanifestasi dalam kehidupan sosial.

Potret kesejarahan kemerdekaan Indonesia telah mengajarkan kita. Meskipun 
dengan kondisi psikis yang tertekan dan fisik yang lemah, bangsa Indonesia 
masih memiliki kehendak. Kehendak untuk bebas dari bentuk penindasan dan 
penjajahan.

Berkehendak adalah kekayaan jiwa yang kita miliki dalam mengarungi hidup. 
Namun, tidak banyak yang menyadarinya. Kita sebenarnya bisa. Menahan dan 
mengendalikan diri dari perbuatan korupsi, misalnya, tindakan pengambilan 
keputusan yang luar biasa, apalagi jika kehendak itu ditransformasi kepada yang 
lain. Diam dan tidak berbuat bukan ajaran dari puasa.

Solidaritas masyarakat

Hikmah puasa yang lain adalah terpupuknya rasa empati kepada sesama. Adanya 
perasaan yang sama mengharuskan untuk berbuat minimal sama dengan rasa empati 
yang terbangun dalam jiwa orang yang berpuasa. Tidak cukup merasakan rasa tidak 
makan dan minum selama lebih kurang 12 jam (keterbatasan dan kekurangan) dengan 
hanya memberikan makan dan minum untuk memenuhi kekosongan perut.

Namun, bagaimana hal tersebut bisa terjawab secara implementatif dengan 
aksi-aksi sosial yang bersifat memberdayakan, bukan karikatif. Inilah yang 
disebut nilai solidaritas berbasis komunitas, solidaritas yang didasarkan pada 
bangunan perasaan yang sama, derita keterbatasan, rasa ketidakadilan, dan 
frustrasi sosial. Puasa harus melahirkan jiwa solidaritas tinggi.

Namun, perasaan sama mulai kehilangan titik kesejarahannya seiring dengan mulai 
terkikisnya nilai keadilan dan kesejahteraan bangsa kita. Bangsa sudah mulai 
berani dengan sadar dan sengaja melukai bangsanya sendiri dan membunuh hak 
generasinya. Melalui perilaku culas yang dipraktikkan bangsa kita sendiri.

Korupsi merupakan pencurian besar terhadap hak generasi. Rakyat kecil juga 
berani melakukan hal yang sama walaupun dengan skala kecil dan modus yang 
berbeda. Memberikan formalin, zat pemutih, dan zat kimia lain pada setiap 
dagangannya yang dikonsumsi bangsanya sendiri. Wujud perilaku dehumanisasi 
tersebut karena hilangnya rasa perasaan sama.

Pada 65 tahun yang lalu, para pendiri bangsa kita telah mengajarkan dan telah 
dibuktikan bahwa merebut kemerdekaan harus dengan jiwa dan semangat liberatif. 
Semangat tersebut lahir karena ada perasaan sama, perasaan ingin merdeka dan 
terbebas dari segala bentuk penjajahan. Kita berharap bisa mengambil pelajaran 
dari puasa dan bisa meneladani nilai kemerdekaan lain untuk tidak menzalimi 
yang lain.

*Hasan Asy'ari Kader Muda Muhammadiyah; Tinggal di Lamongan, Jatim





[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke