http://www.sinarharapan.co.id/berita/0501/20/nas09.html 

ANALISIS
Aceh, TNI, dan MOOTW
Oleh Philips J Vermonte 

KETAKUTAN akan kehadiran pasukan asing di Aceh telah menjadi tema utama berita 
berbagai media sepekan belakangan ini. Wacana mengenai pembatasan kehadiran 
pasukan asing tersebut bahkan memuncak hingga berkembang menjadi wacana 
mengenai masa tenggat yang diberikan oleh pemerintah Indonesia bagi pasukan 
dari berbagai negara tetangga tersebut. 
Karena kesalahpahaman yang muncul atas pemberitaan masa tenggat ini, pemerintah 
Indonesia bahkan harus mengklarifikasi bahwa yang dimaksud adalah sama sekali 
bukan deadline, tapi lebih merupakan timeline untuk mendorong Indonesia sendiri 
agar bisa segera menyelesaikan sendiri beban persoalan yang muncul pascabencana 
tsunami di bumi Aceh.
Berita-berita mengenai bantuan pasukan asing di Aceh memang potensial 
menimbulkan kesalahpahaman, baik ke dalam ataupun ke luar negeri. Ke dalam 
negeri, persoalan banyaknya pasukan asing di Aceh sangat potensial 
dipolitisasi, terutama dengan mengangkat soal-soal mengenai nasionalisme, harga 
diri dan martabat bangsa dan semacamnya. Persoalan juga menjadi lebih rumit 
ketika ia berbaur dengan isu agama di Aceh yang berpenduduk mayoritas Muslim.
Ke luar negeri, kesalahpahaman sangat mungkin muncul karena 
pernyataan-pernyataan beraroma nasionalisme yang tidak bersahabat juga mungkin 
ditafsirkan sebagai indikasi bahwa pihak Indonesia tidak menghendaki bantuan 
asing dalam usaha menangani dampak bencana tsunami yang sangat luas dan 
menimbulkan keprihatinan dunia yang mendalam. 
Sebuah surat pembaca di harian Jakarta Post yang ditulis seorang warga asing 
menyatakan keprihatinan yang mendalam atas sikap sebagian dari kita yang 
"antiasing", dan menyatakan bahwa penulisnya yakin masyarakat internasional pun 
sama sekali tidak keberatan untuk memindahkan bantuan yang tadinya dialokasikan 
bagi Indonesia ke negara lain yang tidak selalu mencurigai bantuan asing.
Agaknya, kesalahpahaman ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, sebagian 
besar masyarakat kita sedikit mendapat informasi mengenai sebuah peran baru 
militer yang dikenal sebagai pelaksana MOOTW (military operation other than 
war) atau operasi militer selain perang. 
Yang termasuk dalam kategori operasi militer selain perang adalah humanitarian 
disaster relief, civic mission, dan tugas perbantuan kepada fungsi kepolisian 
atas keputusan politik pemerintah. Dalam hal ini, diketahui bahwa fungsi polisi 
termasuk di dalam ranah fungsi pemerintahan.
Dalam bukunya Guide to Military Operations Other Than War, dua perwira angkatan 
darat Amerika Serikat Keith Bonn dan Anthony A Baker menguraikan jenis-jenis 
operasi MOOTW yang dijalankan oleh pasukan AS. 
Pemberian bantuan kemanusiaan di daerah krisis telah menjadi bagian dari 
doktrin MOOTW Amerika Serikat, di mana di dalamnya termasuk foreign disaster 
relief, refuge/displaced civilian support, security for those providing aid, 
technical assistance and support. Selain itu, disebutkan bahwa dalam 
humanitarian assistance, operasi yang berlangsung sama sekali jauh dari 
gambaran posisi combatant yang siap tempur.
MOOTW secara umum didefinisikan sebagai operasi militer yang tidak dilakukan 
untuk menghadapi ancaman bersenjata dari luar. Karena itu, ada jenis MOOTW yang 
juga identik dengan posisi combatant, yaitu operasi militer untuk menghadapi 
pemberontakan atau separatisme (counter insurgency). Operasi militer yang 
dilakukan TNI di Aceh untuk menghadapi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sesungguhnya 
merupakan satu jenis operasi militer yang juga merupakan bagian dari MOOTW. 
Jenis lain dari MOOT yang sering dilakukan militer di berbagai negara, 
khususnya negara-negara Amerika Latin adalah operasi militer untuk menghadapi 
perdagangan obat bius. 
Hal ini dilakukan karena kepolisian sudah tidak lagi memadai untuk menghadapi 
perdagangan obat bius yang levelnya sangat tinggi di negara-negara tersebut. 
Akibatnya, isu obat bius sudah dianggap sebagai ancaman langsung terhadap 
keamanan nasional di beberapa negara, misalnya Kolumbia.

Dua Alasan 
Wacana mengenai MOOTW berkembang karena dua alasan. Pertama, berubahnya 
karakteristik ancaman termasuk mengenai jenis, sumber dan skalanya. Kedua, 
dalam masa damai, angkatan bersenjata dimanapun menjadi idle capacity, sehingga 
ia perlu digunakan untuk bisa menjalankan tugas-tugas pertahanan yang tidak 
terlalu jauh dari tugas pokoknya.
Karena itu, apabila negara-negara maju yang mengirimkan pasukannya ke Aceh 
beberapa waktu belakangan ini, pada dasarnya mereka tengah menjalankan operasi 
militer dalam kategori MOOTW. Lebih spesifik adalah bahwa yang sedang 
dijalankan adalah MOOTW dalam hal pemberian bantuan kemanusian di daerah krisis 
bencana alam (natural disaster) dan bukan bencana yang dibuat manusia (man-made 
disaster).
Kekhawatiran terhadap kehadiran pasukan asing di Aceh dalam operasi kemanusiaan 
sama sekali tidak berdasar. Karena, sifatnya bukan combat mission dan memiliki 
doktrin yang berbeda dari misi perang yang sesungguhnya.
Penyebab kedua dari munculnya kesalahpahaman ini adalah lebih bersifat 
internal. Bencana di Aceh menunjukan bahwa Indonesia tidak memiliki perangkat 
yang cukup, baik software ataupun hardware, untuk menghadapi bencana. 
Akibatnya, tanggapan yang muncul, baik dari sisi pemerintah ataupun masyarakat, 
bersifat reaksioner dan berjangka sempit. Sehingga, koordinasi oleh pemerintah, 
sebagaimana diakui langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, relatif 
lemah dalam penanggulangan bencana. Karena itu, miskomunikasi dengan mudah 
terjadi. 
Satu hal penting yang perlu mendapat perhatian serius adalah bahwa kemampuan 
angkatan bersenjata kita dalam menjalankan operasi kemanusiaan internal di Aceh 
sejauh ini, harus dengan besar hati diakui, sangat minimal. Mungkin saja salah 
satu penyebabnya adalah bahwa TNI juga merupakan korban dari bencana tsunami 
tersebut dengan ratusan prajuritnya yang telah dinyatakan hilang. 
Artinya, secara psikologis, prajurit TNI di Aceh sangat berat untuk menjalankan 
tugasnya di tengah skala kerusakan, baik material maupun non-material, sebesar 
yang kita saksikan di Aceh. 
Akan tetapi, sebab-sebab struktural lain harus mendapat perhatian untuk 
meningkatkan profesionalisme TNI, baik untuk menjalankan operasi perang maupun 
untuk menjalankan MOOTW di negeri sendiri. 
Bencana di Aceh juga memberi momentum yang baik bagi semua pihak untuk secara 
komprehensif memikirkan dan melanjutkan usaha-usaha mereformasi TNI, baik pada 
aspek legal, doktrinal, finansial dan struktural.

Penulis adalah peneliti di Centre for Strategic and International Studies (CSIS)
 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
What would our lives be like without music, dance, and theater?
Donate or volunteer in the arts today at Network for Good!
http://us.click.yahoo.com/pkgkPB/SOnJAA/Zx0JAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Reply via email to