REPUBLIKA
Selasa, 19 Juli 2005



Judi dan Problem Hukum 
Topo Santoso
Dosen FHUI Kandidat Ph.D di University of Malaya
Akhir-akhir ini, judi dalam berbagai bentuk dan manifestasinya marak di 
berbagai daerah. Geram dengan itu, sebagian daerah menyusun Rancangan peraturan 
daerah (Raperda) Antijudi. Sebagian yang lain dipenuhi unjuk rasa memprotes 
penegak hukum dan pemda yang terkesan membiarkan dan membisu. Mengapa judi 
marak? Tidak adakah landasan hukum untuk mencegahnya? 

Menurut hemat saya, maraknya judi merupakan akibat kegagalan pemerintah 
memenuhi jiwa hukum dan jiwa undang-undang penertiban judi yang sudah lebih 
dari 30 tahun lahir. 

Judi bukan masalah baru. Di masa Orde Baru, untuk mengatasi masalah ini, lahir 
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Undang-undang 
ini jelas menyatakan bahwa ancaman hukuman dalam Kitab Undang-undang Hukum 
Pidana (KUHP) untuk perjudian tidak sesuai lagi sehingga perlu diperberat. 

Bahkan, pasal pelanggaran judi dijadikan kejahatan dan hukumannya dinaikkan 
dari satu bulan menjadi empat tahun (Pasal 542 ayat 1), serta dari tiga bulan 
menjadi enam tahun (Pasal 542 ayat 2). 

Meski ancaman hukuman diperberat dan jenis delik diubah (dari pelanggaran 
menjadi kejahatan), tapi masalah masyarakat ini tidak tertanggulangi. Ada 
beberapa wacana untuk mengatasi, antara lain melokalisasi judi (biasanya selalu 
menyebut contoh Malaysia dengan Genting Highland-nya), sebagian yang lain 
dengan membuat perda di masing-masing daerah. 

Ada juga keluhan bahwa penegak hukum kurang antusias memberantas judi di 
beberapa daerah. Hal itu biasanya dibumbui kecurigaan adanya kepentingan dari 
bisnis judi yang menguntungkan. Sebagian menyebut bahwa penegak hukum tidak 
bisa bertindak jika permainan judi itu mendapatkan izin dari pemerintah daerah. 
Alasan terakhir ini memang bisa ditelusuri dari rumusan hukum yang memang 
menyatakan bahwa ''.. barangsiapa tanpa mendapat izin..'' atau ''.. kecuali ada 
izin dari penguasa yang berwenang..''

Judi berizin
Berpijak dari hal itu, penegak hukum tidak berdaya jika para pengelola 
perjudian atau pemain judi telah mengantongi izin dari pemerintah. Masalahnya 
juga, dalam rangka mendapatkan pendapatan, izin-izin semacam itu kemudian 
diberikan karena memang dimungkinkan. Undang-undang 'hanya' melarang perjudian 
yang tanpa izin. Jadi, selama ketentuan Pasal 303 dan 303 KUHP di atas hanya 
melarang judi tanpa izin, dan tidak melarang segala bentuk judi, maka secara 
yuridis penegak hukum akan mengalami kesulitan memberantas perjudian. 

Di sinilah, menurut hemat penulis, pemerintah telah mengabaikan 'jiwa dari 
undang-undang penertiban judi' dan penegakan hukum atas perjudian hanya 
bersandar pada 'bunyi eksplisit'-nya saja. Pemerintah tidak mampu memenuhi 
tuntutan politik hukum yang disuarakan lebih dari 30 tahun lalu. Kebijakan 
hukum atas judi telah dilupakan sejak 1974. 

Ada baiknya diingatkan di sini apa harapan pembuat undang-undang penertiban 
judi. Dalam konsiderans UU No 7 Tahun 1974 jelas dinyatakan bahwa perjudian 
bertentangan dengan agama, kesusilaan dan moral serta membahayakan penghidupan 
dan kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara. Nah, memberikan izin usaha 
perjudian berarti memberikan izin untuk menentang agama, kesusilaan dan moral 
serta membantu membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara. Toh, hal 
itu tetap dilakukan atas berbagai alasan.

Memang, rumusan dalam KUHP yang menyebut 'kecuali dengan izin' belum dihapus. 
Tapi, hal ini bukan legitimasi bahwa judi bisa dibiarkan tumbuh sebab 
konsiderans selanjutnya dari UU 7 Tahun 1974 jelas-jelas menyatakan bahwa 
tahapan yang harus dilakukan adalah penertiban, pembatasan, hingga penghapusan 
perjudian dari seluruhnya wilayah Indonesia. Di sinilah letak jiwa 
undang-undang ini, di sinilah politik hukumnya terletak yaitu berujung pada 
'penghapusan judi di seluruh Indonesia'. 

Pembuat undang-undang saat itu mengerti betul bahwa cita-cita tadi tidak bisa 
serta merta terwujud dalam semalam. Oleh sebab itu, tahapannya dimulai dari 
penertiban, pembatasan, dan akhirnya penghapusan sama sekali di seluruh 
Indonesia. Oleh sebab itu cita-cita melokalisasi judi --seperti diwacanakan 
sebagian kalangan-- merupakan tantangan terhadap politik hukum Indonesia. 

Mengapa penulis perlu mengingatkan pemerintah (pusat dan daerah) soal maraknya 
judi ini? Sebabnya tidak lain undang-undang penertiban judi sejak 30 tahun lalu 
memerintahkan kepada pemerintah untuk memenuhi jiwa dan maksud penertiban judi 
yang berujung pada penghapusan sama sekali dari seluruh bumi Indonesia (Lihat 
Pasal III UU 7/1974). 

Hutang pemerintah
Pemerintah masih punya 'hutang' yaitu melakukan langkah konkret menertibkan, 
membatasi, dan menghapuskan judi. Jadi, salah besar jika yang dilakukan di 
sejumlah daerah berhenti sampai menertibkan judi saja. Apalagi jika penertiban 
itu kemudian difahami dengan memberikan izin resmi di satu sisi dan merazia 
yang tidak berizin di sisi lain. 

Kita mempertanyakan upaya pemerintah sejak masa Orde Baru hingga kini yang 
selama 30 tahun hanya berhenti sampai ronde pertama penanggulangan judi. Entah 
sampai kapan penghapusan judi bisa terwujud? Yang jelas pemerintahan baru ini 
perlu diingatkan bahwa jiwa dan politik hukum perjudian selama ini telah 
diabaikan. Selama pengabaian ini masih berlangsung, upaya untuk mengatasi 
perjudian yang sangat berbahaya itu tak akan berhasil. 

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa penegakan hukum (dan pemenuhan jiwanya) 
tidak semata-mata faktor yuridis dan juga politik hukum. Sebagian kalangan 
mensinyalir perjudian tumbuh subur karena adanya 'beking perjudian' yang bisa 
dari kalangan mana saja, termasuk oknum pemerintah ataupun oknum penegak hukum. 
Tuduhan semacam ini memang bukan hal baru. Sebab dalam kasus kejahatan lainnya 
seperti illegal logging juga telah diungkap adanya 'beking' semacam itu. 

Untuk kasus maraknya judi, adanya dugaan konspiratif semacam itu mestinya tidak 
membuat pemerintah ataupun penegak hukum berang dan marah. Justeru untuk 
menunjukkan bahwa hal itu tidak benar, perlu dibuktikan dengan langkah-langkah 
konkret untuk mengatasi masalah judi. Jika saja pemerintah menyadari bahwa 
selama ini jiwa undang-undang antijudi telah terkubur, maka langkah pembuatan 
berbagai perda antijudi yang disuarakan di berbagai daerah tidak diperlukan. 
Yang harus dilakukan hanyalah melaksanakan undang-undang secara konsisten, 
melakukan langkah konkrit yang berujung pada hapusnya judi, dan memberi sanksi 
bagi pelanggarnya (termasuk bagi beking judi). 

Sekali lagi, hukum menghendaki agar pemerintah tidak terhenti pada penertiban 
judi, tetapi menghendaki penghapusannya dari seluruh bumi nusantara ini. 




[Non-text portions of this message have been removed]



Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke