http://www.kompas.com/kompas-cetak/0507/06/opini/1868350.htm
Harapan bagi Kekuasaan Kehakiman Oleh: H BENJAMIN MANGKOEDILAGA Nuansa penegakan hukum di Indonesia akhir-akhir ini diwarnai mulai dari telah terpilihnya tujuh anggota Komisi Yudisial, putusan bebas Nurdin Halid, sampai dengan dikuranginya masa hukuman Tommy Soeharto dalam rangka pengajuan PK-nya. Dalam rangka terpilihnya tujuh anggota Komisi Yudisial, kita semua hanya berharap komisi ini baru dapat berfungsi beberapa lama waktu lagi ke depan karena komisi ini terlebih dahulu harus dilengkapi dengan sarana kesekretariatan yang canggih, sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni, dan tata cara kerja yang baku. Terhadap putusan Nurdin Halid dan ringannya hukuman terhadap Adiguna Sutowo, saya sepenuhnya menyetujui pendapat dari Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh bahwasanya sandiwara belum selesai dan masih ada upaya hukum seterusnya. Terhadap putusan PK Tommy Soeharto, kiranya reaksi dan silang pendapat akan berjalan terus sampai munculnya kembali suatu kasus hukum yang lebih dahsyat! Saya sepenuhnya sependapat dengan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan mengenai tercoreng-morengnya lembaga peradilan setelah terkuaknya sejumlah uang Rp 250 juta di areal kepaniteraan Pengadilan Tinggi Jakarta dalam kasus Abdullah Puteh. Memang jumlah uang sebesar itu atau mungkin lebih lagi di areal gedung peradilan merupakan hal yang harus dianggap biasa kalau terkait dengan eksekusi pengadilan. Namun, itu pun layaknya terdapat pada pengadilan tingkat pertama di mana sesuai dengan ketentuan eksekusi dilaksanakan di bawah ketua pengadilan di mana perkara itu ditangani dan diputus. Bahwasanya ini terjadi di areal kepaniteraan pengadilan tinggi adalah suatu hal yang ganjil, patut dipertanyakan, patut dilacak, dan dituntaskan penyelesaiannya. Dalam rangka peperangan terhadap korupsi yang genderang perangnya telah dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seyogianya para hakim yang berada di lapangan berperan sebagai the queen of the battle field atau kalau menyitir ucapan HR Dharsono (alm) yang menyatakan bahwa "a duty of a soldier is to make the mission of his officer's success!" Para hakim yang berada di lapangan seyogianya membuat apa yang dicanangkan oleh Presiden Yudhoyono dapat tercapai. Untuk itu, para hakim harus profesional, berani menyatakan salah adalah salah, yang benar adalah benar, atau berani menyatakan merah adalah merah, putih adalah putih, demi merah putihnya republik dengan membuang jauh-jauh aroma yang miring yang masih sering tercium. Lesu darah Memang gaung pemberantasan antikorupsi terasa masih kurang menyentuh Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi). Sebagai salah satu organisasi para hakim masih terasa lambat langkahnya dibandingkan dengan langkah-langkah yang telah diambil pengurus Kadin, Nahdlatul Ulama, maupun Muhammadiyah yang telah sejak lama pernah mengikrarkan tekadnya untuk aktif dalam pemberantasan korupsi. Organisasi Ikahi seolah-olah telah kehilangan jati dirinya sebagai suatu organisasi perjuangan seperti terasa pada awal-awal pembentukannya dahulu pada masa kepemimpinan Asikin Kusumaatmadja. Pada periode itu, organisasi bergema mulai dari nilai perjuangan hingga pembentukan direktorat jenderal tersendiri yang mengurus administrasi keuangan secara tersendiri sampai dengan terbentuknya direktorat tersendiri pada Departemen Kehakiman, perbaikan gaji dan kesejahteraan hakim, sampai dengan menurunkan seorang Ketua MA dari jabatannya. Organisasi ini gaungnya memang tidak terdengar lagi, terutama pada saat persoalan yang menyangkut masa depan para hakim itu timbul. Ikahi tidak pernah menyuarakan profil-profil hakim agung, Ketua MA yang bagaimana, calon Komisi Yudisial bagaimana, yang menjadi ukuran atau solusi dalam rangka memberantas korupsi dan menaikkan citra kekuasaan kehakiman kita. Tiadanya gaung itulah yang mungkin menyebabkan keadaan kekuasaan kehakiman kita pada keadaan sekarang ini lesu darah, tanpa gairah. Mutu akademis hakim Suatu hal yang menggembirakan adalah makin banyaknya SDM kekuasaan kehakiman, mulai dari hakim tingkat pertama sampai dengan hakim agung, yang memperoleh kesempatan untuk meningkatkan mutu akademisnya, mengikuti program- program S2 dan S3 ilmu hukum pada berbagai program pascasarjana di berbagai perguruan tinggi. Kemudian banyaknya sponsor yang membiayai program-program untuk meluaskan wawasan maupun pendalaman materi hukum pada masa akhir-akhir ini telah pula dilaksanakan, baik dalam bentuk mengikuti seminar- seminar, mengikuti berbagai pertemuan ilmiah, maupun studi perbandingan ke luar negeri. Bagi saya, program-program semacam ini lebih akan bermanfaat bila diperuntukkan bagi para hakim muda atau para hakim tinggi yang masih memiliki masa pengabdian lebih panjang dibandingkan dengan program tersebut diberikan kepada para hakim agung, terutama unsur-unsur pimpinannya. Posisi hakim agung adalah posisi pematangan dan penyebaran ilmu atau pengalaman sesuai dengan jam terbang yang telah dijalaninya. Semua itu diwujudkan melalui putusan-putusan kasasi atau PK yang dikeluarkannya. Jangan lagi sampai terjadi kepergian ke luar negeri, apakah itu untuk studi banding dan sebagainya, diberikan kepada hakim muda kita, tetapi atas biaya sendiri. Ironis jika untuk mendapatkan biaya tersebut para hakim muda tersebut harus melaksanakan perbuatan-perbuatan yang tercela yang dapat mencoreng wajah kekuasaan kehakiman kita pada dewasa ini. H Benjamin Mangkoedilaga Mantan Hakim Agung [Non-text portions of this message have been removed] Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/