Media Indonesia
Senin, 08 November 2004

Pendidikan Maju Ciptakan SDM Berkualitas
Oleh Juniar Sahidin

ILMU pengetahuan merupakan usaha paling penting, bila tujuannya adalah untuk 
mengungkapkan prinsip-prinsip kehidupan manusia -- Leo Tolstoy I
Terpilihnya Jend (Purn) Dr Susilio Bambang Yudhoyono MA sebagai Presiden RI 
ke-6 menjadi sebuah momentum tersendiri bagi dunia pendidikan Indonesia. 
Lewat janji kampanyenya, SBY akan menaikkan anggaran pendidikan secara 
bertahap sampai 20% dari APBN. Mendiknas terpilih -- Bambang Sudibyo -- yang 
merupakan mantan Menteri Keuangan menjanjikan akan menjadikan anggaran 
pendidikan minimal 10% selama kepemimpinannya. Sungguh angin segar yang akan 
kita lihat realisasinya dalam 100 hari pertama pemerintahan Kabinet 
Indonesia Bersatu.
Amendemen ke-4 UUD '45 mengamanatkan melalui pasal 31 yang mengisyaratkan 
anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN. Namun, fakta di lapangan pada 
pemerintahan sebelumnya (Megawati Soekarnoputri) amanat konstitusi tidak 
dijalankan dengan baik. Anggaran sektor pendidikan dalam APBN 2003 hanya 
4,15% atau sekitar Rp13,6 triliun dari APBN, sementara anggaran militer 
untuk bidang pertahanan dan keamanan, dicanangkan sebesar 7,5% atau sekitar 
Rp24,7 triliun.
Krisis multidimensi yang melumpuhkan sendi-sendi perekonomian, politik, dan 
keamanan negara yang masih terasa efeknya sampai sekarang kiranya menjadi 
sebuah pembelajaran bagi kita bersama. Krisis tersebut berefek juga bagi 
dunia pendidikan kita. Setidaknya, dalam anggaran yang mengalami penyusutan.
Buku sebagai klausa pendukung SDM
Pembentukan sumber daya yang unggul juga tidak disertai dengan pengembangan 
budaya intelektual yang mengiringi laju perkembangan pendidikan kita, yakni 
budaya membaca yang disertai dengan buku-buku murah berkualitas.
Taufik Ismail, seorang sastrawan yang juga seorang doktor honoris causa dari 
Universitas Negeri Yogyakarta yang peduli dengan lemahnya budaya membaca 
masyarakat Indonesia, mengadakan penelitian kecil tentang budaya membaca 
pada sekitar 100 orang responden. Responden merupakan orang Indonesia yang 
pernah minimal setahun bersekolah tingkat SMU dan tinggal di negara maju 
(seperti Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Jepang, Australia, dan Selandia 
Baru).
Hasil penelitiannya cukup signifikan dengan kesimpulan dari para responden 
yang rata-rata menyatakan bahwa dalam seminggu harus menamatkan satu buah 
buku, baik berupa novel, kumpulan cerita pendek, maupun kumpulan puisi, 
bahkan kumpulan esai. Kemudian mereka harus membuat ulasan berupa pendapat 
atas buku itu dalam sebuah tulisan. Dalam setahun, setidaknya mereka 
menghabiskan sekitar 30 buku dan sedikitnya mereka telah membuat tulisan 
berupa pendapat mereka atas bacaan tersebut.
Secara hitung-hitungan matematis, bila dalam setahun mereka menamatkan 
bacaan sebanyak 30 buku dan menghasilkan karya tulis berupa ulasan pendapat 
atas bacaan mereka, maka setidaknya dalam tiga tahun usai menamatkan 
sekolah, mereka telah membaca 90 buah buku dan menghasilkan 90 buah tulisan 
hasil mereka sendiri.
Hal seperti ini belum tergambar pada siswa-siswa di Indonesia. Meskipun ada 
mata pelajaran yang menugaskan siswa untuk membaca karya-karya sastra yang 
masuk pada GBPP (Garis-garis Besar Program Pengajaran) seperti buku Layar 
Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana dan kemudian membuat tulisan yang 
merupakan ulasan atas buku tersebut. Siswa ternyata lebih senang untuk 
membeli atau meminjam buku-buku yang berisikan kumpulan intisari atau 
ikhtisar roman/novel yang memuat ulasan karya Layar Terkembang tersebut 
dibandingkan meminjam atau membeli buku aslinya dan kemudian memberikan 
pendapat sendiri tentang hasil bacaannya tersebut.
Dr Dhaniel Dakidae -- Litbang sebuah harian umum Ibu Kota -- menggambarkan 
wajah perbukuan Indonesia yang memprihatinkan. Jumlah judul buku yang 
diterbitkan di Indonesia hanya 0,0009% dari total penduduknya. Hal ini 
berarti sejuta penduduk Indonesia hanya menikmati sembilan judul buku baru. 
Indonesia hanya menerbitkan sekitar 3.000 buku baru setiap tahunnya, 
sementara Malaysia yang berpenduduk 20 juta orang bisa menerbitkan 8.000 
judul buku per tahunnya. Amerika Serikat sebagai negara maju bisa 
menerbitkan 100.000 judul buku baru setiap tahunnya.
Padahal, pengalaman membaca adalah juga perbincangan tentang 'tulisan' atau 
'bacaan'. Keduanya merupakan dua sisi keping mata uang yang tidak bisa 
dipisahkan. Joel Swerdhlow dalam artikelnya The Power of Writing menuliskan: 
Handmaiden to history, chronicler of the mind and the heart, writing is 
humankind's most far reaching creation, it's form, and design endless. From 
its beginning as recordkeeper to its transformation into one of humanity 
most potent forms of artistic and political -- expression, writing reveals 
the power of innovation.
Tak mengherankan apabila data penelitian terbaru mengenai kualitas sumber 
daya manusia Indonesia cukup mengkhawatirkan. Paling tidak, ada dua 
informasi empiris yang memprihatinkan tentang kualitas sumber daya manusia 
kita.
Pertama, laporan UNDP yang menyatakan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 
Indonesia turun dari peringkat 102 pada 2001 dari 162 negara yang diteliti, 
menjadi peringkat 110 pada 2002 dari 173 negara yang diteliti. Peringkat 
tersebut, artinya Indonesia berada satu peringkat di bawah Vietnam (109) dan 
bila dibandingkan negara ASEAN lainnya lebih jauh misalnya Singapura di 
peringkat 25, Brunei (32), Malaysia (59), Thailand (70), dan Filipina (77).
Kedua, sejak tahun 2000 sampai saat ini, sedikitnya 7,2 juta anak di seluruh 
Indonesia tidak mampu merasakan bangku sekolah, terdiri dari 4,3 juta siswa 
SLTP dan 2,9 juta siswa SD dan SLTA. Mereka semua terancam putus sekolah.
Pendidikan merupakan faktor terpenting yang akan menentukan kualitas human 
capital (HC) yang merupakan faktor penentu eksistensi pembangunan ekonomi 
yang berkelanjutan dan kualitas civil society suatu bangsa. Dengan kata 
lain, kualitas human capital memiliki fungsi strategis secara ekonomis dan 
non-ekonomis.
Teori ekonomi yang merujuk fungsi strategis human capital yang berkualitas 
berasal dari teori Beyond Solow. Teori ini mengatakan bahwa modal manusia 
(human capital) di samping modal fisik dan teknologi merupakan faktor 
penting penentu pembangunan ekonomi (lihat Mankiw, Romer, dan Well (1992), 
sedangkan penentu human capital itu adalah ilmu pengetahuan. Kelebihan ilmu 
pengetahuan dibandingkan faktor produksi lain seperti yang dikatakan Romer, 
JM Clark (2000) bahwa ilmu pengetahuan adalah satu-satunya faktor produksi 
yang tidak pernah berkurang.
Ini menunjukkan bahwa satu-satunya benda di dunia yang tidak pernah 
berkurang (diminishing) baik dari segi kuantitas maupun kualitas walaupun ia 
telah digunakan berulang-ulang adalah ilmu pengetahuan. Mereka menemukan 
bahwa 80% perbedaan pertumbuhan ekonomi antarnegara adalah disebabkan oleh 
faktor modal fisik dan manusia.
Teori ini menjelaskan proses di mana pendidikan memiliki pengaruh positif 
pada pertumbuhan ekonomi. Teori ini mendominasi literatur pembangunan 
ekonomi dan pendidikan pascaperang dunia kedua sampai pada era '70-an.
Argumen yang disampaikan untuk mendukung teori ini adalah manusia yang 
memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, yang diukur juga dengan lamanya 
waktu sekolah, akan memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik dibanding 
yang pendidikannya lebih rendah.
Apabila upah mencerminkan produktivitas, semakin banyak orang yang memiliki 
pendidikan tinggi, semakin tinggi produktivitas dan hasilnya ekonomi 
nasional akan bertambah tinggi.
Persoalan Indonesia dalam segala bidang kehidupan terutama pendidikan, 
dihadapi juga oleh negara-negara dunia ketiga yang lain. Hal ini merupakan 
implikasi dari globalisasi neoliberal yang sedang melanda dunia dengan arus 
cepat yang tak tertahankan.
Sistem pendidikan Indonesia antirealitas
Kurikulum pendidikan di sekolah yang berlaku sekarang masih terasa 
membaurkan antara khayal dan realitas di lapangan. Sekolah tidak hanya 
menyembunyikan realitas akan tetapi juga menyokong imajinasi menyimpang yang 
salah kaprah (wrong perception imagination). Untuk menyelamatkan imajinasi 
dan intuisi sebagai sebuah aset bagi perubahan bangsa Indonesia maka 
diperlukan pendidikan yang membebaskan. Pendidikan harus bisa membebaskan 
dari keterkungkungan pesan dan citra budaya massa yang menegasikan siswa 
dari realitas kehidupan.
Romo Mangun (alm), seorang budayawan sekaligus pendidik asal Yogyakarta, 
pernah melakukan proses reformasi atas sistem pendidikan yang antirealitas 
ini, dengan mendirikan sekolah mandiri dengan dana swadaya (action research) 
yang bernama SD Eksperimental Kanisius di daerah Berbah, Sleman. Proses 
pendidikannya melibatkan usaha pemerolehan pengetahuan (the act of knowing), 
tidak hanya sebatas usaha pengajaran yang lebih bersifat penyetoran ilmu 
pengetahuan dan kata-kata (word deposit) serta ditambah dengan academic 
exercise tanpa protes, kritik, dan proses refleksi.
Hal ini juga diperparah dengan warisan sistem pendidikan dari Belanda yang 
masih berbekas di dalam sistem pendidikan kita yang menerapkan dikotomi 
dalam proses pembelajarannya. Sistem pendidikan ala Barat (Belanda) terbatas 
hanya untuk kalangan tertentu saja (anak-anak bumi putra yang berdarah biru, 
tuan-tuan tanah, dan orang-orang Belanda di Hindia Belanda).
Hal tersebut dikarenakan adanya stratifikasi kelas sosial secara ketat dan 
absolut yang diterapkan pemerintahan jajahan. Secara umum, bisa digambarkan 
politik pendidikan yang diterapkan Belanda di Indonesia, yaitu :
1). Gradualisme yang luar biasa, orang Belanda menetapkan perkembangan yang 
berangsur-angsur secara perlahan bagi kemajuan pendidikan Indonesia. 
Sehingga orang-orang Indonesia banyak yang menjadi terbelakang 
pendidikannya. Sebagai contoh pada 1902 hanya satu orang dari 523 orang di 
Jawa yang bersekolah.
2). Dualisme dalam pendidikan dengan menekankan kontras yang tajam antara 
pendidikan Belanda dan pendidikan pribumi.
3). Kontrol sentral yang kuat dari pemerintahan pusat Belanda.
4). Keterbatasan tujuan sekolah pribumi, dan peranan sekolah yang hanya 
bertujuan untuk menghasilkan pegawai rendahan bagi perkebunan-perkebunan 
milik Belanda.
5). Prinsip konkordasi, hal ini yang menyebabkan sistem pendidikan sekolah 
di Indonesia sama atau disamakan dengan sistem pendidikan sekolah di 
Belanda.
6). Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis untuk pendidikan 
anak-anak pribumi, sehingga perkembangannya tidak dapat dikontrol dengan 
baik 1 (Nasution, 20:1987).
Masa depan pendidikan Indonesia
Bangsa Indonesia tetap bisa melakukan suatu pemecahan bagi keterpurukan 
dunia pendidikan kita pascakrisis multidimensi. Peran serta pemerintah dalam 
anggaran pendidikan, peran serta masyarakat terutama penyadaran akan 
pentingnya pendidikan, dan tentu saja peran serta di keluarga dalam 
membangun sebuah lingkungan pendidikan sejak dini.
Sebagaimana diamanatkan dalam UU Sisdiknas (UU No 20 Tahun 2003) yang baru 
pasal 1 ayat 1 tentang pendidikan yang menyatakan: "Pendidikan adalah usaha 
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran 
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki 
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, 
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, 
bangsa, dan negara."
Harapan tersebut semestinya bisa dilakukan apabila biaya pendidikan menjadi 
murah atau gratis. Bukankah sebuah ironi yang tragis apabila mereka yang 
cerdas, pintar, dan cakap tidak bisa masuk perguruan tinggi lantaran kondisi 
keuangan tidak memungkinkan. Sebaliknya, mereka yang pas-pasan atau di bawah 
standar (intelektualnya) bisa dengan mudah mengakses pendidikan (karena 
berlimpah uang).
Langkah lainnya melalui peningkatan produktivitas membaca dalam rangka 
pemerolehan ilmu pengetahuan sebagai jendela dunia. Era persaingan telah 
menyergap bangsa ini di berbagai bidang kehidupan. Penerbitan buku harus 
bisa menghasilkan buku-buku berkualitas dan dengan harga yang murah dan 
terjangkau masyarakat. Kegiatan penulisan dalam buku menjadikan ilmu 
pengetahuan abadi dan tidak akan hilang atau scripta manent.
Dari gambaran di atas dapat dilihat bahwa perubahan senantiasa digerakkan 
dari ruang pendidikan. Membaca masa depan bangsa tentu harus melihat kondisi 
para warganya yang saat ini berproses di ruang pendidikan. Sebab, pendidikan 
merupakan domain yang terkait erat dengan bidang-bidang lainnya. 
Bidang-bidang kehidupan yang sekarang sedang mengalami degradasi dan 
ketidakberdayaan.
Sebuah harapan baru yang muncul pada pemerintahan sekarang. Pendidikan akan 
diupayakan untuk berkembang lebih maju. Jargon 'Perubahan' yang diusung SBY 
akan kita tagih bersama untuk kemajuan dunia pendidikan Indonesia. Termasuk 
di dalamnya pembersihan unsur-unsur KKN beserta pejabat-pejabat nakal yang 
sempat-sempatnya menelikung uang negara untuk biaya pendidikan rakyat. Mari 
kita kritisi bersama!***
Bandung, Juni-Oktober 2004
*) Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS 
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) tingkat akhir. Kini sedang berusaha 
menyelesaikan kuliahnya.
Daftar Bacaan:
Capra, Fritjopf.2000. Titik Balik Peradaban.Yogyakarta: Bentang
Foucault, Michel.2002. Power/Knowledge. Yogyakarta : Bentang
Freire, Paulo dan Shor, Ira.2001. Menjadi Guru Merdeka.Yogyakarta : LKIS
Jurnal Balairung.2001.Ed.34/tahun XVI. Yogyakarta : LPM Balairung
Majalah Edukasi.2003.Surabaya : LPM Edukasi
Nasution, S. 1987.Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta
Solomon, C. Robert. Dkk. 1996. A short History of Philosophy.New York : 
Oxford University 



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
$9.95 domain names from Yahoo!. Register anything.
http://us.click.yahoo.com/J8kdrA/y20IAA/yQLSAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke