http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=147363
Selasa, 21 Des 2004,

Kampanye Buruk UU Pers
Oleh Ernanto Soedarno*

Ketika Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis pidana penjara satu 
tahun terhadap Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Bambang Harymurti karena 
terbukti mencemarkan nama baik (defamation) pengusaha Tommy Winata, banyak 
pihak yang menyesalkan vonis itu. Terutama kalangan pers.

Mereka menilai, maraknya penggunaan lembaga pengadilan untuk menyelesaikan 
kasus pers dengan pihak yang dirugikan oleh pemberitaan merupakan upaya 
terselubung untuk memberangus atau paling tidak membatasi kebebasan pers.

Namun, dengan adanya kasus pidana yang menimpa Harian Radar Jogja (Jawa Pos 
Group) yang diadukan Pimpinan Umum Harian Kedaulatan Rakyat (KR) Jogjakarta 
Soemadi Wonohito, sebagai telah melakukan pencemaran nama baik (koran ini, 
16 Desember 2004), membuat masyarakat bingung sendiri. Apakah maunya 
kalangan pers sesungguhnya?

Pada saat pers berhadap-hadapan di pengadilan dengan sumber berita (yang 
bukan berasal dari kalangan pers), mereka menyarankan, bahkan mendesak, agar 
diselesaikan berdasarkan UU Pers melalui mekanisme hak jawab dan hak 
koreksi. Tujuannya, wartawan tidak perlu duduk di kursi terdakwa dan diseret 
ke penjara, serta kebebasan pers tetap terjaga.

Sementara itu, bila antarlembaga pers bersengketa, mereka malah dibawa ke 
pengadilan. Apakah ambivalensi ini terjadi karena persaingan pasar yang 
semakin tinggi atau kalangan pers sendiri tidak puas dengan penyelesaian 
berdasarkan UU Pers? Wallahua'lam.

Apa pun, melihat realitas itu, publik layak prihatin atau malah kasihan 
dengan upaya-upaya para aktivis pers di Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), 
serta yang berada di lembaga-lembaga pers yang memiliki lembaga ombudsman, 
seperti Jawa Pos dan Kompas.

Mereka gigih berjuang, melakukan advokasi dan diseminisasi, agar setiap 
kasus sengketa pemberitaan pers diselesaikan berdasarkan UU Pers ke 
masyarakat nonpers. Namun, di tengah kegigihan itu, mereka ditohok anggota 
profesinya sendiri yang ogah menggunakan mekanisme UU Pers.

Memang, tidak ada yang salah atas langkah bos KR tersebut. Pendayagunaan 
hukum (pidana dan perdata) untuk menyelesaikan sengketa pemberitaan pers 
memang sah-sah saja. Hukum merupakan salah satu pranata untuk mengontrol 
agar kebebasan pers tidak disalahgunakan secara anarki, sehingga merugikan 
pihak lain.

Pasal 19 ayat 3 Konvensi Hak-Hak Sipil menyebutkan, pelaksanaan kebebasan 
itu disertai kewajiban dan tanggung jawab khusus. Karena itu, dapat 
dikenakan pembatasan tertentu, tetapi hal demikian hanya boleh ditetapkan 
dengan undang-undang dan sepanjang diperlukan untuk: a. menghormati hak atau 
nama baik orang lain; b. menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum 
(public order) atau kesehatan atau kesusilaan umum.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kita juga mengatur perihal tersebut, 
di antaranya larangan pers menyebarkan pornografi (282 KUHP), penghinaan 
agama, penyerangan kehormatan seseorang (310 KUHP), fitnah (314 KUHP), 
penghasutan (160 KUHP), dan sebagainya.

Tanpa pengaturan represif seperti itu, bukan preventif, kebebasan pers 
potensial menjadi anarki. Apalagi, perubahan yang paling nyata, sejak rezim 
Soeharto tumbang, adalah pers Indonesia yang semula terpenjara dalam 
pemberitaan satu nada (monotony) kini menjadi liputan yang penuh hiruk-pikuk 
isu atau sas-sus (cachopony).

Kebebasan pers telah menghadirkan secara telanjang segala keruwetan dan 
kekacauan. Krisis dan konflik menjadi lebih tajam dan semakin dramatis 
melalui liputan pers. Publik bisa leluasa membaca dan menyaksikan tingkah 
polah para figur publik. Hampir tidak ada lagi rahasia atau privasi.

Akibatnya, ada sebagian penerbitan pers terjebak dalam atribusi pers kuning 
(yellow press) atau pers pop (popular press). Di sisi lain, dalam upaya 
meraih pembaca, banyak penerbitan pers yang menerapkan teknik penyajian 
judul berita sensasional, menggemparkan, dan bahkan menakutkan, yang lazim 
dikenal dengan sebutan scare headline. Judul berita tersebut banyak berdasar 
opini wartawan, sehingga cenderung evaluatif, subjektif, konklusif, dan 
tidak faktual.

Namun jangan lupa, bila berita-berita itu menjadi sumber sengketa, fungsi 
hukum pidana merupakan senjata pamungkas (ultimum remidium). Artinya, 
setelah mekanisme-mekanisme penyelesaian sengketa lain, seperti negosiasi 
atau mediasi dan sebagainya, gagal mendamaikan para pihak, barulah hukum 
pidana digunakan. Hal itu juga berlaku untuk sengketa pemberitaan pers, 
sebagaimana yang ditekankan oleh AJI (Aliansi Jurnalis Independen), agar 
proses hukum digunakan sebagai proses terakhir.

Kalangan pers bukan tak menyadari terjadinya dampak buruk kebebasan pers 
yang cenderung liberal saat ini. Karena itu, mereka yang tidak ingin 
kebebasan pers -yang sudah diidamkan selama ini- menjadi anarkis atau 
otoritarian terhadap khalayak. Mereka mendirikan berbagai lembaga untuk 
mengontrol profesionalisme kinerja mereka.

Kompas dan Jawa Pos mendirikan lembaga ombudsman. Lembaga tersebut 
mengontrol kinerja jurnalisme para awak redaksinya, memberikan tuntunan, dan 
menjatuhkan sanksi profesi. Lembaga itu, bersama-sama Dewan Pers, gigih 
berjuang agar kasus-kasus pemberitaan pers diselesaikan berdasarkan UU Pers.

Sudah banyak kasus sengketa pemberitaan pers berskala besar bisa selesai 
tanpa lewat proses hukum (nonlitigasi). Seperti, kasus mantan Meneg BUMN 
Laksamana Sukardi dengan beberapa media, termasuk Jawa Pos, Indo Pos, dan 
Rakyat Merdeka, selesai dengan elegan dan menguntungkan kedua belah pihak 
melalui mediasi Dewan Pers. Juga, kasus mantan Danseskoad Letjen TNI Djaja 
Suparman dengan Jawa Pos beberapa saat lalu dan banyak lagi.

Dalam sistem hukum yang demokratis, kemerdekaan pers adalah keharusan. 
Dengan demikian, hukum yang berlaku seharusnya menjamin kemerdekaan pers, 
sekaligus dapat menyelesaikan masalah defamation secara tepat. Pilihannya 
(seharusnya) adalah UU Pers sebagai UU khusus (lex specialis).

Sayang, kasus Radar Jogja dan KR itu membuktikan, masih ada konflik internal 
di kalangan pers sendiri yang tidak seluruhnya menginginkan keterwujudan UU 
Pers sebagai lex specialis. Ada sebagian yang rela mempertaruhkan kebebasan 
pers di bawah kewenangan palu hakim. Tentu saja, itu adalah kampanye buruk 
yang kontraproduktif dengan apa yang selama ini diperjuangkan sebagaian 
besar warga profesi pers sendiri. Quo Vadis?
* Ernanto Soedarno, advokat senior di Surabaya 



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
$4.98 domain names from Yahoo!. Register anything.
http://us.click.yahoo.com/Q7_YsB/neXJAA/yQLSAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke