Problema citra RI dan bangsa Indonesia di luarnegeri yang menjadi bulan-bulanan 
dan hinaan oleh bangsa asing adalah suatu problema yang biasa dihadapi negara 
dan bangsa yang secara ekonomi terbelakang dan secara politik lemah dan tidak 
andal seimbang. Di jaman ketika negeri Tiongkok dan bangsa Tionghoa berada 
dibawah pemerintahan rezim dinasti kaisar Ching, Manchu dan rezim nasionalis 
Ciang Kai-sek juga menghadapi problema yang sama - dilecehkan, dihina dan 
negerinya diagresi serta di bagi-bagi menjadi daerah-daerah pengaruh pemerintah 
asing. Peninggalan sejarah ini hingga kini masih dapat dilihat di seluruh 
pelosok RRT sekarang. 

Setelah Mao Ce-tung memimpin Partai Komunis Tiongkok dan melancarkan 
pemberontakan terhadap  rezim nasionalis Ciang Kai-sek dan kaum fasis Jepang 
yang menduduki Tiongkok dalam PDII kemudian merebut kemenangan di seluruh 
negeri dan memproklamasikan berdirinya RRT barulah dunia internasional berfikir 
untuk menghormati kedaulatan dan hak bangsa Tionghoa untuk hidup sederajat 
dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Semenjak berdirinya RRT hingga berahirnya 
"Cold War" toh banyak usaha dilakukan oleh negara-negara Barat dan 
negara-negara Eropa Timur untuk mengabaikan RRT - karena RRT tidak mau tunduk 
dan patuh kepada aturan yang mereka buat. RRT menjadi anggota PBB baru setelah 
Henry Kissinger dan Nixon mencium sepatu Mao Ce-tung di istana Beijing. 

Solusinya dari pelajaran sejarah masyarakat manusia ialah adanya suatu 
kepemimpinan negara dan bangsa yang benar-benar mengabdi dan membela 
kepentingan nasionalnya secara prinsip dasar hak bangsa dan nasion untuk 
menentukan nasibnya sendiri. Kepemimpinan demikian itu adalah suatu 
kepemimpinan yang dapat memadukan kepentingan pribadi dengan kepentingan 
kolektif dan bersedia dalam keadaan kritis mengorbankan kepentingan pribadi 
para pemimpinnya demi kebersamaan kepentingan bangsa dan negara dalam membangun 
negeri dan bangsa. 

Saya mengambil contoh RRT karena di dalam sejarah modern dewasa ini pengalaman 
perjuangan bangsa Tionghoa dan RRT adalah tipikal dalam kancah percaturan 
ekonomi, politik, sains dan teknologi, sehingga mereka memperoleh sukses 
sekarang ini yang dibicarakan di seluruh dunia. Apakah ada pemuda-pemuda 
Indonesia yang bersedia membangun bangsa dan negara RI sebagaimana Mao Ce-tung, 
Chou En-lai, Chu The, Ye Cien-ying, Chen-Yi, Teng Hsiao-bing, Liu Shao-chi, 
Peng Chen dll pemimpin RRT telah membangun dan mengembangkan Tiongkok dan 
bangsa Tionghoa hingga mencapai taraf sekarang ini? Tinggalkan kecengengan dan 
bulatkan tekad serta kobarkan semangat hidup membangun hari depan yang lebih 
baik.

Salam,




From: Harry Adinegara 
Sent: Saturday, August 28, 2010 7:21 AM
To: tionghoa-...@yahoogroups.com 
Cc: gelora45 
Subject: [ppiindia] Ministers blamed for not reporting Indonesians facing death 
sentences in Malaysia


  
Terkait dengan berita adanya bangsa dewek yang akan menjalani atau dijatuhi  
hukuman mati di LN, ada satu percakapan dengan sesama 

commuter dalam perjalanan-ku tiap hari dari dan balik dari kerja.

Mula2 percakapan ini adalah soal Bali Nine dimana wn ada yang dijatuhi vonnis 
mati karena terbukti berdagang dalam obat bius.
Dia, sesama penumpang ini yang sempat kita bisa ber dialog menyatakan bahwa 
soal 
hukuman mati itu dia tidak pernah bisa menyetujui.
Jadi dia merasa bahwa hukuman mati bagi Bali Nine itu pemerintah Australia 
harus 
berusaha merundingkan kasus ini dengan pemerintah Indonesia. Aku jawab, 
pemerintah sini kiranya sukar bicara soal ini karena, satu: pemerintah tidak 
ingin mencampuri urusan dalam negeri, negara lain, kedua-nya : ya sebenarnya 
adalah kesalahan polisi federal Australia (Nick Kelty adalah kepala AFP waktu 
itu) sendiri yang memberikan tip ke polisi Indonesia adanya wn Australia yang 
ber-dagang drug. Dia diam sejenak dan jawab-nya, ini jawaban yang menarik, 
terutama bagi seorang bule sini. Dia bilang.." begitu banyak pelanggaran 
terutama dalam bidang pelecehan hukum tapi ngak ada yang dihukum" Aku 
jawab:...." lha kan ada tuh teroris yang dihukum mati"....jawab-nya:..."ya 
mungkin karena banyak juga bangsa anda yang terenggut jiwanya, maka dari itu si 
teroris dihukum mati"... lalu ini terusan jawaban-nya yang membikin aku rada 
tercenggang dan memikirkan soal ini lebih mendalam.......dia bilang...."soalnya 
kenapa koq sampai Bali Nine itu perlu dan harus dihukum mati, ini rupanya 
adalah 
faktor psikologis dari pemerintah anda agar tidak dipandang remeh oleh negara 
lain" ...atau pikirku..."apakah Indonesia merasa perlu unjuk gigi dan minta 
dianggap di forum internasional sebagai negara yang adi jaya, ngak perlu 
merunduk (dalam arti basa basi) dan tegas menghukum siapa saja yang melanggar 
hukum?" Kemudian dia bilang:...."negara itu sepertinya seperti seorang 
individu....psikologis, orang yang merasa rendah diri ( inferiority complex) 
akan selalu bertindak ber-lebih2an untuk menutupi kekurangan-nya". Aku pikir 
apa 
ada kebenaran-nya ungkapan sesama commuter-ku ini soal hukum dan hukuman mati?

Menilik lebih lanjut kasus hukuman mati yang menimpa bangsa dewek dan 
pemerintah 
yang begitu getol menerapkan hukuman mati, albeit penerapan-nya timpang banget, 
misal-nya pelanggar trilyunan Rp ngak dihukum tapi penyelundup yang nyelundupin 
ganja bernilai peanut dihukum mati...ya ini namanya.......pilih kasih dan 
sekaligus suatu indikasi adanya inferiorty complex dalam penerapan hukum.

Janganlah coba2 memicu suatu clash antara kita dan Malaysia, karena hasilnya 
kita bakalan di pecundangi. Satgas2 dan banyaknya rakyat belum bisa dijadikan 
modal untuk bisa menang dalam suatu clash bersenjata.

Harry Adinegara

  
http://www.thejakartapost.com/news/2010/08/23/ministers-blamed-not-reporting-indonesians-facing-death-sentences-malaysia.html

 
Ministers blamed for not reporting Indonesians facing death sentences in 
Malaysia
The Jakarta Post, Jakarta | Mon, 08/23/2010 11:41 AM | Headlines 

 
Migrant Care director Anis Hidayah blamed Foreign Minister Marty Natalegawa and 
Manpower and Transmigration Minister Muhaimin Iskandar Monday for not informing 
President Susilo Bambang Yudhoyono of the 345 Indonesians facing the death 
penalty in Malaysia.
"It is ridiculous. They just want Yudhoyono to be happy without him knowing the 
real situation," Anis said as quoted by kompas.com.
Anis said the number of Indonesian citizens facing the death sentence in 
Malaysia increased in 2007 and 2008.
"There has been no action taken to prevent the death sentences," Anis said.
Related News >> 
* Minister told to save those in Malaysia death row
* 14 Indonesians face death sentences in Saudi Arabia
* Agency: 19 RI nationals escape death sentence in Malaysia
* FM told to save Indonesians from death sentence

[Non-text portions of this message have been removed]





[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to