Republika
      Senin, 20 Desember 2004

      Paradoks Kebangkitan Islam 

      Adian Husaini
      Mahasiswa ISTAC-IIUM Kuala Lumpur




      Kolom resonansi Azyumardi Azra di Republika (2/12/2004), berjudul 
''Memahami Kebangkitan Islam'' perlu sejumlah klarifikasi. Kolom itu 
menceritakan, bahwa pada 30 November 2004 ia didatangi setidaknya oleh tiga 
kalangan pejabat tinggi dari negara-negara Barat. Seperti banyak tamu lainnya, 
mereka mengajak Azyumardi berdiskusi tentang perkembangan dan dinamika Islam, 
politik Indonesia pascapilpres, dan juga tentang kekhawatiran kebangkitan apa 
yang disebut sebagai Islam politik, Islam fundamentalis, atau Islam radikal. 

      Dari cerita Azyuimardi, kita bisa menangkap cerita faktual, bahwa mitos 
tentang ancaman Islam di kalangan pemimpin-pemimpin dan tokoh-tokoh Kristen, 
Yahudi, Barat masih bercokol kuat. Meskipun negara-negara Barat saat ini 
memiliki kekuatan yang dahsyat dalam berbagai bidang kehidupan --politik, 
ekonomi, militer, informasi, pemikiran, pendidikan, dan sebagainya-- ternyata 
jiwa ketakutan itu masih saja hidup subur. Akar-akar ketakutan terhadap Islam 
memang sangat mendalam di Barat. 

      Edward Gibbon, misalnya, dalam buku terkenalnya The Decline and Fall of 
The Roman Empire (New York: The Modern Library, 1974, III:56) membuat mitos 
populer tentang ancaman Islam, bahwa Nabi Muhammad, dengan masing-masing 
tangannya memegang Alquran dan pedang, mendirikan kekuasaannya di atas 
reruntuhan Kristen dan Roma. Buku John L.Esposito, The Islamic Threat, Myth or 
Reality (New York: Oxford University Press, 1993), menggambarkan fenomena 
ketakutan itu di kalangan masyarakat Barat dan peranan para penguasa (politik, 
media massa) dalam menyebarkan ketakutan itu. 

      Dalam sejarahnya yang panjang, mitos tentang ancaman Islam di kalangan 
masyarakat Kristen juga sudah digambarkan dengan baik oleh Norman Daniel dalam 
buku klasiknya, Islam and The West: The Making of an Image (Oxford: Oneworld 
Publications, 1997). David R Blank, dalam sebuah tulisannya berjudul Western 
Views of Islam in the Premodern Period mencatat bahwa meskipun secara 
keseluruhan tidak ada bukti kuat antara sikap praduga terhadap Islam antara 
zaman pramodern dengan zaman modern, namun ada garis-garis pemikiran tertentu 
yang terus berlanjut, yang mencitrakan Islam sebagai kafir raksasa (gigantic 
heresy), seperti garis pemikiran Peter the Vunerable, Raymund Lull, Martin 
Luther, Samuel Zwemmer. 

      Zwemmer adalah misionaris Kristen terkenal untuk dunia Islam. Martin 
Luther, sebagaimana banyak pendeta Kristen di Zaman Pertangahan dan awal Eropa 
modern, percaya bahwa kaum Muslim (yang disebut dengan istilah ''Turks'') 
adalah masyarakat yang dikutuk oleh Tuhan. Kita masih ingat, bahwa Paus Urbanus 
II, ketika memprovokasi terjadinya Perang Salib juga menyatakan, bahwa kaum 
Muslim adalah monster jahat yang tidak bertuhan. Membunuh makhluk semacam itu 
merupakan tindakan suci dan kewajiban kaum Kristen.

      Dominasi Barat
      Di masa lalu, ketakutan terhadap kekuatan Islam memang beralasan, sebab 
memang hanya peradaban Islam yang mampu menaklukkan Kristen Eropa selama 
ratusan tahun. Kata Bernard Lewis, For almost a thousand years, from the first 
Moorish landing in Spain to the Second Turkish siege of Vienna, Europe was 
under constant threat from Islam. Huntington juga menyimpulkan Islam is the 
only civilization which has put the survival of the West in doubt, and it has 
done that at least twice.

      Tetapi, sekarang? Jelas-jelas kaum Muslim saat ini dalam kondisi yang 
sangat lemah, dan terus-menerus berusaha dilemahkan. Terlepas dari nada 
peyoratif pada beberapa bagiannya, buku What Went Wrong? Western Impact and 
Middle Eastern Response (London: Phoenix, 2002), karya Bernard Lewis memuat 
banyak data menarik tentang kondisi Islam di masa lalu dan kini. Lewis mengakui 
keagungan Islam di masa lalu. Ia misalnya mencatat, bahwa selama beberapa abad 
Islam merupakan kekuatan militer dan ekonomi terbesar di muka bumi. 

      Tetapi, menurut Lewis, pada abad ke-20, ada yang salah pada dunia Islam. 
Dibandingkan dengan rivalnya, Dunia Kristen, dunia Islam kini menjadi miskin, 
lemah, dan bodoh. Sejak abad ke-19, dominasi Barat terhadap dunia Islam tampak 
jelas. Barat mengivasi kaum Muslim dalam setiap aspek kehidupan, bukan hanya 
pada aspek publik, tetapi --yang lebih menyakitkan-- juga dalam aspek-aspek 
pribadi. 

      Namun, orang-orang Barat, seperti yang datang ke Azyumardi itu, tetap 
saja melihat Islam sebagai momok (scourge) bagi Barat. Bagaimana menghadapi 
kaum yang hidup dalam mitos atau paranoid semacam ini? Pada satu sisi, paranoia 
Barat itu menunjukkan, bahwa memang Islam --bagaimana pun kondisinya-- tidak 
dipandang sebelah mata. Kaum Muslim tetap diperhitungkan, meskipun sedang dalam 
kondisi lemah. Seyogyanya, kaum Muslim melakukan instrospeksi atas kondisinya 
dan tidak terlalu menunjukkan sikap cari muka terhadap Barat. 

      Dalam beberapa aspek, nuansa cari muka itu memang tampak. Misalnya, 
karena begitu takutnya Barat pada Islam politik, maka banyak cendekiawan yang 
ikut-ikutan membenci Islam politik. Menurut mereka, Islam harus dijauhkan dari 
kekuasaan, sebagaimana pernah dinasehatkan pada penguasa kolonial Belanda oleh 
Snouck Hurgronje. Di antara resep Snouck Hurgronje untuk melemahkan Islam, 
dalam bidang politik, pemerintah kolonial harus mencegah setiap usaha yang akan 
membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan-Islam. 

      Belah bambu
      Jawaban Azyumardi terhadap orang-orang Barat itu adalah: ''Tetapi, 
biasanya saya menjawab, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan semua gejala 
yang disebut sebagai Islamic revival tersebut. Memang, semakin banyak Muslim 
yang kian rajin beribadah, dan juga semakin banyak wanita yang menggunakan 
jilbab. Tetapi, parpol-parpol Islam tetap gagal meraih suara terbanyak dalam 
pemilu. Jadi, peningkatan kesalehan keagamaan tidak merupakan garis lurus.'' 

      Cara pandang seperti itu sebenarnya aneh dalam perspektif demokrasi Barat 
sendiri. Seolah-olah kekalahan parpol Islam atas Golkar dan PDIP patut 
disyukuri demi untuk menghibur dan menyenangkan hati (cari muka) terhadap 
Barat. Lebih aneh lagi, jika kita telaah pandangan Azyumardi yang memuji buku 
Giora Eliraz, guru besar Hebrew University Yerusalem dan dosen tamu pada 
Australian National University. Buku itu berjudul Islam in Indonesia: 
Modernism, Radicalism, and the Middle East Dimension (Brighton: Sussex Academic 
Press, 2004). Menurut Eliraz, watak kebangkitan Islam di Indonesia adalah unik, 
terutama jika dibandingkan dengan Islam di Timur Tengah. Jika di Timur Tengah 
umumnya ''kebangkitan Islam'' itu ditandai dengan peningkatan kesalehan dan 
konservatisme berbarengan dengan penguatan Islam politik dengan ideologi 
fundamentalis dan bahkan militansi dan radikalisme, maka kebangkitan Islam di 
Indonesia ditandai dengan peningkatan toleransi dan penerimaan yang kian meluas 
atas gagasan-gagasan dasar tentang pluralisme keagamaan.

      Pandangan ilmuwan dari Hebrew University itu rancu. Dengan bahasa yang 
halus, umat Islam di Indonesia dipuji-puji, seolah-olah lebih hebat, lebih 
bagus, dan lebih menyenangkan Kristen, Yahudi, Barat, karena tidak radikal, 
tidak militan, tidak fundamentalis. Tanpa sadar, dengan ungkapan semacam itu, 
sebenarnya kaum Muslim telah dipecah belah, masuk dalam politik belah bambu. 
Satu diinjak, satu diangkat. Dengan memberikan stigma negatif terhadap wajah 
Islam Timur Tengah semacam itu, dampak berikutnya adalah munculnya sikap 
negatif terhadap saudara-saudara kita Muslim di Timur Tengah, sehingga 
memudahkan untuk memindahkan kiblat pemikiran Islam ke Barat. Deskripsi ilmuwan 
dari Israel itu juga memberi gambaran yang mengerikan tentang Islam politik.

      Wacana lain yang tidak seharusnya ditelan mentah-mentah adalah penggunaan 
istilah dan wacana tentang fundamentalisme dan radikalisme yang juga tidak 
lepas dari agenda Barat dalam mencitrakan Islam sebagai momok dan musuh baru 
pasca-Perang Dingin. Buku-buku tentang masalah ini sangat melimpah ruah, 
bagaimana wacana ini terus digulirkan untuk mengacaukan persepsi kaum Muslim 
dan dunia internasional. Apalagi ketika wacana fundamentalisme, radikalisme, 
militan, dikaitkan dengan terorisme. Kita patut mencermati ungkapan ilmuwan 
dari Israel tentang kebangkitan Islam di Indonesia yang juga dipuji oleh 
Azyumardi. Bahwa kebangkitan Islam di Indonesia ditandai dengan peningkatan 
toleransi dan penerimaan yang kian meluas atas gagasan-gagasan dasar tentang 
pluralisme keagamaan. Pendapat inilah yang sebenarnya merupakan racun pembunuh. 
Sebab, kebangkitan Islam dikaitkan dengan penyebaran paham pluralisme agama 
yang memang merupakan mesin pembunuh agama-agama. Harusnya dibedakan antara 
pluralitas, yang mengakui keragaman, dengan pluralisme agama, yang merupakan 
paham tentang realitas. 

      Paham pluralisme agama berupaya membentuk satu 'teologi baru' yang 
berbeda dengan teologi agama-agama yang ada. Biasanya mereka sebut semacam 
universal theology of religion atau global theology. Karena itu tidak 
berlebihan jika dikatakan, pluralisme agama sebenarnya merupakan 'jenis agama 
baru', yang menciptakan 'kitab suci' dan 'nabi' sendiri. Salah satu tokoh paham 
ini adalah pendiri Islamic Studies di McGill University, Wilfred Cantwell 
Smith. Ia mengaku dirinya merupakan pendukung gagasan a universal theology of 
religion. Satu lagi, tokoh paham ini adalah John Hick, seorang guru besar dalam 
Teologi Kristen. Perjalanan intelektual John Hick menunjukkan, ia sampai pada 
paham ini setelah melakukan penghancuran secara mendasar terhadap teologi 
Kristen melalui bukunya The Myth of God Incarnate (1977). (Lihat, Adnan Aslan, 
Religious Pluralism in Christian and Islamic Philosophy: The Thought of John 
Hick and Seyyed Hossein Nasr, (Richmond Surrey: Curzon Press, 1998). 

      Paham pluralisme agama adalah produk sejarah peradaban Barat yang 
traumatik terhadap teologi eksklusif Gereja dan problema teologis Kristen, 
serta realitas teks Bibel. Jika peradaban Barat kemudian mengembangkan dan 
memaksakan paham ini agar dianut oleh pemeluk agama-agama yang ada, dapatlah 
dimaklumi. Sebab, peradaban Barat pada hakikatnya memang antiagama', 
sebagaimana dikatakan Muhammad Asad (Leopold Weiss): so characteristic of 
modern Western Civilization, is as unacceptable to Christianity as it is to 
Islam or any other religion, because it is irreligious in its very essence. 
(Muhammad Asad, Islam at The Crossroads, Kuala Lumpur: The Other Press).

      Karena itu, sungguh sulit dipahami dengan akal sehat, jika ada 
cendekiawan dari kalangan Muslim yang ikut-ikutan 'membunuh agama' mereka 
dengan menyebarkan paham ini. Pendapat Giora Eliraz, profesor dari Israel 
tentang kebangkitan Islam di Indonesia sangat tidak tepat. Penyebaran paham 
pluralisme agama di kalangan kaum Muslim sama sekali tidak patut dikatakan 
sebagai satu kebangkitan Islam, tetapi justru kebangkrutan Islam. Wallahu a'lam
     


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
$4.98 domain names from Yahoo!. Register anything.
http://us.click.yahoo.com/Q7_YsB/neXJAA/yQLSAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke