MEDIA INDONESIA Selasa, 14 Juni 2005
Krisis Pemimpin Altruis Oleh: Toto Suparto, mahasiswa Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta TRAGEDI busung lapar di beberapa provinsi memberikan pelajaran berharga bagi publik bahwa (1) pemimpin di negeri ini masih menyembah bahasa politik sebagai upaya mempertahankan kepentingan pribadi, dan (2) sebagai rentetannya pemimpin altruis kian langka saja. Pelajaran pertama yang berkaitan dengan bahasa politik bisa disimak dari reaksi sejumlah pemimpin atas istilah busung lapar. Pemimpin mana pun di pelosok negeri ini tentulah tidak akan berdiam diri ketika media memberitakan di daerahnya ditemukan kasus busung lapar. Serta-merta akan ada pelurusan istilah bahwa itu bukanlah busung lapar, tetapi hanya kurang gizi, atau pasok pangan tidak memadai. Pemilihan bahasa itu bukan tanpa alasan. Tatkala mereka mengakui istilah busung lapar, berarti membenarkan keterbelakangan dalam masa kepemimpinannya. Artinya, posisinya sebagai pemimpin terancam. Namanya akan tercoreng saat musim pilkada seperti sekarang ini. Wajar mereka memperjuangkan bahasa yang benar berdasarkan versi mereka. Setidaknya bahasa versi mereka itu terdengar lebih kompromis di publik atau calon potensial pemilih. Publik pun diharap lebih memahami ketika mendengarkan istilah kurang gizi ketimbang busung lapar yang cenderung seperti vonis mematikan. Istilah kurang gizi merupakan bahasa politik yang melindungi kepentingan politik pemimpin bersangkutan. Perjuangan para pemimpin untuk memakai bahasa politik nyaris sebagai sesuatu yang tidak masuk akal, mengada-ada, dan tidak pada tempatnya. Ternyata ini memang ciri khas pemimpin di negeri ini. Antropolog Clifford Geertz puluhan tahun lalu sudah mengamati apa yang disebut bahasa politik. Paling tidak dia memperoleh gambaran bahwa ketidakmasukakalan itu merupakan kepanikan pemimpin negara karena gagal menanggulangi masalah-masalah demografi, ekonomi, sosial, dan politik (Geertz dalam Anderson, 1990). Kemudian dipadu dengan gambaran dari sejarawan Herbert Luethy, sampailah pada kesimpulan Benedict R. O'G Anderson bahwa keduanya (Geertz dan Anderson) melihat bahasa politik Indonesia sebagai tanda atau cerminan dari penyakit yang mendalam. Ketiga pemikir itu tidak gamblang menyebutkan penyakit dimaksud. Namun, mereka menyebut-nyebut sebagai bagian dari krisis budaya. Barangkali kalau ditarik ke era sekarang ini, penyakit itu sesungguhnya berupa "ketakutan atas kehilangan kursi kekuasaan" yang telah dinikmati para pemimpin negara. Dalam taraf ini maka pemimpin bersangkutan telah terperangkap penyakit egois. Keniscayaan manusia Kecurigaan terhadap penyakit egois itu bisa ditangkap dari permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam suatu acara resmi Rabu (8/6). Ia meminta para pejabat pemerintah agar lebih sering turun ke lapangan untuk melihat kehidupan nyata masyarakat di pelosok negeri yang menjadi kantong kemiskinan. Para pejabat diimbau untuk tidak terlena di ruang berpendingin atau ruang rapat mewah. Hakikatnya para pejabat diharapkan lebih mau memerhatikan orang lain ketimbang dirinya sendiri. Permintaan itu mengejutkan, karena jika ditelaah dengan bahasa terbalik, Presiden pada dasarnya ingin mengungkapkan pejabat atau para pemimpin di negeri ini tengah mengidap penyakit egois. Memang di mata filsuf moral, terutama Hobessian, manusia secara niscaya adalah egois, dan tidak pernah bertindak kecuali demi kepentingannya sendiri. Namun, segera diluruskan oleh filsuf lainnya, jika setiap orang egois maka perhatiannya untuk orang lain berakhir dengan kematian. Di sinilah dipertentangkan egois versus altruis. Pertentangan ini berangkat dari kontroversi abadi antara egoisme dan altruisme, walau ada juga yang mengoreksi sebagai paham yang keliru. Paham yang berpijak pada asumsi salah, yang menempatkan kedua pihak harus berlawanan. Dalam konteks tulisan ini, pertentangan yang dimunculkan adalah dalam pengertian belaka. Egois lebih mengacu kepada kepentingan diri sendiri, dan altruis bertindak semata-mata kepentingan orang lain. Dari pengertian ini dapat dilihat bahwa fakta sebagian besar pemimpin di negeri ini adalah egois, dan sangat jarang ditemukan pemimpin altruis. Kalau saja pemimpin di negeri ini bersikap altruis, setidaknya mereka akan tahu seluk beluk orang lain, terutama rakyat yang dipimpinnya. Mereka akan tahu persis kemiskinan di wilayahnya dan sesegera mungkin mengambil tindakan untuk bisa mengatasinya. Tak perlu ada "kecolongan" berupa tragedi busung lapar, yang justru mencoreng jejak rekam kepemimpinannya. Menjaga keseimbangan Tentu saja kalau ditimbang-timbang, seseorang tidak mungkin menjadi altruis sejati. Pemikir Ayn Rand melihat etika altruisme sebagai gagasan yang sama sekali destruktif dan mengantarkan pada suatu penyangkalan nilai individu. Sebab altruisme, kata Rand, mengajarkan hidupmu merupakan sesuatu yang hanya dapat dikorbankan. Kepedulian utama bukanlah menghayati hidupnya, melainkan bagaimana mengorbankan hidupnya itu (Rachels, 2003). Mana ada pemimpin yang total mengorbankan hidupnya demi kemajuan rakyat? Sebaliknya menjadi egois sejati juga berdampak buruk bagi kebanyakan orang. Sebab egoisme akan membiarkan setiap orang memandang hidupnya sendiri sebagai nilai tertinggi. Mereka berpandangan, memedulikan orang lain merupakan gangguan yang ofensif terhadap urusan pribadi orang lain. Celakanya di negeri ini justru lebih kepada pemikiran Rand. Banyak pemimpin yang memandang "hidupnya sendiri sebagai nilai tertinggi". Mereka tidak mau kekuasaannya terjengkang gara-gara diserang media yang mengabaikan bahasa politik. Mereka lebih asyik di ruang berpendingin atau ruang rapat mewah sambil mengatur strategi demi kelanggengan kekuasaannya. Mereka tidak bergeser kepada altruis, atau setidak-tidaknya menjaga keseimbangan egois dan altruis. Rachels pula yang menekankan moralitas menuntut supaya menyeimbangkan kepentingan diri sendiri dengan kepentingan yang lain. Merujuk pada penekanan Rachels itu maka akan sampai pada satu kesimpulan, bahwa pemimpin egois menyalahi moralitas dimaksud. Pemimpin itu menjadi ideal (secara moral) jika mau melakukan 'rekonsiliasi' egoisme dan altruisme. Herbert Spencer menekankan sejak awal kehidupan egoisme itu tergantung altruisme, demikian juga altruisme bergantung pada egoisme. Salah sekali jika seorang pemimpin tetap merawat egoismenya.*** [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> What would our lives be like without music, dance, and theater? Donate or volunteer in the arts today at Network for Good! http://us.click.yahoo.com/pkgkPB/SOnJAA/Zx0JAA/uTGrlB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/