sinarharapan.co.id/berita/0507/06/opi02.html


Membangun Teologi Bumi
Oleh MAKSUN

Dalam karya magnum opus-nya, Min al-Aqidah ila al-Tsaurah, Hassan Hanafi, 
menginstruksikan agar kita segera mengubah teologi langit menjadi teologi bumi. 
"Bumi sebagai ruang hunian umat manusia harus selalu menjadi pijakan kita dalam 
beragama. Sebab, Allah bukan hanya Raja di langit melainkan juga di bumi. Allah 
bukan hanya Tuhan para malaikat yang ada di sana, melainkan juga Tuhan umat 
manusia yang ada di sini, di bumi ini", demikian ujar pemikir Muslim 
kontemporer asal Pakistan itu.

Gagasan yang diintrodusir Hasan Hanafi itu tampaknya cukup relevan untuk 
dikedepankan. Sebab, di tengah munculnya beragam problem kemanusiaan dewasa 
ini, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, keterbelakangan, dan 
semacamnya, ternyata agama mengalami semacam disfungsi dan mengidap krisis 
relevansi doktrinal. Agama hanya menjadi atribut kesalehan individual yang 
melangit, dan tidak lagi menjadi suatu kekuatan yang membumi untuk mendorong 
perubahan dan peningkatan kualitas empiris objektif umat manusia. Agama acap 
kali dipolitisir sekadar menjadi corong terselubung bagi penguasa untuk 
kepentingan-kepentingan sesaat. 

Mengapa energi kita selama ini terkuras habis hanya untuk membentengi 
singgasana Tuhan agar tidak terkotori oleh tangan-tangan manusia yang berdosa? 
Bukankah kebesaran Tuhan tidak akan surut sedikit pun dengan dosa-dosa yang 
diperbuat manusia? Tidakkah sikap menjunjung tinggi agama ke atas langit hanya 
akan menjauhkan agama dari kondisi aktual bumi dengan segala problematikanya ? 

Dalam konteks inilah saya mengandaikan sebuah kerangka teologis baru, yakni 
mengonversikan teologi langit menjadi teologi bumi. Sejenis teologi yang 
memberikan perhatian lebih besar terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan. 
Sebuah teologi yang emansipatoris yang memerdekakan rakyat banyak dari 
belenggu-belenggu struktural. Sebuah teologi yang diharapkan bisa menjelaskan 
sekaligus mengadili kondisi-kondisi aktual bumi yang telah melahirkan 
struktur-struktur dehumanisasi, disorientasi, alienasi, dan persoalan HAM 
lainnya.


Kenyataan di Masyarakat 
Teologi bumi, tentu saja, tidak sebagaimana teologi yang berkembang dewasa ini 
yang cenderung ahistoris dan asosiologis, dalam arti terputus dari pengalaman 
historis masyarakat kebanyakan. Karena itu, subjek teologi bumi bukan lagi 
isu-isu yang sangat formalistik dan melangit, yang bertumpu pada seputar 
pertanyaan: apa dan siapakah Tuhan itu, bagaimana bentuk-bentuk artikulasi 
Tuhan terhadap alam semesta dan kehidupan manusia, dan bagaimana pula manusia 
harus berperilaku di hadapan-Nya ? 
Isu-isu di atas merupakan pemikiran teologis tradisional yang terlalu 
teosentris dan melangit, sehingga melupakan kondisi aktual bumi dan aspek-aspek 
antropologis dalam penjelasannya. Dalam teologi Islam, misalnya, teologi 
Wahabisme yang fundamentalistik tanpa disadari telah melegitimasi, membiarkan, 
bahkan melupakan formasi sosial dan struktur-struktur konkrit yang 
eksploatatif. Inilah yang menyebabkan mengapa Islam terkesan antisosial dan 
eksklusif.

Berbeda dengan jenis dan rumusan teologi tradisional yang cenderung 
ngawang-ngawang itu, teologi bumi sebagai teologi alternatif terhadap 
mainstream pemikiran teologis dewasa ini, adalah suatu upaya untuk membumikan 
persepsi ketuhanan dan memasukkannya ke dalam struktur-struktur kelembagaan 
masyarakat serta berbagai pranata sosial-politik-ekonomis yang dialami 
masyarakat. Dengan meminjam istilah 'praksis' ala Juergen Habermas, teologi 
bumi bisa dimaknai sebagai teologi praksis, yakni aktualisasi nilai-nilai inti 
teologi ke dalam kenyataan konkret di masyarakat. 

Dengan demikian, teologi bumi mengajak kita untuk membangun model berteologi 
dan pemahamannya yang semestinya digeser ke arah yang lebih praksis. Pemahaman 
dimaksud adalah, pemahaman yang berbasiskan pembebasan dengan kelompok 
tertindas sebagai fokus perhatiannya. Ini meniscayakan agar kitab suci tidak 
diberlakukan sebagai kisi-kisi yang memadati sejumlah kurikulum sekolah dan 
proposal sebuah penelitian saja. 

Tetapi, harus disikapi sebagai teks yang akan memberikan sinaran etik-moral 
bagi kerja-kerja perubahan di masyarakat. Dengan demikian, teologi bukan saja 
berisi ajaran suci mengenai matra ketuhanan dan bernuansa akhirat, melainkan 
juga berperan untuk menafsirkan realitas sosial secara kritis dan transformatif.


Untuk Transformasi Dunia 
Dalam perspektif Islam misalnya, jelas Alquran datang tidak dengan semangat 
mengabsahkan realitas, tetapi untuk merombaknya. Ali Engineer, pemikir Muslim 
dari India mengatakan Islam yang berlandaskan Alquran memiliki concern pada 
upaya-upaya penegakan keadilan sosial dengan aksentuasi utama untuk membebaskan 
kelompok-kelompok yang tertindas dan marjinal, baik di ranah politik, sosial, 
maupun ekonomi. 

Farid Esack, aktivis Muslim asal Afrika Selatan, menyatakan Islam datang untuk 
mereformasi struktur masyarakat Arab yang timpang, hegemonik, dan menindas. 
Begitu juga dalam perspektif Gerejawi. Setelah berefleksi dan menjelajah dalam 
kurun waktu amat panjang, sejumlah teolog Kristen progresif dari Amerika Latin 
tiba pada suatu keyakinan baru bahwa berteologi bukan sekadar upaya perumusan 
iman belaka, melainkan merupakan praksis iman yang direfleksikan secara kritis 
dalam terang sabda Allah. 

Gustavo Gutierrez dalam A Theology of Liberation menyatakan, teologi adalah 
refleksi kritis atas praksis untuk transformasi dunia. Kini bukan saatnya lagi 
mempertahankan performance teologi yang enggan meluangkan waktunya untuk 
sekadar menengok dan menyapa manusia yang tertindas, miskin, dan tak berdaya. 
Sudah saatnya teologi langit itu dirobohkan dan digantikan dengan teologi bumi 
yang menghampiri seluruh umat manusia dengan belaian kasih sayang, sekaligus 
mampu melahirkan terma-terma teologis yang bisa menjelaskan kondisi aktual bumi 
dan aneka problem yang dihadapi manusia, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, 
kemiskinan, kebodohan, kekerasan, ketidakadilan hukum, politik, ekonomi, dan 
sebagainya. 

Patut dicatat bahwa merobohkan teologi langit tidak berarti menghilangkan sisi 
sakralitas, mitos, dan aspek transendensi agama, karena semua itu merupakan 
entitas yang tak terpisahkan dari agama, melainkan mencoba mengikis nalar 
teologis yang selama ini cenderung melangit, teosentris, dan ahistoris, menuju 
nalar teologis yang benar-benar membumi, antroposentris, dan historis. 
Berteologi semacam inilah yang kiranya amat relevan dan signifikan untuk 
perjuangan merambatkan iman dan menegakkan keadilan sebagai syarat yang tak 
bisa ditunda-tunda lagi. 

Penulis adalah dosen Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo Semarang

[Non-text portions of this message have been removed]



Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke