GALAMEDIA

11/07/2005 Krisis Moneter Jilid II, Benarkah Makin Dekat?

      Oleh: H. SOEHARSONO SAGIR
     

RIDLO 'Eisy dalam artikelnya di "GM", Rabu (6/7), secara provokatif menyebut 
kemungkinan terjadinya krisis moneter jilid II berdasarkan dua indikator, yaitu 
depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang telah menembus Rp 
10.000/dolar AS, yang dipacu oleh meroketnya harga minyak mentah yang mencapai 
60 dolar AS/barel.

Pertanyaannya, apakah kisis moneter jilid II dapat dicegah dengan imbauan agar 
orang-orang kaya tidak panik, memborong dolar AS, dan melakukan penarikan dana 
besar-besaran dari bank sehingga dana perbankan kosong dan bank menghadapi 
krisis likuiditas seperti yang terjadi pada krisis moneter 11 Juli 1997?

Sektor moneter perbankan

Saya kira kondisi moneter Indonesia saat ini tidak sama dengan kondisi Juli 
1997. Pada tahun 1997, sektor perbankan tidak prudent/sehat, melanggar 
rambu-rambu kehati-hatian bank, melanggar ketentuan kecukupan modal setor (CAR 
minimal 8%), L3 (BMKP maksimum 20%), LDR (NPTS lebih dari 110%), giro wajib 
minimum lebih dari 15%, dan nonperformance loan (NPL/kredit macet lebih dari 
5%).

Dana pihak ketiga (DPK) sektor perbankan benar-benar rawan dari rush (penarikan 
besar-besaran oleh nasabah penitip dana, deposito, giro, dan tabungan) karena 
rendahnya posisi likuiditas perbankan. Akibatnya, Badan Likuidasi Bank 
Indonesia (BLBI) tidak mampu menolong sektor perbankan dari kebangkrutan.

Kondisi sektor moneter/bank saat ini jauh lebih baik/sehat dibandingkan kondisi 
Juli 1997. Hal itu tampak dari CAR lebih dari 12%, NPTS kurang dari 60% 
(artinya, dana pihak ketiga yang disalurkan sebagai kredit bank kurang dari 
60%), ketentuan GWM 15% ditaati, tingkat kredit macet kurang dari 5%, dan tidak 
ada lagi kredit sindikasi untuk konglomerat (53% volume kredit dinikmati oleh 
17 konglomerat, 1997). Kesimpulan sementara, sektor moneter/perbankan bukan 
menjadi pemicu krisis moneter jilid II seperti pada tahun 1997.

Sektor keuangan negara

Berbeda dengan kondisi sektor moneter/bank yang saat ini sehat dan terkendali, 
kondisi keuangan negara kita (anggaran pendapatan dan belanja negara/APBN) 
justru sangat rawan terimbas krisis moneter Jilid II, dilihat dari potensi 
defisit yang terjadi pada tahun anggaran 2005. Hal itu tidak terlepas dari 
hal-hal sebagai berikut: 
  1.. Kewajiban membayar utang luar negeri jatuh tempo yang makin membengkak 
sebagai akibat merosotnya nilai tukar rupiah, yaitu lebih besar dari Rp 
10.000/dolar AS. 
  2.. Keharusan memenuhi subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang wajib dibayar 
pada Pertamina, akibat naiknya harga minyak mentah yang lebih besar dari 60 
dolar AS/barel. Padahal, konsumsi BBM dalam negeri bergantung pada pasokan 
impor. 
  3.. Hasil penjualan aset negara, di antaranya privatisasi badan usaha milik 
negara (BUMN) dan penjualan aset Bank BPPN, tidak mencapai target Rancangan 
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2005. 
  4.. Cadangan devisa yang dikuasai Bank Indonesia (34 miliar dolar AS) tidak 
akan mencukupi kebutuhan pemerintah untuk membayar utang jatuh tempo, apalagi 
jika ditambah dengan rush sektor swasta untuk membayar utang luar negeri jatuh 
tempo dan permintaan devisa Pertamina untuk memenuhi kebutuhan BBM di dalam 
negeri 1995. 
  5.. Penerimaan minyak sebagai sumber penerimaan dalam negeri APBN tidak 
berarti dibandingkan besarnya kewajiban pemerintah memenuhi subsidi BBM. Hal 
ini merupakan dampak kenaikan harga minyak mentah hingga 60 dolar AS/barel. 
  6.. Realisasi APBN 2005 akan terus-menerus memerlukan revisi, sesuai dengan 
kemerosotan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan perkembangan harga minyak 
mentah.
Kondisi ekonomi makro Indonesia

Kondisi ekonomi makro Indonesia saat ini tidak cukup kondusif untuk menekan 
kemungkinan terjadinya krisis moneter jilid II, kecuali angka inflasi dapat 
ditekan di bawah 5% pada tahun 2005 dengan pertumbuhan ekonomi yang seimbang, 
4%-5%.

Di luar dua indikator tersebut, kondisi ekonomi makro secara fundamental masih 
tetap lemah. Hal itu dilihat dari hal-hal sebagai berikut. 
  1.. Kondisi perluasan kesempatan kerja, pengangguran semakin marak akibat 
pemutusan hubungan kerja (PHK) dan tidak tersedianya lapangan pekerjaan. 
  2.. Investasi di dalam negeri belum dipacu oleh meningkatnya tabungan 
masyarakat. Ini terlihat dari meningkatnya konsumsi untuk properti (rumah 
mewah), mobil mewah, sepeda motor (kredit motor), dan barang-barang impor. 
Selain itu, suplai produk dalam negeri dipenuhi oleh produk "sisa ekspor" atau 
export quality, padahal itu merupakan produk yang ditolak untuk ekspor 
(rejected export goods). 
  3.. Walaupun neraca perdagangan kita menunjukkan surplus (ekspor lebih besar 
dari impor), namun masih tetap defisit yang disebabkan transfer modal untuk 
membayar utang jatuh tempo, baik sektor pemerintah, swasta, dan perbankan. 
  4.. Good governance, tata kelola yang baik di sektor pemerintah maupun swasta 
belum memenuhi harapan. Selain itu, korupsi, kolusi, dan nepotisme belum 
berhasil diberantas.
Catatan akhir

Tanpa disertai data/tabel yang signifikan untuk mendukung kajian di atas, 
sebagai catatan akhir dapat disimpulkan sebagai berikut.

Berbeda dengan krisis moneter pada tahun 1997, krisis moneter jilid II (istilah 
Ridlo 'Eisy) dalam kurun waktu 2005/2006 akan terjadi jika: 
  1.. Pemerintah tidak berhasil membenahi dan memenuhi tuntutan APBN 2005 dalam 
kewajiban membayar utang luar negeri jatuh tempo (default), membayar subsidi 
BBM dan menutup defisit dari hasil penjualan aset negara. Jadi, krisis moneter 
tidak bersumber dari sektor moneter/perbankan. 
  2.. Terjadi rush pembelian dolar AS sehingga Bank Indonesia sebagai 
penyandang cadangan devisa, tidak mampu memenuhi permintaan pasar karena 
cadangan devisa sangat minim (34 miliar dolar AS), hanya setara dengan 
kebutuhan impor tiga bulan. 
  3.. Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter tidak mampu memacu 
tabungan masyarakat (dana pihak ketiga) sebagai sumber dana investasi dalam 
negeri, 
  4.. Posisi neraca pembayaran menunjukkan neraca berjalan mengarah pada 
surplus, tidak lagi defisit yang berkelanjutan.
Demikian catatan yang dapat saya ajukan sebagai tanggapan terhadap "Krisis 
Moneter Jilid II" yang ditulis M. Ridlo 'Eisy. (penulis adalah pengkaji ekonomi 
indonesia)**




[Non-text portions of this message have been removed]



Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to