http://www.suarapembaruan.com/News/2005/06/20/index.html
SUARA PEMBARUAN DAILY Agama, Depag dan Moral-Etik Kekuasaan Muhammad Ja'far TERKUAKNYA indikasi terjadinya tindakan penyimpangan dana sisa penyelenggaraan haji merupakan persoalan yang layak menjadi bahan evaluasi kita terhadap pola pikir dan sikap keberagamaan kita selama ini. Karena bagaimanapun, kasus ini jelas merupakan implementasi tindakan yang jelas bertentangan dengan prinsip dan nilai keberagamaan itu sendiri. Apa yang menjadi penyebab terjadi tindakan-tindakan penyelewengan demikian, tentu harus menjadi fokus kita. Apalagi hal itu terjadi pada sebuah lembaga kenegaraan yang pada dasarnya selalu diharapkan memainkan peran penting sebagai pilar penegakan moralitas dan etika berkekuasaan. Secara umum, terjadinya tindakan penyelewengan dana atau dalam skala yang lebih besar korupsi pada Departemen Agama (Depag), tak dapat dilepaskan dari konteks persoalan global yang dihadapi juga oleh berbagai lembaga dan institusi kenegaraan di Indonesia saat ini. Tindakan korupsi, merupakan salah satu problem mendasar negara ini. Dan, pengungkapan kasus serupa di Depag, merupakan salah satu bagian dari realisasi agenda pemerintah untuk melakukan pemberantasan tindakan korupsi. Terkuaknya kasus demikian yang terjadi di Depag, harus ditempatkan dan dipahami dalam konteks ini. Walaupun, tentu sesuatu yang amat disayangkan bahwa praktik yang terjadi di beberapa institusi negara ini, juga terjadi pada sebuah lembaga kenegaraan yang mewenangi persoalan agama, yang notabene tentu tidak dapat dilepaskan dari persoalan moralitas dan etika kekuasaan. Salah satunya dalam memikul dan menjalankan politik kekuasaan yang tak lain merupakan tanggung jawab yang diamanatkan pada para wakil rakyat. Disimak dari perspektif ini, tentu sangat disayangkan bahwa lembaga Depag juga dililit oleh problem penyalahgunaan kekuasaan. Sebab, justru lembaga inilah yang diharapkan mampu memberikan contoh dan menjadi profile positif 'sehatnya' sebuah lembaga kenegaraan. Namun, hal ini tidak lantas membolehkan kita untuk melakukan penilaian secara parsial dan sentimentil dalam menanggapi masalah ini. Sebab secara umum, ini terkait dengan fenomena kenegaraan secara umum, serta pola pikir sikap keberagamaan masyarakat umumnya. Pola Pikir Mayoritas Dalam konteks yang lebih luas, selain terkait dengan kondisi politik kenegaraan Indonesia secara umum, persoalan ini erat terkait dengan pola pikir mayoritas masyarakat kita yang masih terpaku pada pola pikir keagamaan yang menekankan pada aspek formalistik-legalistik. Akibatnya, dimensi sosial sebuah agama, menjadi terbaikan. Padahal, kita tahu bahwa segenap ritual dan seremoni keagamaan selalu memiliki paralelisme dengan élan vital sosial-kemanusiaan. Bahkan, jika kita mengacu pada makna dasar agama itu sendiri, tentu yang menjadi orientasi utama dari kelahiran agama itu tak lain adalah dimensi sosial-kemanusiaan. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, agama kemudian menggunakan dimensi ritual dan seremonial sebagai medianya. Dua hal itu diharapkan mampu menjadi media yang dapat mengasah aspek kognitif dan spiritual para penganutnya. Dengan menjalankan ritual dan seremoni keagamaan, kesadaran manusia diharapkan mampu menembus makna di baliknya, serta tujuan yang hendak diraihnya. Di sisi lain, dua hal itu diharapkan mampu menjadi pisau pengasah dimensi spiritulitas diri individu. Sebab dalam perspektif agama, dimensi spiritual manusia merupakan salah satu aspek penting pada diri manusia yang akan memberikan kontribusi besar pada penciptaan tingkah laku dan sikap kesehariannya. Kelalaian Tapi uniknya, yang kini banyak terjadi justru kelalaian terhadap makna dan fungsi yang ada dibalik sebuah ritual dan seremoni keagamaan. Manusia beragama cenderung terjebak pada penggunaan seremoni dan ritual sebagai sebuah tujuan, bukan media atau alat untuk mencapai tujuan. Akibatnya, dimensi sosial-kemanusiaan yang menjadi makna substansial sebuah ritual dan seremoni keagamaan, menjadi terabaikan. Tujuan sebuah ritual, dalam perspektif seperti ini, dinilai telah tercapai seiring dengan tuntas dilakukannya ritual dan seremoni tersebut. Padahal, sebenarnya tidak demikian. Akibatnya, yang terbentuk kemudian adalah manusia beragama yang berdimensi paradoks: secara ritual mereka saleh, namun tidak secara sosial-kemanusiaan. -------------------------------------------------------------------------------- Last modified: 20/6/05 [Non-text portions of this message have been removed] Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/