--- In [EMAIL PROTECTED], "Arif" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

Kompas,
Senin, 14 Februari 2005

Republik Kapling
Oleh Tamrin Amal Tomagola *)

PARA nasionalis-fanatik Indonesia, khususnya mereka yang mengacu pada
paham
state nationalism, cenderung dengan mata mendelik mempertahankan bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI sebagai wujud final yang
haram
untuk ditawar, baik sebagai sekadar gagasan maupun dalam gerakan separatis
secara damai, apalagi bersenjata.
Sambil menabuh genderang perang terhadap setiap gerakan pemecah belah,
khususnya para separatis dan aktivis LSM yang dinilai tidak
nasionalis-almarhum Munir misalnya-mereka terus berilusi bahwa tubuh Ibu
Pertiwi NKRI itu masih utuh.
Maraknya pengaplingan
Mereka cenderung menutup mata terhadap kenyataan yang telah mulai mengeras
sejak masa Orde Baru bahwa sesungguhnya setiap jengkal dan petak bumi
Nusantara ini telah dipecah-pecah dalam satuan kapling ekonomi-politik.
Ukuran kapling-kapling itu bervariasi sesuai dengan skala modal yang
ditanam
dan jumlah upeti yang diselundupkan ke rekening pejabat negara dan daerah
serta para anggota DPR pusat dan daerah.
Bukit-bukit Timika untuk Freeport, Lhok Seumawe untuk Exon Mobil, beberapa
kabupaten di Sulawesi Selatan untuk Monsanto, Buyat-Minahasa dan Sumbawa
untuk Newmont International, Teluk Bintun di Papua Barat untuk British
Petroleum, Kalimantan Timur untuk PT Kaltim Prima Coal, hutan Papua untuk
sejumlah jenderal pensiunan. Bahkan, Pulau Dewata kebanggaan Indonesia di
Bali nyaris menjadi negara bagian ke-9 Australia. Semakin banyak usaha
ekonomi-kesenian skala menengah dan besar di Bali dan Jepara, Jawa Tengah,
berpindah tangan ke pemodal asing. Satu-satunya Taman Burung di Bali pun
berada di tangan pemodal asing.
Tidak hanya tubuh Ibu Pertiwi yang sudah centang-perenang dikapling,
birokrasi negara-sipil dan militer-baik pada tingkat nasional dan daerah
sudah lama tercabik-cabik dikapling-kapling oleh berbagai satuan mafia
birokrat dengan sistem sel berjenjang yang rumit merata di seluruh
Nusantara
tanpa kecuali. Bila Direktorat Jenderal Pajak, Bea dan Cukai, serta Ditjen
Anggaran Depkeu belum telanjur diduduki oleh satuan-satuan tikus
berseragam,
kita masih dapat berharap bahwa pajak yang dibayar oleh perusahaan asing
maupun nasional masih dapat diselamatkan dan digunakan untuk
sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat.
Bila di departemen yang dulu bernama Pekerjaan Umum (PU) juga sunyi dari
pemalak-pemalak berseragam, maka kita masih dapat berharap bahwa
jalan-jalan
tidak berlubang-lubang. Bila di Departemen Perhubungan tidak terjadi
pengaplingan proyek, maka kita tentu saja layak bermimpi punya
pelabuhan-pelabuhan-darat, laut, udara, dan sungai-yang mampu beroperasi
lebih lama dari seumur jagung. Bila Departemen Pendidikan Nasional mampu
menghentikan lagu lama Love Me Tender tentu saja anak-anak dapat
diselamatkan dari kebingungan gonta-ganti buku pelajaran dan pemaksaan
ujian
nasional yang beruang 45 miliar rupiah
Dan yang paling tragis adalah Departemen Sosial dengan seluruh
jajarannya di
daerah-daerah di mana dana pengungsi bermiliar rupiah ludes tanpa dapat
dilacak. Di wilayah konflik dan bencana malah dana-dana itu dipakai untuk
tim sukses meraih suatu jabatan tertentu seperti yang dilaporkan Sdr
Arianto
Sangaji dalam tulisannya berjudul "Proyek Kekerasan di Sulawesi Tengah"
(Kompas, 14/12/2004). Begitu haus dan rakusnya para pejabat sipil
adigang-adigung ini melahap semua lahan-lahan finansial ini sampai-sampai
lapangan parkir, termasuk di kampus-kampus (sic!) telah dikapling-kapling.
Aparat penegak hukum dan keamanan juga tidak mau ketinggalan dalam pesta
nasional mengkapling-kapling bumi pertiwi dan birokrasi negara serta
daerah.
Setiap perempatan jalan dan tempat-tempat hiburan di kota-kota serta
pangkalan ojek secara teratur mempersembahkan upeti dalam jumlah
berkali-kali lipat gaji seorang kepala polres. Suatu perkara dapat
ditelantarkan bertahun-tahun tanpa kabar (kasus pembobolan BNI misalnya)
bila ada intervensi kekuasaan uang atau politik-administratif. Lembaga
Kejaksaan, menurut seorang pengamat kepolisian, malah jauh lebih parah
dalam
memeras para tersangka. Porsi upeti sebanding dengan luasnya kapling
otoritas jaksa tertentu. Para hakim juga setali tiga uang dengan
rekan-rekan
mereka di Kejaksaan. Beberapa faksi militer menjadi pelindung dan bahkan
pelaku dalam illegal logging, pencurian ikan laut, perkebunan, dan
perdagangan ganja. Keamanan menjadi komoditas yang dapat direkayasa
sedemikian rupa sehingga para aparat keamanan selalu tampil sebagai
pahlawan
pengawal dan pembela NKRI dan penjamin keamanan rakyat. Dalam
kenyataannya,
mereka lebih sibuk menjaga keamanan kapling-kapling satuan
kepentingan, baik
finansial maupun promosi kenaikan pangkat mereka sendiri.
Negara semakin impoten
Keadaan NKRI yang sudah sedemikian dikeroposi dan digembosi dari dalam
oleh
aparat birokrasinya sendiri nyaris memustahilkan efektifnya pelaksanaan
setiap kebijakan maupun perangkat perundang-undangan yang ada. Bagaimana
bisa suatu kebijakan nasional ditegakkan bila daftar isi dokumen kebijakan
(Propenas misalnya) juga sudah dikapling-kapling. Bab sekian untuk
departemen A. Subbab sekian sampai sekian untuk Ditjen A1, sedangkan
subbab
sisanya untuk Ditjen A2 dan A3.
Adalah menarik menyaksikan bagaimana para wakil setiap bagian dari
birokrasi
itu berdebat berjam-jam tentang penggunaan istilah tertentu. Ternyata tiap
istilah yang digunakan punya implikasi di bagian mana sebuah proyek
berikut
dananya akan dialokasikan. Belum lagi bila bagian birokrasi tertentu harus
berhadapan baik dengan aparat Ditjen Anggaran, Depkeu, maupun Bappenas
dalam
suatu dagang sapi proyek yang sangat merendahkan martabat bangsa.
Pengeroposan negara ini dari dalam tubuh birokrasinya sendiri adalah sebab
utama dan pertama mengapa gonta-ganti presiden lima kali dalam enam tahun
terakhir tidak membawa perubahan apa-apa dibandingkan dengan Thailand yang
satu kali pergantian perdana menteri telah banyak mengubah nasib rakyat
kecilnya (The Economist, 5/2/2005).
Sebab kedua semakin impotennya negara adalah semakin berjalinkelindannya
keterkaitan berbagai masalah nasional dengan setumpuk faktor-faktor
penyebab
yang berada di lingkup tataran regional bahkan global. Masalah-masalah
utama
dan mendasar, seperti masalah perdagangan narkoba, perdagangan teknologi
radioaktif dan nuklir, kerusakan lingkungan, perdagangan senjata,
perdagangan anak dan perempuan, tenaga kerja tak berdokumen, pencucian
uang,
dan terorisme semakin mustahil diselesaikan secara sendiri-sendiri
oleh tiap
negara. Diperlukan sistem dan mekanisme regional seperti ASEAN dan
sejenisnya untuk menangani hal-hal tersebut di atas. Otoritas dan wewenang
bahkan kedaulatan suatu negara nyaris menjadi klaim-klaim usang yang perlu
ditinjau kembali secara komprehensif.
Faktor ketiga yang semakin membuat kemampuan negara menangani masalah
mendekati titik nadir ini adalah gencarnya proses desentralisasi sebagai
dampak bawaan yang tak terhindarkan dari tuntutan demokratisasi.
Daerah-daerah otonom semakin asertif menarik garis batas pembagian
kekuasaan
politik-administratif serta anggaran antara pusat dan daerah. Hal ini
diperparah dengan semakin merajalelanya keserakahan aparat birokrasi
berwatak Orde Baru yang mulai mengkapling-kapling berbagai lahan dana
anggaran potensial. Lebih jauh, beberapa pemerintah kota besar dan
menengah
malah mulai merintis kerja sama regional dan internasional dengan
melangkahi
pemerintah nasional.
Hasil akhir dari gempuran tiga faktor pelemah negara-bangsa ini adalah
pada
satu pihak pemerintah pusat tidak mampu menangani masalah-masalah yang
berdimensi regional-terkini, TKI tak berdokumen di Malaysia-di lain pihak
pemerintah pusat juga tidak berdaya memberikan pelayanan dasar dalam
bidang
pendidikan dan kesehatan.
Alhasil, seperti dirumuskan oleh Manuel Castells dalam karyanya The
Power of
Identity (1997:273): ".national governments in the Information Age are too
small to handle global forces, yet too big to manage people's lives".

*) Tamrin Amal Tomagola Sosiolog
--- End forwarded message ---






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
In low income neighborhoods, 84% do not own computers.
At Network for Good, help bridge the Digital Divide!
http://us.click.yahoo.com/S.QlOD/3MnJAA/Zx0JAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke