http://www.kompas.com/kompas-cetak/0505/14/opini/1748882.htm

 
Tidak Bisa Tidak Korupsi, Bapak Presiden 

Oleh Handrawan Nadesul

KALAU ditanya mengapa orang korupsi, jawaban jujurnya pasti tak sama. Ada yang 
menjawab terpaksa korupsi buat beli nasi. Yang lain bercita- cita korupsi agar 
hidup bisa lebih seksi punya duit berpeti- peti. Mengingat kausanya berbeda, 
obatnya tentu tidak boleh sama.

Sama vitalnya dengan memilih obat antikorupsi, Deng Xiao Ping dulu bilang, agar 
korupsi tidak menjamur, perlu ada sistem. Dengan sistem, orang jahat 
divaksinasi agar menjadi baik, dan orang baik tetap baik.

Tanpa sistem, orang baik bisa menjadi jahat. Maka, supaya penyakit korupsi 
tidak kambuh, selain yang sudah sakit diobati, yang belum kena harus 
divaksinasi. Ihwal vaksinasi korupsi, kita masih setengah hati.

Barang tentu tak semua yang dapurnya tak selalu berasap memilih berkorupsi. 
Namun, dibandingkan yang korupsi buat kecentilan hidup, kelompok yang korupsi 
buat beli nasi pada kita masih lebih banyak. Diukur dengan apa saja, dua-duanya 
jelas bersalah.

Mengobati kelompok yang terpaksa korupsi, selama tidak menambah kemampuan 
membeli nasi, gigi hukum saja tak cukup menjadi obat. Kalau korupsi sudah jadi 
andalan hidup, tingkat kenekatan orang sudah naik ke otak. Wajar jika penjahat 
kambuhan mengaku lebih suka memilih masuk penjara karena hidup di luar semakin 
susah.

LEE Kuan Yew, pendiri Singapura, baru-baru ini bilang, "Jangan percaya bahwa 
Singapura tak menghadapi masalah korupsi." Padahal, Singapura relatif bersih 
dan gaji guru sekolah sudah mencapai 4.000 dollar Singapura atau hampir Rp 25 
juta. Barangkali dalam kaitan kebijakan "vaksinasi korupsi", Singapura 
berencana menaikkan gaji menteri dan pejabat negara hingga 80 persen dari gaji 
eksekutif swastanya.

Pada kita, gaji pegawai negeri eselon IV (golongan ruang III) belum tentu cukup 
untuk makan. Kalau jujur, gaji eselon I, bahkan setingkat menteri pun, bila 
cuma mengandalkan gaji boro-boro bisa hidup mewah.

Jadi tak perlu ditanya lagi dari mana jika tak sedikit eselon I punya rumah dan 
mobil mewah. Jangan pula ditanya keajaiban dari mana pula bila pegawai negeri 
golongan I puluhan tahun masih bertahan hidup jika bukan dari ngobyek serabutan 
(korupsi waktu), cari proyek, ikut panitia pengadaan barang, menguangkan 
kertas, tinta di kantor, atau apa saja.

Mengapa cara tak elok yang dipilih? Karena kesempatan untuk itu masih ada dan 
sistem kita (waskat: pengawasan melekat, salah satunya) tak punya kaki. Harus 
diakui, tidak semua pegawai negeri sejujur Umar Bakrie, setulus Pak guru Mamad.

GEBRAKAN "8 Langkah" Presiden beberapa waktu lalu bertekad menyapu korupsi bisa 
jadi membuat kempat-kempot hati koruptor kakap dan para pejabat teras yang 
telanjur punya hobi centil seperti itu. Namun belum tentu bakal begitu nyali 
mereka yang buat berobat saja tak ada uang tersisa lantaran sudah habis buat 
makan.

Bagi begitu banyak koruptor teri, gebrakan serbu korupsi boleh terus 
menggonggong, tetapi kepulan asap dapur bukankah harus terus berlalu. Selama 
sistem di kantor belum galak dan lubang buat serong masih menganga, korupsi 
rutin kecil-kecilan, berani bertaruh, seperti angin, pasti masih akan bablas 
terus.

Bukankah Kwik Kian Gie pernah usul, sebagai sebuah racikan puyer, obat korupsi 
perlu termasuk kebijakan menaikkan gaji pegawai negeri juga, sambil jangan lupa 
memberi catatan, bahwa hukum korupsi harus sudah bisa menggigit. Kini Presiden 
sudah tunggang langgang, sayang yang lain masih melenggang.

Jika ditilik dari perspektif psikopolitik korupsi gagasan Kwik laik diterima, 
memang harus tidak boleh ada alasan kocek pemerintah belum tebal. Mengapa? 
Karena pilihan itu merupakan harga obat yang harus dibayar agar wabah korupsi 
kelas teri bisa total sembuh dan tak kambuh lagi. Sementara niat mengencangkan 
ikat pinggang, usulan menyingsetkan struktur pegawai negeri pun prioritas yang 
perlu dipertimbangkan.

Terus terang dibandingkan dengan gaji pegawai swasta, pegawai negeri kita betul 
dibayar kecil. Anekdot bilang, itu sepadan dengan kinerjanya yang datang 
kesiangan pulang kepagian. Bukankah kinerja satu pegawai swasta setara dengan 
keroyokan, katakanlah melawan lima pegawai negeri.

Kalau betul begitu, bukannya efisien kita membelanjakan buat lebih banyak 
pegawai meski dengan struktur gaji alit, bila dengan lebih sedikit pegawai yang 
diberi gaji memadai tetapi menelurkan kinerja lebih besar. Filipina baru-baru 
ini bergegas mengetatkan ikat pinggang efisiensi jam kantor yang pada kita 
masih molor kedodoran.

MENJEWER koruptor teri dinilai tak tepat pakai tangan besi sebab gaji saja 
benar tak cukup. Tidak demikian bagi koruptor bukan kelas kambing yang kata 
orang bermuka badak, lantaran justru kepada mereka tangan besi yang bisa bikin 
mereka jera.

Melihat gelagat sudah menggebrak meja hukum pun koruptor kelas paus masih tak 
bergeming, tampaknya diperlukan superbody lain sebagai pendamping Komisi 
Pemberantasan Korupsi. Yang seperti ini beberapa negara Amerika Latin pernah 
lakukan.

Naga-naganya Presiden sudah "geregetan" melihat yang lain menari lemah gemulai 
setel kendo, alih-alih bersemangat mambo atau cha-cha-cha seperti maunya 
rakyat. Orang- orang berharap triliunan rupiah uang yang dikemplang para 
koruptor buron bisa disetor buat menolong rakyat yang lagi megap-megap.

Kata orang, kondisi korupsi kita sudah terindikasi kasus gawat darurat. Tak 
banyak waktu untuk menyelamatkan perekonomian kita yang sudah kronis puluhan 
tahun dirongrong penyakit, dibobol pembalakan hutan, pengemplangan utang bank, 
beragam penggelapan, dan pemborosan bukan alang kepalang kocek negara.

Seperti kata Deng Xiao Ping, pemerintah bukan cuma perlu memasang sistem, 
tetapi juga sistemnya harus punya kaki. Untuk itu perlu diberi ruang dalam 
hukum ketatanegaraan kita yang memungkinkan dibentuknya superbody lain sebagai 
sebuah "kamar ICU".

Seperti di beberapa negara yang rajin korup, "ICU" dimanajemeni langsung oleh 
presiden. Melihat gejala gemuruh ombak di mulut Presiden, tetapi sayang setiba 
di bawah tinggal riak kalau berhadapan dengan koruptor kelas mamut dan 
mastodon. Kini saatnya di panggung hukum, Presiden perlu meminjam palu.

Miris kita disindir tak tuntas-tuntas memberantas korupsi. Mungkin kita perlu 
menukar jaring lebih kuat dari pukat harimau untuk menjerat lebih banyak 
koruptor bukan saja kelas teri.


Handrawan Nadesul Dokter, Pengasuh Rubrik Kesehatan di Sejumlah Media, Penulis 
Kolom, Buku, dan Puisi


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Has someone you know been affected by illness or disease?
Network for Good is THE place to support health awareness efforts!
http://us.click.yahoo.com/rkgkPB/UOnJAA/Zx0JAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke