Tulisan ini juga disajikan dalam website http://umarsaid.free.fr

yang sampai sekarang sudah dikunjungi  lebih dari   636  970      kali



 = = = =   = = =   = = =





Buku « Koruptor itu kafir » usaha

positif untuk melawan korupsi



Berbagai pendapat tentang sikap NU dan Muhammadiyah

terhadap hukuman untuk para koruptor



Akhir-akhir ini ada perkembangan yang menarik di kalangan dua organisasi
Islam di Indonesia Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Yaitu dengan
diterbitkannya  buku « Koruptor itu kafir », yang isinya mengindikasikan
adanya kesatuan pikiran antara dua organisasi Islam besar ini tentang
masalah  korupsi.


Diterbitkan Mizan dengan pendanaan dari Kemitraan Patnership ini, buku ini
diluncurkan Rabu 18 Agustus 2010 di Jakarta, menjelang acara buka puasa.
Hadir dalam peluncuran buku itu,  editor buku, Bambang Widjojanto yang juga
salah satu kandidat pimpinan KPK. Juga hadir Sekjen Suriyah PBNU Malik
Madani.



Berikut ini adalah sejumlah bahan-bahan pemikiran untuk sekadar kajian atau
renungan bersama mengenai hal yang bisa menjadi soal yang banyak dibicarakan
di kalangan Islam dan di kalangan rakyat Indonesia pada umumnya :



Adanya  kesatuan pikiran dua organisasi besar Islam tentang kejahatan besar
dan  meluas di seluruh negeri ini adalah teramat penting dalam usaha untuk
membersihkan dan menyehatkan negara dan bangsa yang sedang sakit parah
sekarang ini.



Sebab, negara kita Republik Indonesia yang mempunyai penduduk nomor 4
besarnya di dunia ini juga mempunyai warganegara yang sebagian besarnya
adalah beragama Islam. Karena itu, penduduk  Indonesia yang beragama Islam
adalah yang terbesar dari penduduk negara mana pun di dunia yang beragama
Islam. Bahkan lebih besar dari seluruh penduduk negara-negara Arab dijadikan
satu. Dan seperti kita ketahui bersama, penduduk yang beragama Islam
merupakan majoritas di Indonesia.



Tetapi, malangnya, kemajoritasan penduduk yang beragama Islam ini tidak
selalu menunjukkan aspek-aspek positif bagi kehidupan Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Kadang-kadang, masih
ada saja terdengar dari kalangan Islam suara-suara miring yang menentang
Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai perwujudan pluralisme, yang
terkandung dalam kedua dasar-dasar dan pedoman negara kita bersama itu.



Kita semua patut menghargai sikap kedua organisasi Islam Nahdlatul Ulama dan
Mumammadiyah, yang walaupun kadang-kadang mempunyai sikap yang  tidak sesuai
dengan kehendak atau keinginan seluruh bangsa Indonesia, tetapi pada
pokoknya masih mendukung prinsip-prinsip Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Kedua organisasi Islam ini masih tetap terus merupakan penghalang atau
penentang golongan Islam fanatik dan fundamentalis dalam kalangan Islam di
Indonesia, dan penentang terrorisme.



Sumbangan positif Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah


Sekarang, diterbitkannya buku « Korupsi itu kafir » merupakan sumbangan
positif lainnya yang penting dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah kepada
bangsa dan negara, mengingat besarnya kejahatan dan beratnya dosa para
koruptor terhadap rakyat Indonesia, termasuk terutama sekali para pemeluk
agama Islam sendiri.



Sebab, tidaklah bisa dan tidak perlu dibantah lagi bahwa kebanyakan atau
sebagian terbesar dari para koruptor (besar dan kecil, di kalangan atas
maupun di kalangan bawah) yang melakukan berbagai macam kejahatan di seluruh
Indonesia adalah pemeluk agama Islam, atau yang menyatakan diri sebagai
orang Muslimin.



Juga tidak bisa disangkal oleh siapapun juga, bahwa yang menjadi korban
terbesar kejahatan para koruptor di Indonesia adalah justru pemeluk Islam.
Jadi para koruptor mempunyai dosa besar – bahkan terbesar ! – terhadap
pemeluk agama Islam, di samping terhadap warganegara lainnya.



Mereka melakukan korupsi (atau berbagai kejahatan lainnya), walaupun tiap
hari sembahyang solat lima waktu, atau menjalani puasa, atau sering
memberikan zakat fitrah, atau berkali-kali naik haji. Yang sungguh-sungguh
keterlaluan adalah orang-orang  yang rajin sekali sembahyang dan berdoa
kepada Tuhan dengan tujuan supaya mereka diselamatkan dari dosa dan hukuman,
karena melakukan korupsi.



Puncak kerusakan akhlak atau kebusukan iman


Puncaknya kerusakan akhlak dan kebusukan iman  yang dilakukan oleh para
koruptor (yang mengaku dirinya Muslimin) adalah berbagai macam kejahatan
korupsi yang dilakukan besar-besaran dan berjumlah besar (dan kecil) dan
yang telah berlangsung lama di Departemen Agama.



Bermacam-macam korupsi dalam berbagai tingkat, dan melalui beragam jalur
pula,  juga terjadi dalam pengurusan perjalanan haji ke Tanah Suci tiap
tahun, yang menyangkut ratusan ribu pemeluk Islam di seluruh Indonesia.



Padahal, para pejabat yang mengurusi soal-soal agama di Departemen Agama dan
para pejabat atau tokoh-tokoh yang mengurusi perjalanan haji adalah
orang-orang yang menyatakan dirinya sebagai orang saleh yang mengabdi kepada
agama dan Tuhan.



Selain itu, sebagian terbesar dari para pembesar atau para tokoh di bidang
eksekutif, legislatif, dan judikatif yang melakukan korupsi adalah
kebanyakan pemeluk Islam, yang dalam pidato-pidatonya sering diucapkan
kalimat-kalimat yang dikutip dari Al Qur’an.



Hal yang demikian tidak saja terjadi di Pemerintahan Pusat, namun juga
(bahkan lebih-lebih lagi !!!) di daerah-daerah, dengan adanya pemilihan
kepala dan dewan-dewan perwakilan daerah. « Korupsi berjemaah » (atau
korupsi beramai-ramai) sudah banyak terjadi di Pemerintahan Pusat dan
terutama di daerah-daerah.



Karenanya, kalau kalangan Islam berhasil ikut mengurangi kejahatan korupsi
di seluruh negeri, maka jasa mereka bagi negara dan bangsa (dan bagi agama
!) akan lebih nyata, lebih kongkrit, dan lebih besar dari pada segala macam
kegiatan  mereka  lainnya. Sebab, bisa diartikan bahwa melawan korupsi
adalah pada dasarnya menjalankan perintah Tuhan juga.



Bung Karno dan Gus Dur tentunya menyetujui kesepakatan ini


Para koruptor yang telah diperiksa oleh kepolisian, kejaksaan atau
pengadilan, pada umumnya, atau sebagian terbesar sekali diantaranya,  telah
berjanji atau bersumpah sebagai pemeluk Islam, walaupun nyatanya memberikan
keterangan atau pengakuan palsu.



Dalam banyak perkara kejahatan (terutama korupsi) para koruptor pada umumnya
memperlihatkan ketidak jujuran dan memperlakukan sumpah atas nama agama dan
Tuhan sebagai sampah saja, yang tidak perlu sama sekali dianggap sebagai
sesuatu yang serius sama sekali, atau ditakuti.



Mengingat itu semuanya, maka kesepakatan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah
bahwa « koruptor itu kafir » adalah sesuatu yang baik bagi golongan Islam
Indonesia, dan juga baik untuk seluruh rakyat pada umumnya, termasuk
golongan non-Islam.



Jiwa dan tujuan kesepakatan ini tentulah disetujui oleh Bung Karno dan Gus
Dur, seandainya kedua orang besar bangsa  ini masih hidup. Di samping itu,
kesepakatan ini bisa juga dianggap  sebagai sentilan atau kritik terhadap
pemerintahan yang sekarang dan  para tokoh masyarakat yang kelihatan tidak
berdaya, loyo, atau kurang sungguh-sungguh menghadapi korupsi yang telah
membikin kerusakan akhlak dan  kebusukan iman secara besar-besaran dan
meluas di negeri kita ini.



Dengan kesepakatan kalangan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah untuk
menyatakan « koruptor itu kafir » ini bisa diharapkan sebagai langkah untuk
mengurangi merajalelanya korupsi di kalangan  pemeluk Islam, mengingat
ancaman akibatnya di akhirat nantinya.



Kalau semua usaha gagal, perlu ditempuh jalan lain : revolusi rakyat


Apakah kesepakatan kedua organisasi Islam tersebut akan bisa betul-betul
mengurangi atau ikut memerangi korupsi di kalangan Islam di Indonesia sulit
untuk diperkirakan hasil kongkritnya. Namun, sebagai salah satu di antara
berbagai macam usaha ke arah itu adalah suatu hal yang dapat dianggap
positif yang memberikan harapan.



Kalau ternyata kemudian bahwa buku « Koruptor itu kafir » itupun tidak «
mempan «  untuk mengurangi merajalelanya korupsi,  ditambah dengan berbagai
banyak usaha lainnya di masa-masa yang lalu oleh Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah, maka ini berarti bahwa larangan agama atau perintah Tuhan
mengenai kejahatan sejenis korupsi itu tidak ditakuti lagi oleh banyak
pemeluk Islam di Indonesia.



Padahal, negara dan bangsa Indonesia sulit  atau tidak bisa diperbaiki atau
dirubah tanpa perbaikan akhlak dan penyehatan iman para pemeluk Islam yang
merupakan  majoritas.  Kalau memang demikian halnya mungkin jalan lain perlu
ditempuh untuk perbaikan akhlak dan pelurusan iman bagi sebagian terbesar
rakyat Indonesia. Jalan lain ini di antaranya adalah jalan revolusi rakyat,
seperti yang pernah digerakkan oleh Bung Karno selama bertahun-tahun.



Banyak sekali saksi hidup yang masih bisa menceritakan bahwa selama masa
revolusi rakyat di bawah pimpinan Bung Karno, sebagian terbesar rakyat
Indonesia –yang terdiri dari pemeluk agama Islam – mempunyai moral yang
lebih baik dari pada moral kebanyakan orang di masa sekarang. Pada waktu itu
jarang sekali (atau sedikit sekali) terdengar adanya korupsi besar-besaran
yang meluas di kalangan pemeluk agama Islam seperti sekarang ini.



Mengingat itu semuanya maka makin jelaslah bahwa Negara Republik Indonesia
dan bangsa Indonesia akan menjadi lebih sehat kalau korupsi makin berkurang
atau makin sedikit di kalangan  para pemeluk Islam.



Paris,  25  Agustus 2010



A. Umar Said



* * *



Tambahan : Di bawah ini disajikan berita Tempo Interaktif tentang peluncuran
buku « Koruptor itu kafir »





NU-Muhammadiyah Sepakat Koruptor itu Kafir
Kamis, 19 Agustus 2010


TEMPO Interaktif, Jakarta - Apa yang terjadi jika dua organisasi Islam besar
di negeri ini yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah berkolaborasi melawan
korupsi? Hasil sementara, setidaknya ditunjukkan ketika keduanya menyatukan
pikiran dalam sebuah buku: " Koruptor itu Kafir"
Buku warna hitam dan bersampul obor terbakar dengan tangkai berlapis uang
itu, berjudul "Koruptor itu Kafir", Telaah Fiqih Korupsi dalam Muhammadiyah
dan Nahdatul Ulama (NU)."


Diterbitkan Mizan dengan pendanaan dari Kemitraan Patnership ini, buku ini
diluncurkan Rabu 18 Agustus 2010 di Jakarta, menjelang acara buka puasa.
Hadir dalam peluncuran buku itu,  editor buku, Bambang Widjojanto yang juga
salah satu kandidat pimpinan KPK. Juga Sekjen Suriyah PBNU Malik Madani.


Dalam siaran persnya, Direktur Eksekutif Kemitraan Wicaksono Sarosa
mengatakan, dua ormas besar Islam sepakat membedah beragam dimensi korupsi.
Lengkap dengan cara-cara strategis untuk memberantasnya. Baik merujuk pada
warisan pemikiran Islam yang ditemukan dalam tradisi fiqih maupun pemahaman
hukum kontemporer.


"Buku ini tidak saja menyajikan korupsi dari sisi pandang Muhammadiyah dan
NU tapi juga menawarkan beberapa alternatif pemberantasan korupsi di
kalangan masyarakat Islam dan bagi negara," ujarnya.


Dalam buku itu, kata Wicaksono, ditegaskan pula kalau tindakan koruptif yang
pada dasarnya meletakkan uang di atas segalanya sama saja dengan syirik.
Kemitraan juga berharap bahwa penegasan ini dapat menjadi pendorong gerakan
sosial anti-korupsi." Kami berharap muncul gerakan sosial untuk menata
pemerintahan yang lebih baik" ujarnya



* * *


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke