SUARA KARYA

Risiko Melawan Pemberantasan Korupsi
Oleh Abdul Haris 


Selasa, 14 Juni 2005
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan, pihaknya memiliki fakta 
tentang adanya gerakan untuk melawan upaya pemerintah dalam pemberantasan 
korupsi. Upaya perlawanan itu dilakukan oleh mereka yang kepentingannya 
terjamah atau terganggu. "Mereka adalah para penyelenggara negara dan aparat 
birokrasi serta pengusaha yang terbiasa melakukan kolusi dan korupsi. Namun 
mengingat upaya besar ini sudah menjadi amanat rakyat, maka pemberantasan 
korupsi tidak bisa dihentikan." (Kompas 8/6/2005). 

Dari pelaksanaan pemerintahan selama ini bangsa kita memang sangat direpotkan 
dengan adanya masalah korupsi yang sangat akut. Ibu Pertiwi menangis dengan 
merebaknya korupsi yang makin meluas dan tidak terkendali. Bahkan institusi 
yang baru dibentuk (semacam komisi atau dewan) selama ini juga tidak bisa 
terbebas dari praktik kolusi dan korupsi, yang tadinya ingin diminimalisasikan 
dalam pemerintahan yang semakin demokratis dan transparan sekarang ini. 

Kalau diperhatikan perkembangan korupsi di Indonesia maka terlihat trend yang 
berbeda-beda yang mana dulu terjadi korupsi pada kalangan tertentu, misalnya, 
hanya di lingkungan orang yang sangat dekat dengan kekuasaan papan atas di 
negeri ini beserta kroni-kroniya. Ini terjadi diduga terkait dengan sistem 
pemerintahan yang otoriter dan sentralistis. 

Namun setelah itu, kasus korupsi berkembang ke kalangan kekuasaan yang lebih 
luas, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Yang ini diduga karena terkait 
dengan perubahan paradigma pemerintahan dari otoriter sentralistis ke 
demokratis desentralistis. Sehingga, pada masa ini kita perhatikan adanya 
perkembangan praktik dan symptom korupsi yang lebih masif dan berbahaya, 
sehingga muncullah kasus-kasus korupsi pada lembaga atau instansi pemerintahan 
pusat maupun daerah (lembaga eksekutif), lembaga legislatif pusat dan daerah 
(DPR/DPRD), lembaga yudikatif (yang juga tidak bebas dari praktik korupsi), 
BUMN, swasta (perusahaan rekanan yang terlibat korupsi, perusahaan penerima 
kredit macet), dan bahkan lembaga swadaya masyarakat atau organisasi non 
pemerintah (LSM/ Ornop). 

Selama ini (sebelum era pemerintahan SBY) orang menyebut bahwa praktik korupsi 
"ibarat orang kentut" manakala baunya tercium tetapi bentuknya tidak kelihatan 
dan tidak diketahui sumber kentut tersebut. Dengan kata lain kejadian korupsi 
dapat dirasakan masyarakat tetapi korupsinya sendiri tidak kelihatan dan 
orangnya tidak dapat dibuktikan sebagai koruptor. Masyarakat hanya dapat 
mengelus dada karena mereka merasa bahwa uang negara (yang mana masyarakat 
sebagai salah satu elemen negara) hilang tidak karuan dengan tidak melihat 
hasil konkretnya buat negara dan masyarakat khususnya. 

Namun pada masa pemerintahan baru di bawah pimpinan Presiden SBY yang mempunyai 
komitmen kuat untuk memberantas korupsi, telah terjadi perubahan yang sangat 
signifikan, manakala sudah banyak kasus korupsi berhasil diungkap. Sebut saja, 
kasus aktual seperti dugaan praktik korupsi di KPU (Komisi Pemilihan Umum), 
Bank Mandiri, dan Maspion. Belakangan ini malah terungkap pula kasus dugaan 
korupsi yang merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah di kalangan lembaga 
penegak hukum Polri lewat dugaan penggelembungan (mark-up) anggaran pengadaan 
jaringan radio komunikasi (jarkom) dan alat komunikasi (alkom). 

Sebelumnya juga telah terungkap kasus "korupsi berjamaah" dari beberapa DPRD 
provinsi dan kabupaten/kota. Kasus yang akhirnya sampai kepada proses 
penyelidikan dan penyidikan tersebut akhirnya menghasilkan beberapa "tersangka" 
dari anggota DPRD yang terhormat di wilayah bersangkutan. Begitu juga dengan 
adanya proses hukum bagi kepala daerah, baik gubernur, bupati, walikota, maupun 
wakil walikota yang diduga terlibat korupsi. Kini, sudah ada kepala daerah yang 
divonis hukuman penjara. 

Sejalan dengan kecenderungan perkembangan korupsi di Republik ini, maka kita 
dapat mengacu kepada prognosis korupsi yang dibuat Syed Hussein Alatas (1968) 
bahwa penyakit korupsi akan melalui tahap: (1) terbatas; (2) meluas; dan 
akhirnya (3) menghancurkan masyarakat di mana para koruptor itu ada di 
dalamnya. Dan, bahkan pada tahun 1967 almarhum Jenderal (Purn) Abdul Haris 
Nasution, yang mulai mengkhawatirkan perkembangan korupsi di Indonesia, sudah 
mengingatkan, jika korupsi terus dibiarkan akan berbahaya bagi masa depan 
bangsa. (Prof Satjipto Rahardjo). 

Ternyata prognosis itu menjadi kenyataan dan itulah yang kita alami kini. Kita 
telah memasuki tahap kedua dari ramalan itu, korupsi sudah meluas (widely 
spreaded-out, depply rooted) di kalangan instansi pemerintah dan lembaga 
legislatif, baik pusat maupun daerah (DPR/DPRD). Kemudian telah merambah pula 
ke lembaga yudikatif, kalangan BUMN, swasta, bahkan komisi-komisi yang dibentuk 
secara khusus. 

Oleh karena itu, jika pada tahap ini gagal dihentikan karena adanya gerakan 
melawan pemberantasan korupsi tersebut, maka keruntuhan masyarakat Indonesia 
terbentang di depan mata. Pada tahap itu korupsi menyebabkan masyarakat 
melakukan "bunuh diri" (self-destruction) dan para koruptor yang ada di 
dalamnya akan turut tergilas. Dalam hal ini korupsi juga akan membahayakan 
koruptor itu sendiri, tetapi sebagian di antara mereka tidak sadar atau 
pura-pura tidak sadar. 

Bukankah sang koruptor yang terbukti melakukan perbuatan tidak terpuji itu akan 
mendapat hukuman atau vonis berupa tahanan penjara dan ada yang harus 
mengembalikan uang hasil korupsinya? Dengan demikian tentunya sang koruptor 
akan kehilangan kebebasan hidup, jabatan, harta, nama baik, keluarga 
(terbatas/terputus hubungan dengan keluarga), dan lain-lain. 

Dari berbagai kasus korupsi yang berhasil diungkap pada masa pemerintahan 
sekarang ini, ternyata khusus untuk dugaan kasus korupsi di KPU, ada fenomena 
menarik yang perlu kita cermati sekaligus dapat kita ambil hikmahnya. Ini 
mengingat lembaga KPU merupakan lembaga terhormat yang sangat diharapkan 
masyarakat untuk dapat bekerja secara bersih dan profesional. Betapa tidak, 
lembaga tersebut akan sangat menentukan perkembangan pemerintahan dan politik 
di negeri ini, karena konsep dan keputusannya akan sangat menentukan proses 
pemilihan presiden/wapres, gubernur, dan bupati/walikota. Kemudian dari segi 
SDM-nya, KPU diisi dengan orang-orang yang sebelumnya dianggap kredibel dan 
memiliki integritas tinggi. 

Namun, kenyataan berbicara lain. Ini setelah terkuak dugaan korupsi di KPU, 
bermula lewat kasus penyuapan salah terhadap seorang auditor BPK oleh salah 
seorang personil KPU. Tetapi akhirnya, sedikit demi sedikit apa yang sebenarnya 
terjadi di KPU semakin terbuka. Beberapa anggota KPU pun, kini telah ditahan 
dan atau menjadi tersangka. Namun ternyata yang terlibat tidak hanya lembaga 
dan personil KPU tetapi diduga juga menyangkut oknum BPK, oknum Direktorat 
Jenderal Anggaran Departemen Keuangan, oknum swasta (perusahaan rekanan) dan 
bahkan oknum anggota DPR yang terhormat juga sempat disebut-sebut disebut-sebut 
namanya ikut terlibat dalam praktik kasus korupsi di KPU. 

Pelajaran menarik yang dapat ditarik di sini adalah bahwa korupsiberjalan 
secara sistematis dan melalui kerja sama beberapa orang dan/atau lembaga. Oleh 
karena itu, pemberantasan korupsi yang dijalankan saat ini juga harus 
sistematis dan mampu menjangkau seluruh lembaga yang terlibat. Melihat fenomena 
tersebut tidak dapat ditawar lagi bagi pemerintahan saat ini, untuk segera 
menghentikan meluasnya praktik korupsi, baik di lembaga eksekutif, legislatif, 
yudikatif, swasta, LSM, maupun masyarakat sendiri. 

Pada awal masa pemerintahan SBY telah dimulai "shock theraphy" (therapi kejut) 
dengan memroses secara hukum beberapa orang penting yang diduga terlibat 
korupsi. Saat ini bahkan sudah ada yang sampai kepada keputusan hukuman 
penjara. Proses ini terus berlanjut sebagaimana kita amati saat ini. Banyak 
orang-orang penting diperiksa karena diduga terlibat kasus korupsi, baik dari 
kalangan pemerintahan, BUMN, swasta, komisi-komisi (seperti KPU), maupun para 
anggota dewan yang terhormat (DPRD). Namun, bagaimana dengan DPR? 

Yang kita harapkan, semua upaya tersebut akan terus berlanjut. Namun tentu, 
dengan itu saja tidak cukup. Hendaknya perlu dipikirkan pula prinsip "hanya 
sapu bersih yang dapat membersihkan". Implikasi prinsip tersebut adalah bahwa 
untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya, maka perlu dilakukan 
pe-non-aktifan atau bahkan pemberhentian orang-orang yang diduga terlibat 
korupsi tersebut. Dan, pada saat yang bersamaan perlu dicarikan orang-orang 
yang masih tergolong bersih dari praktik korupsi dan menempatkannya pada posisi 
yang sesuai. Kenapa diperlukan orang-orang yang bersih? Karena, selama ini 
orang-orang seperti itu biasanya terpinggirkan atau bahkan bisa dipinggirkan 
dari posisi-posisi penting dan bahkan bisa dikucilkan dari pergaulan dan 
kelompok-kelompok yang dikenal korup karena tidak sesuai dengan "aliran" 
mereka. *** 

(Ir Abdul Haris, MPM, Kepala Subdit Pertanahan Bappenas,
alumnus Heinz School of Public Policy and Management, Carnegie Mellon 
University, Pennsylvania, AS).

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Has someone you know been affected by illness or disease?
Network for Good is THE place to support health awareness efforts!
http://us.click.yahoo.com/rkgkPB/UOnJAA/Zx0JAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke