http://cetak.kompas.com/read/2010/08/21/03411355/barat.hambat.produk.pertanian
PROTEKSIONISME HIJAU Barat Hambat Produk Pertanian Sabtu, 21 Agustus 2010 | 03:41 WIB Niat memperbaiki keadaan bumi yang dikaitkan dengan pelestarian alam semakin menjadi kesadaran. Pembuatan produk-produk ramah lingkungan semakin banyak dilakukan dalam beberapa tahun terakhir. Sayangnya, di balik alasan ramah lingkungan tersebut tersimpan niat buruk yang disebut proteksionisme hijau. Proteksionisme ini dibuat Barat seolah-olah ingin membuat lingkungan lebih baik. Namun, semua ini tidak terlepas dari perhitungan ekonomi untuk melindungi produk-produk pertanian di negara maju dan persaingan keras dengan harga murah asal negara berkembang. Para pengambil kebijakan di Eropa dan beberapa kelompok lingkungan ingin mengetatkan impor pertanian. Sebenarnya hal itu bukan demi penyelamatan bumi dari pemanasan bumi. Lebih dari 70 persen polusi dunia disumbangkan oleh Barat. Tahun lalu, beberapa institusi di Uni Eropa mengadopsi peraturan untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan. Anggota Uni Eropa telah meminta komisi di tingkat nasional untuk mengimplementasikan hal tersebut. Risikonya, aturan tersebut dimanfaatkan oleh korporasi dengan kepentingan yang tidak bertujuan melindungi alam dan energi terbarukan. Produksi biofuel dari Eropa ternyata telah disubsidi dan diproteksi dengan benteng tarif. Setiap liter etanol yang digunakan di Eropa disubsidi sekitar 0,75 euro atau Rp 8.475. Setiap liter biodiesel disubsidi sebesar 0,5 euro atau Rp 5.650. Sementara tarif proteksi untuk etanol asal negara berkembang antara 39 dan 63 persen. Uni Eropa mengimplementasikan proteksionisme. Eropa mencegah impor biofuel seperti etanol dari Brasil dengan alasan etanol itu tidak ramah lingkungan. Produk etanol Brasil semakin sulit memasuki Eropa. Selain produk energi terbarukan, hasil produksi hutan seperti bubur kertas (pulp) dan produk kertas pun terjegal. Kelompok proteksionis dan beberapa organisasi nonpemerintah mendesak diberlakukannya penyelidikan secara menyeluruh atas importir bubur kertas dan produk kertas ke Uni Eropa. Produk yang masuk ke Uni Eropa harus jelas asal-usul pohonnya dan bukan merupakan hasil dari kayu ilegal. Saat bersamaan perusahaan serupa di Australia, Eropa, dan Barat lainnya melobi pemerintah Eropa untuk menghambat produk asal negara berkembang. Dalam penurunan perekonomian selama dua tahun belakangan ini, isu proteksionisme semakin kuat. Parlemen Eropa mengambil suara untuk menutup pasar Eropa dari kayu ilegal. Proteksionisme Eropa juga tampak di sektor lain seperti minyak sawit. Industri minyak sawit merupakan ajang investasi asing, bersifat padat karya karena yang mempekerjakan jutaan orang di seluruh dunia. Pekerja dalam sektor kelapa sawit berjumlah sekitar 570.000 di Malaysia dan lebih dari 3 juta orang di Indonesia. Ditentang Upaya proteksionisme ini sudah dirasakan negara-negara berkembang. Suara menentang sudah dikumandangkan. India menyatakan menentang keras upaya AS atau Eropa dalam memberlakukan tarif terhadap ekspor India pada sektor padat energi. ”Setiap daya dan upaya menambah tarif tidak dapat diterima. Hal itu menjadi proteksionisme di bawah label ramah lingkungan,” ujar Shyam Saran, utusan khusus Perdana Menteri Manmohan Singh untuk urusan perubahan iklim. Seruan tersebut keluar setelah ada percobaan dari Uni Eropa dan AS untuk memberlakukan tarif karbon atas barang ekspor yang proses produksinya menggunakan banyak energi, seperti produk baja, aluminium, semen, dan pupuk. Menurut Uni Eropa dan AS, barang ekspor sarat energi ini harus dikenakan tambahan tarif. Alasannya negara berkembang seperti India berbahaya soal program pengurangan emisi rumah kaca. Upaya-upaya proteksionisme berkedok perlindungan terhadap bumi tersebut memang tidak adil untuk negara berkembang. Biarlah masalah perubahan iklim tidak dicampuradukkan dengan niat-niat proteksionisme di dalamnya. (EUOBSERVER/AMERICANINTERPRICEINSTITUTE/JOE) [Non-text portions of this message have been removed]