Menunjang keyakinan saya selama ini bahwa umumnya masyarakat Indonesia itu 
rukun. Jika sampai tidak, maka itu menunjukan adanya pengaruh luar yang dengan 
sengaja datang untuk mencapai tujuan tertentu.


--- In proletar@yahoogroups.com, "Sunny" <ambon@...> wrote:
>
> http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/toleransi-tulus-dari-desa-pedalaman
> 
>  
> Map 
> Yogyakarta, Indonesia 
> Yogyakarta, Indonesia 
> Toleransi Tulus dari Desa Pedalaman
> Diterbitkan : 28 Desember 2011 - 8:00pm | Oleh Redaksi Indonesia (Foto: 
> Hamdan) 
> Diarsip dalam: 
>   a.. Indonesia 
>   b.. revolusi kecilku-2011
> Tahun 1995 pertama kali Hamdan* berinteraksi dengan komunitas lain di luar 
> keyakinan yang dianutnya. Ia saat itu tengah melakukan kerja lapangan di 
> pedalaman pulau Sumba, provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
> 
> Saya mengunjungi sekian puluh desa, di antaranya adalah Desa Maidang, 
> Kecamatan Tabundung, Kabupaten Sumba Timur. Pada tahun-tahun berikut, saya 
> juga terjun ke desa-desa pedalaman hingga saat ini, 2011, antara lain ke 
> pulau Alor, pulau Pantar, pulau Timor, pulau Lombok, dan pedalaman Jawa.
> 
> Khawatir
> Awalnya ada rasa gamang, kekhawatiran mendalam terkait keyakinan agama yang 
> saya anut, yang mengajarkan tidak boleh mengkonsumsi makanan yang diharamkan 
> ajaran Islam. Sebelum terjun ke pedalaman, saya banyak membaca referensi dan 
> berdiskusi dengan kawan yang sudah terbiasa ke pedalaman NTT. 
> 
> Ciri utama masyarakat di sana sangat menghormati tamu. Mereka menjamu tamu 
> dengan makanan istimewa, sekalipun keseharian mereka hanya makan apa adanya. 
> 
> Tempat yang pertama kali saya datangi pada bulan Agustus 2005 adalah Desa 
> Maidang. Dari sinilah penentu pengejawantahan multikulturalisme terjadi dalam 
> diri saya. 
> 
> Sirih pinang
> Bentuk penghormatan pertama, sebagai ciri adat Sumba, adalah disambut di 
> beranda rumah adat berbentuk panggung dengan digelarkan tikar adat untuk alas 
> duduk, dan disuguhkan sirih pinang oleh ketua adat. Sambutan ini menunjukkan 
> kedatangan saya diperkenankan mereka. 
> 
> Bincang-bincang berlangsung hangat, dari urusan ringan sampai serius, 
> mengenai maksud kedatangan saya untuk meneliti sosial budaya masyarakat desa 
> Maidang. Setelah berbincang, ketua adat memperkenankan untuk menyusuri alam 
> Maidang, namun tiba-tiba saya tersentak kaget. Hal yang tidak terduga terjadi.
> 
> Potong ayam
> Ketua adat menuntun saya ke belakang rumah dan meminta saya untuk menyembelih 
> seekor ayam yang sudah disiapkan beserta pisau potong yang tajam. “Sebagai 
> penghormatan kami, saya minta Pak, potong ini ayam, untuk makan siang kita 
> nanti.” Demikian tandas ketua adat tanpa mengharap persetujuan saya. 
> 
> Saya pun langsung menjalankan permintaannya, sekalipun seumur hidup saya 
> tidak pernah menyembelih hewan apa pun.
> 
> Memasuki pojok-pojok kampung, saya selalu ditemani wakil ketua adat, dan 
> akhirnya saya melepaskan pertanyaan yang semenjak tadi masih menggantung, 
> soal kenapa ketua adat meminta saya menyembelih ayam. 
> 
> Dengan lugas dia menjelaskan, penghormatan seperti itu hanya diberikan kepada 
> tamu yang berkeyakinan agama lain dengan mayoritas masyarakat Maidang, 
> terkait soal makanan yang menurut keyakinan saya boleh dikonsumsi. 
> 
> Sungguh saya tidak menyangka orang pedalaman memiliki pengetahuan yang luas 
> tentang sebuah ajaran agama di luar keyakinan yang mereka anut, yakni agama 
> Kristen.
> 
> Membuka diri
> Pasca kejadian ini, revolusi kecil mulai bergulir dalam diri saya. Masih di 
> bulan yang sama, rasa ragu saya terhadap makanan yang disajikan di 14 desa 
> lain yang saya kunjungi di Pulau Sumba mulai berkurang. 
> 
> Sepulangnya saya ke pulau Jawa, saya mulai membaca puluhan buku dan jurnal 
> terkait dengan tema pluralisme dan multikulturalisme, termasuk tulisan dan 
> biografi tokoh pluralis seperti Gus Dur, Romo Frans Magnis Suseno, Syafei 
> Ma’arif dan lainnya.
> 
> Saya lahir, dibesarkan dan mengenyam pendidikan dalam lingkungan yang homogen 
> satu keyakinan. Sejak kecil hidup di lingkungan pesantren hingga sampai 
> pendidikan tinggi di lembaga agama Islam. Tema pluralisme yang saya dapat 
> hanya teks yang diajarkan. Tidak ada paksaan dalam beragama, selebihnya tidak 
> ada pengalaman hidup sama sekali terhadap pemaknaan toleransi beragama. 
> 
> Sosial budaya pedesaan
> Pasca pendidikan tinggi, ada hasrat untuk mencari pengalaman di luar lembaga 
> pendidikan, dan akhirnya saya menjadi peneliti di sebuah Lembaga Sosial. Dari 
> kerja-kerja lapangan inilah kemudian saya mendapat pengalaman mengesankan 
> tentang pluralisme di luar topik yang menjadi concern dalam penelitian saya 
> yakni spesifik tentang sosial budaya pedesaan.
> 
> Tahun-tahun berikutnya saya terus menekuni penelitian di pedalaman Nusa 
> Tenggara. Pengalaman diminta menyembelih ayam juga saya alami di Pulau Alor. 
> Menariknya pengalaman mendalam lagi-lagi saya dapatkan di Pulau Sumba, 
> tepatnya Juni 2008.
> 
> Saya harus tinggal beberapa hari di Desa Anajiaka, Kecamatan Umbu Ratunggai 
> Barat, Kabupaten Sumba Tengah. 
> 
> Sekalipun saya selalu menolak, mereka tetap menyiapkan kebutuhan saya. 
> Sambutan kehangatan tuan rumah merupakan ciri utama yang selalu saya dapatkan 
> acap kali tinggal di rumah penduduk. 
> 
> Selimut tebal
> Keluarga Agustinus Umburupa, di mana saya tinggal memberikan fasilitas yang 
> sebenarnya jarang mereka nikmati, seperti selimut tebal yang bersih, kamar 
> tidur dipasangkan kelambu agar saya tidak terkena gigitan nyamuk malaria, 
> serta masakan istimewa di luar kebiasaan yang mereka santap.
> 
> Di jam jadwal waktu sholat, saya minta ditunjukkan tempat mata air. Anaknya 
> Agustinus Umburupa mengantarkan saya ke mata air di tengah ladang yang 
> jaraknya sekitar satu kilometer dari rumah. Wudu shalat Juhur saya gunakan 
> juga untuk shalat Ashar, demikian juga wudu shalat Maghrib saya gunakan juga 
> untuk shalat Isya. Dengan demikian saya harus hati-hati menjaga diri agar 
> tidak batal wudu.
> 
> Diam-diam rupanya keluarga Agustinus memperhatikan saya. Dalam waktu relatif 
> pendek menurut mereka, dari siang sampai sore saja saya sudah dua kali ke 
> mata air, padahal mereka biasanya hanya pagi dan sore hari mengambil air yang 
> ditempatkan di jerigen untuk memasak dan minum. 
> 
> Wudu
> Tanggal 24 Juni 2008 saya mulai bermalam di rumah keluarga Agustinus. Sebelum 
> terlelap tidur saya sudah berniat, nanti akan bangun sebelum waktu subuh 
> tiba, agar bisa lebih awal melakukan wudu di mata air dan akan ke sana 
> sendiri. 
> 
> Jam 04.00 WITA saya terbangun, dan membuka pintu depan rumah, pintu utama 
> yang dilewati semua orang untuk keluar. Saya merasa heran kenapa pintu tidak 
> terkunci dan sudah terbuka sedikit. Tanpa saya duga Agustinus sudah ada di di 
> luar menunggu saya. Sambil menunjuk ember di depannya dia menjelaskan: “Pak 
> bisa berwudu dari air ember ini, yang sudah disiapkan istri saya sore tadi, 
> diambil dari mata air.” 
> 
> Seketika saya hanya bisa ucapkan terima kasih.
> 
> Kerja kemanusiaan
> Sejak dua peristiwa ini, revolusi kecil terus terjadi dalam diri saya. 
> Akhirnya tidak hanya membaca, saya juga aktif dalam dialog, seminar, 
> workshop, sarasehan dan training yang dilakukan forum umat beriman di kota 
> saya tinggal, bahkan bermuara pada aktivitas kerja kemanusiaan bersama 
> aktivis forum umat beriman saat bencana gempa bumi 27 Mei 2006 dan erupsi 
> gunung Merapi November 2010 keduanya di Yogyakarta.
> 
> Saya meyakini revolusi kecil ini belum berakhir, sebab revolusi besar 
> membangun kesadaran pluralisme akan terjadi di pondok pesantren kecil warisan 
> ayah saya di kampung halaman, dan kakak saya yang mengasuh sendirian bersama 
> 257 orang santri asuhannya, saat ini di depan gerbang pesantren benar-benar 
> sedang menunggu kepulangan saya.
> 
> Hamdan saat ini masih aktif di Lembaga Sosial di Yogyakarta.
> 
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>




------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke