Norman Edwin sosok pecinta olahraga petualang yg pernah ada di Indonesia, di
kenal sebagai pribadi yg pemberani dan suka menolong oleh keluarga dan
teman2nya sesama jurnalist Kompas, tempat terakhirnya bekerja. Norman tewas
di usia 37 tahun bersama rekan satu teamnya Didiek Samsu Wahyu Triachdi saat
pendakian Puncak Aconcagua (6969m), pegunungan yang membentang sepanjang
perbatasan Chile - Argentina, saat itu ia tergabung dalam Seven Summit
Expedition 1992 - Mapala UI.

Didiek juga tercatat sebagai wartawan di Majalah Jakarta Jakarta. Indonesia
berduka, musibah menimpa Expedisi Seven Summit pada pertengahan April 1992
merenggut dua orang pendaki terbaiknya, Norman Edwin dan Didiek Samsu Wahyu
Triachdi.

Media nasional dan international banyak meliput kejadian tewasnya dua
pendaki ini. Norman saat itu memimpin Team Pecinta Alam Universitas
Indonesia yang tergabung di Mapala UI dalam upayanya mendaki Puncak
Aconcagua 6959-mtr Chile. Gunung yg disebut juga 'The Devil's Mountain'
karena faktor cuacanya tak bisa diprediksikan, sering kali badai salju
melanda pegunungan selama berhari hari. Puncaknya dijadikan tujuan karena
menjadi salah satu Puncak Tertinggi dalam Expedisi Tujuh Puncak Dunia Mapala
UI.

Berbekal pengetahuan dalam Penelusuran gua, Pendakian Gunung, Pelayaran,
Arung Jeram serta sejumlah pengalaman Rescue di Irian Jaya, Kalimantan,
Africa, Canada bahkan Himalaya, membentuk kecepatan dan kekuatan phisik pada
dirinya yang telah bergabung di Mapala UI sejak tahun 1977. Sampai akhirnya
terpilih menjadi Leader dalam Expedisi ini bersama Didiek, Rudy "Becak"
Nurcahyo, Mohamad Fayez and Dian Hapsari, satu2nya wanita dalam team
tersebut.

Sebetulnya banyak meragukan kemampuan Norman, jauh hari sebelum Expedisi ini
di mulai, namun pengalamannya selama 15 tahun dalam berpetualang serta
menghadapi berbagai bahaya, diyakini membuatnya tetap berangkat. Saat
expedisi berlangsung, badai salju menghantam Team ini dan akhirnya merenggut
duet pendaki ini. Jenazah Didiek adalah yang pertama ditemukan pada tanggal
23 Maret atas laporan beberapa pendaki negara lain yang kebetulan melihat
mereka berdua terakhir di ketinggian 6400m, beberapa ratus meter lagi
sebelum Puncak.

Dilaporkan pula saat itu, kondisi keduanya terlihat sangat kritis, beberapa
jari Norman terkena Frosbite (Mati Beku karna Dingin) dan Didiek menderita
Snow Blindness (Buta Salju) akibat pancaran sinar matahari yang berlebihan,
memantul di hamparan salju dataran tinggi. Kemungkinan hal ini sangat
mendekati karena Google (Kacamata Salju) yang dipakai Didiek rusak berat.

Jenazah Norman ditemukan beberapa hari kemudian dan langsung diterbangkan ke
Jakarta pada tanggal 21 April 1992. Spekulasi merebak melalui media massa
bahwa kegagalan mereka juga diakibatkan karena minimnya pelaralatan yang
dibawa. Aconcagua terpilih setelah Mapala UI merencanakan Expedisi Tujuh
Puncak Dunia lainnya yaitu Cartenz Pyramid (4,884 meters) di Irian Jaya;
McKinley (6,194 meters) di Alaska, Amerika Serikat; Kilimanjaro (5,894
meters) in Tanzania, Afrika; dan Elbrus (5,633 meters) di Uni Soviet,
(sekarang Rusia).
Setahun kemudian setelah tragedi ini, Mapala UI yang status keanggotaannya
berlaku seumur hidup ini, mencoba mengirim kembali dua anggota lainnya yaitu
Tantyo Bangun dan Ripto Mulyono untuk menyelesaikan pendakian sekelas
Expedisi Aconcagua ke Vinson Massif (4,887 meters) di Kutub Selatan. Dan
satu lagi Puncak Everest di Himalaya dengan nama Team Expedisi Universitas
Indonesia, namun sayang kegagalan juga menimpa team ini.

Dua kegagalan rupanya tidak menyurutkan semangat Mapala UI, karna puncak
terakhirnya tetap dijadikan target bagi Expedisi Gabungan selanjutnya yang
terdiri dari Mapala UI, Koppassus dan Wanadri. 'Kami berusaha melakukan
pendakian gabungan ke Everest tahun 1997 dan sukses, dua anggota team dari
prajurit Koppassus yaitu Asmujiono dan Misirin berhasil mencapai Puncak
Everest.' ujar Rudy "Becak" Nurcahyo anggota Indonesian National Team to
Everest yang juga kehilangan jarinya karna Frosbite di Expedisi Aconcagua.

'Kami mencoba yang tebaik untuk mewujudkan itu semua.. dan saya percaya
Norman dan Didiek pun akan tersenyum disana melihat keberhasilan Team
Everest ini. walaupaun setelah tahun 1997, Indonesia dilanda krisis ekonomi
kemudian masa reformasi yang tak lama berselang. Keadaan ini otomatis ini
menghambat Expedisi-expedisi selanjutnya yang telah direncanakan..
tambahnya.

Bagi istri Norman, Karina serta Melati putrinya, sosok hangat dan eksentrik
Norman akan tetap menjadi kenangan yang takkan terlupakan. Semasa hidup,
Melati selalu diajak serta dalam kegiatan alam bebas yang digeluti ayahnya
itu, termasuk perjalanan ke Irian Jaya saat ia masih kecil. 'Norman menjadi
seorang petualang sejati dan sedikit bandingannya diantara pendaki-pendaki
yang ada sekitar tahun 1970-80, dan Didiek adalah teman dekatnya.

Ia tunjukkan rasa hormatnya kepada wanita dan yakin bahwa wanita dapat
mengerjakan sesuatu yang lebih baik daripada pria, apalagi menyangkut faktor
keselamatan, contohnya Penulusan Gua' papar Karina yang dulu juga aktif
dalam kegiatan alam bebas sekembalinya dari Australia dan mengambil kuliah
lagi jurusan Arkeologi di Universitas Indonesia.

'Norman pernah mengatakan, aktivis alam wanita cenderung lebih tenang, tidak
mudah panik dan dapat mengatasi situasi darurat jika dibandingkan dengan
pria. Bagi saya ia sangat humoris dan mempunyai semangat hidup yang tinggi.
Begitu pula yg rasakan Melati, sifat ayahnya ini menurun kepadanya walaupun
ia masih berusia remaja. Janganlah kita mencoba menaklukkan ganasnya alam,
tapi belajarlah untuk menaklukkan ego serta mengetahui batasan diri kita
sendiri, faktor ini adalah yang terpenting jika ingin menekuni olahraga
beresiko tinggi' ungkap Karina yang dulu juga ikut dalam team di Expedisi
Cartenz Irian Jaya tahun 1981 dan saat ini telah menyelesaikan program
Doctoralnya di Australian National University.

Norman dan Didiek telah tiada, namun spiritnya kuat meresap di hati para
pecinta olahraga alam bebas Indonesia. Penghargaan patut mereka terima atas
keberanian dan semangat pantang menyerah, sehingga dapat dijadikan contoh
bagi petualang2 muda lainnya yang masih ada.
(sumber: The Jakarta Post)

-- 
Hendry Risjawan
Ka. Trainers Club Indonesia
website: www.trainersclub.or.id
milis: [EMAIL PROTECTED]


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke