http://epaper.tempo.co/PUBLICATIONS/KT/KT/2012/06/29/ArticleHtmls/Kejahilan-Legislatif-dan-Pemberantasan-Korupsi-29062012012012.shtml?Mode=0

Kejahilan Legislatif dan Pemberantasan Korupsi 

Donny Syofyan, DOSEN FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ANDALAS

Lagi-lagi sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat kembali berulah dan 
memperlihatkan tabiat aslinya. 
Kali ini Komisi III DPR menolak rencana pembangunan gedung baru buat Komisi 
Pemberantasan Korupsi. Salah satu anggota Komisi III, Bambang Soesatyo, 
mengatakan penolakan pemberian anggaran guna pembangunan gedung baru KPK 
dilakukan karena status KPK yang bersifat ad hoc. Lebih lanjut ia berujar, 
karena statusnya yang ad hoc itu, muncul pemikiran apakah tidak lebih baik 
memanfaatkan gedung-gedung pemerintah yang banyak kosong dan tidak terpakai. 

Pembangunan gedung baru KPK dianggap memerlukan waktu yang cukup lama ketimbang 
merenovasi dan memanfaatkan gedung yang tidak terpakai. 

Terlepas dari dalih efisiensi dan efektivitas anggaran terkait dengan rencana 
pembangunan gedung baru KPK tersebut, publik dengan mudah membaca bahwa DPR 
kembali menabuh genderang dan melagukan melodi sumbang dalam memperkuat KPK 
untuk memberantas korupsi. Secara sederhana, ini adalah potret kejahilan 
legislatif yang dapat ditelaah pada beberapa hal berikut ini. 

Pertama, DPR hadir tak ubahnya sebagai speed bump (polisi tidur) dalam perang 
besar melawan korupsi. 

Kehadiran polisi tidur di jalan raya tentu dimaksudkan untuk mencegah 
terjadinya potensi kecelakaan lalu lintas dengan memperlambat laju kendaraan. 
Dengan tamsil yang lebihkurang sama, alih-alih mencegah terjadinya kecelakaan 
(baca: kebocoran) uang negara oleh laju para koruptor di negeri ini, tindakan 
DPR untuk mempersulit kebutuhan KPK—walau cuma sebuah gedung baru—justru 
potensial memperlambat kecepatan pemberantasan korupsi. Kecepatan upaya-upaya 
memerangi koruptor sudah barang tentu menghajatkan ketersediaan sumber daya 
manusia dan infrastruktur yang memadai. Pengabaian terhadap kebutuhan sumber 
daya manusia tersebut, sebagai misal, hanya memperlihatkan lemahnya navigasi 
Komisi III DPR terhadap pentingnya manajemen sumber daya manusia. 

Minimnya ketersediaan sumber daya bisa berdampak pada redupnya prioritas kerja 
para penyidik KPK. 

Ini berisiko memunculkan terjadinya tumpah-tindih pekerjaan, sehingga 
menghabiskan waktu dan energi para penyidik KPK. Ketimpangan antara kebutuhan 
dan ketersediaan sumber daya yang dimiliki KPK bisa saja membuat kerja-kerja 
KPK berjalan di tempat dan terjebak pada analisis dan pengamatan yang dangkal 
dan sporadis. Hal ini secara tegas bakal mengebiri produktivitas KPK sendiri. 
Tak kalah krusialnya, problem kurangnya kapasitas SDM dan infrastruktur fisik 
sangat memungkinkan tertutupnya peluang bagi KPK sendiri untuk melakukan 
pelbagai terobosan dalam mengatasi korupsi. Walau sejarah membuktikan betapa 
banyak prestasi dan terobosan yang tercipta di atas keterbatasan demi 
keterbatasan, realitas lain juga membuktikan bahwa munculnya skandal-skandal 
perampokan uang rakyat berjalan menurut deret ukur, sementara kemampuan 
aparat-aparat penegak hukum untuk mengentaskannya bergerak sesuai dengan deret 
hitung. 

Kedua, DPR cenderung menampilkan diri sebagai pahlawan kesiangan dalam 
mengikuti ritme pemberantasan korupsi. Berbagai alasan yang dikemukakan oleh 
Komisi III DPR untuk tidak menyetujui pembangunan gedung baru KPK sejatinya 
lahir dari egoisme yang kerdil dan paradoks yang murahan. 

Masyarakat tak pernah lupa bagaimana lembaga wakil rakyat ini habis-habisan 
membela proposal pembangunan gedung baru DPR di tengah kuatnya resistansi 
publik. Pada waktu itu, Ketua DPR Marzuki Alie mengatakan DPR tak perlu 
melakukan survei publik untuk mengukur penerimaan publik dan penolakan terhadap 
rencana ini. 

Ia bahkan menuduh pihak-pihak yang menentang rencana pembangunan ini hanya 
menodai reputasinya sebagai Ketua DPR. Gambaran ironis agaknya memperlihatkan 
bahwa DPR telah mewujud selaku “superhero” dan “superbody” sebagai pemegang 
lisensi yang akan memberikan bahan bakar operasional—dana—bagi lembaga 
sekaliber KPK. 

Hal demikian sangat kontraproduktif bagi parpol atau kubu reformis yang ada di 
dalam DPR. Alih-alih menjadi pendekar legislatif dalam melicinkan jalan bagi 
setiap lembaga-lembaga anti-korupsi, sikap Komisi III DPR tersebut kian 
menjustifikasi kecurigaan publik betapa banyak para legislator yang menjadikan 
isu pemberantasan korupsi sebagai bahan kampanye dan buffer semata demi beroleh 
kursi basah legislatif. Alasan klise, semisal kedudukan ad hoc KPK, 
memperlihatkan bahwa DPR sibuk mengurus abu ketimbang mentransfer api 
perubahan. 

Ini sama saja dengan menjadikan persoalan korupsi sebagai main-main atau 
senda-gurau belaka. Publik lebih berharap DPR berperan sebagai lokomotif yang 
menghela gerbong-gerbong lainnya dalam perjalanan panjang mengamputasi penyakit 
korupsi yang kronis ini. 

Ketiga, DPR terlihat enggan melakukan salto mortal dalam memerangi korupsi. 
Bangsa ini sudah berada pada point of no return dalam melawan korupsi. Sekecil 
apa pun upaya yang dilakukan dalam memberantas korupsi perlu dianggap sebagai 
bagian dari langkah-langkah komprehensif anasir bangsa memerangi koruptor. 
Besarnya dukungan publik atas rencana pembangunan gedung KPK—koin untuk KPK 
dari masyara kat, sumbangan dari Menteri Hukum Amir Syamsuddin, Menteri BUMN 
Dahlan Iskan, dan Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri—menunjukkan bahwa 
pembangunan gedung baru KPK tersebut adalah bagian dari proses penyempurnaan 
dan penguatan bala tentara peperangan terhadap korupsi di negeri ini. 

Boleh jadi DPR menganggap bahwa usulan pembangunan gedung KPK ini bukanlah 
prioritas teknis yang urgen bagi kebutuhan operasional KPK. 

Namun, dari perspektif ideologi pemberantasan korupsi, sikap Komisi III DPR 
tersebut men ja dikan kebutuhan KPK hanya bersifat sporadis dan memperlakukan 
sepak terjang KPK sebagai perang tanpa nama alias tak berlabel. 

Lambat-laun sikap demikian hanya mempercepat bunyi lonceng kematian bagi 
reputasi DPR berupa turunnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif 
menjelang Pemilu 2014. Sikap politik DPR yang selalu berputar pada status KPK 
sebagai lembaga ad hoc tidak hanya membuka kedok wakil-wakil rakyat di DPR yang 
selalu ngotot pada circular reasoning sebagai salah satu dari sesat pikir 
(fallacy). Tak kalah kritisnya adalah bahwa penolakan atau tarik-ulur DPR itu 
secara tidak langsung membonsai legitimasi fungsi KPK. Dengan kata lain, 
sungguh disayangkan bahwa DPR hanya menganggap status KPK sebagai anak bawang 
atau anak tiri dalam kafilah panjang pemberantasan korupsi selama ini. ● 

     


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke