MEDIA INDONESIA
Selasa, 05 Juli 2005

Mencari Akar Demokrasi di Indonesia
Taufiq Hidayat, mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UI/mantan Ketua Umum PB 
HMI, Jakarta



LEPAS apakah kita setuju atau tidak, masyarakat Amerika Serikat sangat bangga 
dengan demokrasi yang mereka praktikkan. Kecuali itu, sejumlah negara telah 
menjadikan praktik demokrasi di negeri Paman Sam itu sebagai patokan. Salah 
satu ciri demokrasi di AS, seperti dikatakan Michael Ignatieff dalam 
Republicanism, Etnicity and Nationalism, adalah tradisi republikan.

Tesis Michael Ignatieff itu tidak hanya bermanfaat untuk membedah praktik 
politik di AS, tetapi juga dapat digunakan sebagai alat untuk menilai 
perkembangan demokrasi di Indonesia. Dalam salah bukunya ia mengajukan 
pertanyaan, ''Mungkinkah republikanisme diterapkan di negara bekas komunis yang 
memiliki kondisi etnis, tradisi civil society dan latar belakang sejarah 
politik berbeda dibandingkan dengan Amerika Serikat?''

Meskipun pertanyaan Ignatieff ini kental nuansa Amerika sesuai latar belakang 
kehidupannya, tetap saja relevan digunakan sebagai analisis atas kondisi 
Indonesia atau negara-negara di luar AS. Ignatieff memproyeksikan jawabannya 
pada apa yang terjadi di dalam masyarakat bekas Uni Soviet. Kini kita ketahui 
sebagian besar negara-negara tersebut berusaha memeluk sistem demokrasi, 
seperti di Amerika Serikat.

Dalam hubungan inilah, saya menganggap penting pertanyaan Ignatieff di atas. 
Bukan saja untuk menjawab apakah demokrasi applicable secara universal, 
melainkan juga apakah penerapan sistem tersebut justru memberi kesempatan hal 
yang sebaliknya dari asumsi-asumsi dasar yang selama ini diyakini banyak orang.

Sebabnya adalah karena kesimpulan Ignatieff sangat mengejutkan. Ketika sistem 
demokrasi diterapkan di negara-negara tersebut, kecuali yang berlaku di 
Republik Chehnya dan Slovenia, justru mengalami kegagalan. Masyarakat di 
negara-negara tersebut tidak hanya menjadi korban toleransi multietnik, tetapi 
juga menjadi korban demokrasi itu sendiri.

Kroasia di bawah Franco Tujman misalnya, yang sejatinya bersifat autorian dan 
oligarkis, justru mendapatkan keuntungan dengan penerapan sistem demokrasi. 
Dengan kekuasaan yang telah mereka miliki sebelumnya, para elite lama tersebut 
bangkit dan kembali berkuasa melalui sebuah sistem pemilihan umum. Dengan 
demikian, sistem demokrasi yang diterapkan itu malah meratifikasi sistem 
kediktatorannya. Kenyataan tak berbeda diperlihatkan Serbia di bawah Milosevic.

Di negeri yang penguasanya membantai kaum muslim Bosnia ini telah menggunakan 
sistem demokrasi bukan saja untuk mengawetkan oligarki, melainkan juga alat 
penghisap keuntungan dalam transisi menuju kapitalisme. Dengan demikian pada 
kasus kedua negara di atas, sistem demokrasi bukan sebagai landasan untuk 
mengembangkan kewarganegaraan, tetapi untuk menopang rezim populisme 
otoritarian.

Kenyataan ini berimplikasi lebih jauh. Di lapangan ekonomi, rezim-rezim yang 
muncul melalui sistem demokrasi tersebut melakukan eksploitasi sumber daya 
secara monopolistik. Ini terjadi karena implementasi konsep pasar bebas, yang 
menjadi ciri sistem demokrasi, di negara-negara tersebut tak disertai institusi 
pengaman berupa aturan hukum yang jelas, perimbangan kekuatan pengontrol, 
pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

***
Menyikapi realitas yang disimpulkan Ignatieff di atas, maka persoalan yang sama 
bisa kita agendakan pada realitas Indonesia, yang sejak kemerdekaannya telah 
menyatakan diri sebagai republik. Jika pada negara-negara bekas komunis di 
Eropa Timur disimpulkan telah gagal menerapkan sistem demokrasi, bagaimana 
kenyataan yang sama harus kita lihat di negeri kita?

Untuk ini kita harus melihat aspek sejarah dan multietnik yang mewarnai 
Nusantara. Secara ringkas bisa kita katakan bahwa sejarah Indonesia tak hanya 
ditandai oleh kebangkitan etnik Jawa. Sebab, etnik-etnik lain, seperti 
Minangkabau, Bugis, Makassar, Aceh, Batak dan lain sebagainya telah pula 
berkembang pada taraf tertentu.

Seperti kita ketahui, lokasi geografis tempat masing-masing etnik Indonesia 
tumbuh, telah pula berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan. Andaikata tanpa 
interupsi sejarah, perkembangan pusat-pusat perdagangan tersebut akan bermuara 
pada pertumbuhan kota dan peradaban modern. Persoalannya adalah garis sejarah 
menorehkan sesuatu yang berbeda.

Kolonialisme Belanda telah memberangus potensi peradaban modern yang 
cikal-bakalnya di daerah tersebut sedang tumbuh. Melalui politik devide et 
empera, kolonial Belanda berhasil menceraiberaikan potensi kekuatan Nusantara 
yang ditandai oleh berbagai konflik yang tak hanya terjadi antaretnik, 
melainkan juga antara penguasa tradisional dan rakyatnya. Hasilnya adalah 
sesuai dengan desain kolonial, masyarakat Indonesia semakin terpolarisasi.

Hal yang membuat keadaan lebih buruk adalah bahwa kolonial Belanda tidak 
membuat proses modernisasi masif dalam perihal peradaban. Kota-kota modern, 
secara fisik memang bertumbuh pesat di bawah pemerintahan mereka. Tetapi semua 
itu bukan bertujuan peradaban, melainkan untuk kepentingan ekonomis.

Sementara apa yang dilakukan kolonial Belanda adalah justru meminjam peradaban 
kita untuk berkuasa. Dengan memanfaatkan feodalisme raja dan elite tradisional, 
kolonial Belanda berusaha memerintah tanpa langsung bersentuhan dengan rakyat 
kebanyakan. Dalam sejarah, kebijakan ini disebut dengan indirect rule. Kolonial 
Belanda bukannya menghapus feodalisme, melainkan memperbaharui dan 
menyegarkannya kepada penguasa tradisional. Sementara mereka sendiri bertindak 
atau memerintah di atas penguasa-penguasa tradisional tersebut.

Sebagai akibatnya, kecuali diperoleh segelintir anak-anak elite tradisional, 
masyarakat Indonesia secara keseluruhan tak berkesempatan mengalami proses 
'pencerahan peradaban' di bawah sistem kolonial Belanda. Hal ini berlanjut 
ketika Jepang menjajah Indonesia.

Dalam keadaan absennya tradisi peradaban modern dan demokrasi inilah pertanyaan 
Ignatieff di atas bergema. Sebab di masa kemerdekaan, sejarah politik kita 
didominasi tokoh-tokoh besar, Soekarno dan Soeharto yang tak mempunyai tradisi 
demokrasi. Karena itu feodalisme bukan saja diawetkan, melainkan justru kian 
berkembang, kendati pun kolonialisme telah berakhir selama lebih dari setengah 
abad.

Kehidupan politik pasca-Soeharto yang sering disebut masa reformasi 
sesungguhnya ditandai oleh kemunculan tokoh-tokoh politik 'populis'. Seperti 
Megawati Soekarnoputri dan Abdurrahman Wahid.

Kedua tokoh ini sengaja kita jadikan contoh untuk mengelaborasi pertanyaan 
Ignatieff di atas. Sebabnya adalah karena kedua tokoh ini mempunyai pengikut 
yang sangat besar, di samping keduanya telah melampaui masa kepresidenan.

Merekalah yang sesungguhnya bisa memainkan peranan besar dalam proses 
demokratisasi di Indonesia justru ketika mereka telah berada di luar negara. 
Dalam posisi ini, terlepas dari perdebatan teoritis, mereka bisa memperkuat apa 
yang disebut civil society. Namun, harapan ini masih menggelantung dalam bentuk 
pertanyaan besar. Bersama Ignatieff yang menggelar pertanyaan kemungkinan 
demokrasi bisa dikembangkan di negara-negara bekas komunis, kita juga bisa 
bertanya tentang nasib demokrasi di Indonesia. Apakah di dalam sejarah dan 
praktik tokoh-tokoh politik Indonesia dewasa ini punya akar tradisi 
demokrasi?***

[Non-text portions of this message have been removed]



Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke