MEDIA INDONESIA
Senin, 04 Juli 2005

Antiklimaks Ujian Nasional
Darmaningtyas, pengamat pendidikan, Yogyakarta



HASIL ujian nasional (UN) tahun 2005 yang memperlihatkan angka ketidaklulusan 
cukup tinggi (14% untuk SMP) membuat kaget semua pihak. Pengumuman hasil UN itu 
sekaligus mengundang berbagai komentar. Salah satu komentar itu berasal dari 
Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ia menilai bahwa banyaknya murid yang tidak lulus 
itu menunjukkan mutu pendidikan di Indonesia rendah. Rendahnya mutu pendidikan 
itu selama beberapa tahun terakhir ditutup-tutupi dan dipoles dengan berbagai 
cara.

Secara objektif apa yang dikatakan oleh Jusuf Kalla benar, bahwa selama ini 
(sejak Orde Baru) ada upaya untuk menutupi mutu pendidikan yang rendah dengan 
cara melaksanakan ujian sekolah yang kemudian menghasilkan lulusan 100%. Selama 
masa Orde Baru hampir tidak ada sekolah yang lulus di bawah 95%. Apalagi 
sekolah-sekolah negeri, rata-rata memiliki tingkat kelulusan 100%. Kelulusan di 
bawah 100% hanya terjadi di sekolah-sekolah swasta baru yang ujiannya masih 
menggabung ke sekolah negeri terdekat. Tapi begitu sekolah itu diberi 
kewenangan melaksanakan ujian sekolah sendiri, maka tingkat kelulusannya pun 
naik menjadi 100%. Itu fenomena umum saat itu.

Sebagaimana kita ketahui, sampai dengan tahun 1973 ujian akhir dilaksanakan 
dengan sistem ujian negara. Dan pada saat itu banyak murid yang tidak lulus 
seperti sekarang ini, sehingga ujian negara dianggap sebagai momok. Saya ingat 
betul bahwa paman saya tidak lulus ujian negara di SMP sampai dua kali, baru 
lulus setelah mengikuti ujian sekolah (1974). Tapi mereka yang lulus ujian 
negara pada waktu itu langsung bisa masuk ke sekolah di atasnya tanpa melalui 
tes, persis seperti model ebtanas, di mana danem bisa dijadikan sebagai alat 
untuk mendaftarkan diri masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Oleh karena ujian negara itu dianggap sebagai momok, maka murid pada waktu itu 
sangat rajin belajar mempersiapkan diri menghadapi ujian negara. Tapi begitu 
pemerintah memperkenalkan ujian sekolah dan tingkat kelulusannya mencapai 100% 
semangat belajar itu pun mulai mengendur karena semua memiliki prinsip bahwa 
santai-santai saja pasti lulus kok, mengapa harus belajar keras?

Setelah pelaksanaan ujian sekolah murni ini dinilai tidak mampu mencerminkan 
mutu pendidikan nasional, maka mulai tahun 1985 mulai diperkenalkan dengan 
kebijakan ebtanas (evaluasi belajar tahap akhir nasional) untuk beberapa materi 
pokok dan EBTA (evaluasi belajar tahap akhir) untuk materi penunjang. Ini 
merupakan kebijakan yang sifatnya kombinasi antara ujian negara dan ujian 
sekolah. Ebtanas dimaksudkan untuk menciptakan standardisasi mutu pendidikan 
nasional, sedangkan EBTA dimaksudkan untuk tetap mempertahankan tingkat 
kelulusan yang tinggi. Sehingga yang terjadi kemudian adalah mereka yang 
memiliki NEM (nilai ebtanas murni) rendah pun bisa lulus, tapi tidak bisa 
melanjutkan ke sekolah negeri (yang bermutu), mereka hanya bisa bersekolah ke 
sekolah-sekolah pinggiran.

Tapi kebijakan ebtanas itu menuai kritik tajam karena dinilai mendistorsi mutu 
pendidikan nasional. Mutu pendidikan nasional hanya dilihat berdasarkan besaran 
NEM saja. Sekolah yang selalu memperoleh NEM tertinggi dinilai sebagai sekolah 
paling bermutu. Orientasi pembelajaran pun kemudian diarahkan untuk mengejar 
NEM, sehingga setelah reformasi ebtanas SD itu dihilangkan, sedangkan untuk SMP 
- SMTA (SMA dan SMK) diganti dengan ujian akhir nasional (UAN), dan ganti lagi 
menjadi ujian nasional (UN). Tapi penghapusan ebtanas SD tidak memperjelas 
proses evaluasi di SD dan penerimaan murid baru di SMP, sedangkan pergantian 
nama dari ebtanas ke UAN terus ke UN untuk SMP dan SMTA tidak mengubah 
substansi sedikit pun. Mengapa harus ganti istilah bila tidak mengubah 
substansi apa-apa? Itulah pertanyaan besar kita.

Tampaknya para pengambil kebijakan memang berada dalam situasi panik untuk 
menentukan jenis evaluasi akhir yang cocok untuk diterapkan. Ujung-ujungnya 
mereka kembali pada sistem lama dengan sedikit modifikasi berupa batas kriteria 
kelulusan. Tapi mereka mengabaikan sejarah sehingga pada waktu sosialisasi 
tidak pernah menyebutkan bahwa kebijakan ini sudah pernah diterapkan pada masa 
lalu, jadi warga tidak perlu panik. Mungkin reaksi masyarakat akan berbeda bila 
sejak awal disebutkan track record dari ujian negara yang dulu juga berdampak 
pada banyaknya murid tidak lulus. Masyarakat juga tidak pernah melihat sejarah 
ini sehingga menjadi tercengang dengan kenyataan hasil ujian nasional sekarang 
ini, padahal semuanya normal saja.

Menurut hemat saya, besarnya ketidaklulusan yang dicapai sekarang ini adalah 
wajar dan tidak mengagetkan. Disebut wajar karena mempunyai beberapa alasan: 
Pertama, UN itu merupakan kebijakan yang kontroversial. Para guru dengan 
berpedoman pada Pasal 58 UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 
bersikukuh bahwa mengevaluasi hasil proses belajar adalah wewenangnya. Tapi 
pemerintah mengatakan itu wewenang negara. Oleh karena kontroversial, maka ada 
guru yang menyiapkan muridnya untuk menghadapi UN secara sungguh-sungguh, tapi 
banyak pula yang bersikap tidak acuh, sehingga tidak menyiapkan murid secara 
sungguh-sungguh untuk menghadapi UN. Wajar bila kemudian hasilnya jelek.

Kedua, wajar bila banyak yang tidak lulus karena standar kelulusannya dinaikkan 
menjadi 4,25 dari tahun 2004 yang hanya 4,1. Dan terbukti di antara sekolah 
yang memiliki angka ketidaklulusan 100% terjadi pada sekolah-sekolah swasta 
kecil yang dapat dipastikan input-nya jelek dan proses belajar mengajarnya pun 
buruk. Angka terjelek juga terjadi pada sekolah-sekolah di luar Jawa dan itu 
adalah wajar pula karena mereka dihadapkan pada keterbatasan infrastruktur 
maupun lingkungan sosial dan budaya yang kurang mendukung.

Ketiga, wajar bila banyak yang tidak lulus karena di satu pihak mulai tahun 
ajaran 2004/2005 beberapa daerah sudah menjalankan KBK (kurikulum berbasis 
kompetensi) yang menuntut pendalaman materi secara tuntas, tapi di lain pihak 
UN mendasarkan pada pencapaian target kurikulum. Model evaluasi KBK itu 
bertolak belakang dengan UN. Evaluasi KBK lebih individual, sedangkan UN 
bersifat kolektif. Jadi logis bila banyak yang tidak lulus karena proses yang 
dilalui dengan alat evaluasinya tidak ketemu.

Lalu bagaimana? Saya konsisten dengan pendapat saya setahun lalu bahwa UN 
memang tidak diperlukan lagi. Bila pemerintah mau memetakan mutu pendidikan 
nasional lebih baik mengetrapkan model tes diagnostik seperti yang dilakukan 
oleh Menteri P dan K Daoed Joesoef pada saat pertama kali menjabat Menteri P 
dan K (1978). Tes itu sifatnya betul-betul hanya untuk mendiagnosis kemampuan 
murid, sekolah, dan daerah; dan berdasarkan hasil tes itulah kemudian dilakukan 
terapi khusus bagi sekolah-sekolah yang hasil tes diagnostiknya jelek. Tes 
diagnosis ini tidak harus dijalankan setiap tahun, tapi cukup satu kali dalam 
dua tahun. Kebijakan UN ini rancu karena tidak memberikan kepastian kepada 
murid yang gagal. Sebagai contoh, murid yang tidak lulus ujian pertama dapat 
mendaftar menjadi murid baru ke jenjang yang lebih tinggi, tapi bila ujian 
ulangan (Agustus) mereka tidak lulus lagi, maka harus berhenti. Kebijakan ini 
jelas tidak memberikan kepastian bagi murid.***

[Non-text portions of this message have been removed]



Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to