Gosippolitikberkembang di mana-mana. Ada yang dengan optimistik 
mengatakan,gubernur DKI tak ada yang sukses di lima tahun pertama.Mereka
 sukses di lima tahun kedua. Bang Ali dan Bang Yos dijadikan contoh.



Ini jelas buat memberi keuntungan gubernur yang masih juga ingin maju 
kembali dalam pencalonan. Saya kira tidak persis begitu logikanya. Bang 
Ali sudah berkibar-kibar dan mentereng sejak lima tahun pertama. Jangan 
dianggap baru sukses di lima tahun kedua. Jenderal KKO ini tegas minta 
ampun dalam segenap sepak terjang birokrasi dan kepemimpinannya. Dia 
berani melabrak kekuatan sosial politik mana pun di dalam masyarakat. 
Kalangan ulama juga disemprot dengan tantangan blak-blakan.



Dengan modal ini, untuk lima tahun kedua suksesnya menjadi lebih gilang 
gemilang. Beliau makin percaya diri. Lalu Bang Yos. Ini tipe lain lagi. 
Kepemimpinannya tidak menggebrak-gebrak. Jenderal AD, Kopassus, ini 
model leadership-nya juga jelas, tegas, dan sasaran “tembak”-nya dibidik
 dengan fokus. Dengan diam-diam tadi. Mirip kucing mengincar musuh yang 
hendak disergap. Perintahnya harus jalan. Ini demi kepentingan publik. 
Bukan untuk membangun citra yang bukan-bukan.



Ada wali kota yang dipanggil dan ditanya: Bisa membereskan persoalan 
ruwet dan sensitif di daerahmu itu? Kalau tidak bisa, aku ambil alih. 
(Artinya, bisa saja mencari wali kota lain yang lebih terampil). “Siap 
Pak.Bisa.” “Berapa lama waktu Kau perlukan untuk membikin beres urusan 
itu?” “Satu minggu Pak.” Jawab sang wali kota. “Bagus. Seminggu ya? 
Pulang dari Korea, akan aku cek langsung.



” Begitulah dialog dalam bahasa “perintah” yang jelas dan tegas itu 
berlangsung singkat. Tak perlu bertele-tele. Seminggu kemudian, Gubernur
 itu mengecek dari udara dan dengan cermat diamatinya 
baik-baik.Benar.Wali kota telah bekerja dengan baik seperti 
dijanjikannya kepada sang bos. Ini tipe pemimpin yang tak diketahui 
publik kapan kerjanya, tapi hasilnya jelas, nyata, dan publik merasakan 
buahnya. Ini gubernur beneran.



Dia menciptakan apa yang kelihatannya, di mata orang banyak, tak mungkin
 menjadi mungkin. Leadership memang harus berfungsi seperti itu. Bang 
Ali dan Bang Yos, dua gubernur Jakarta, yang—dalam corak berbeda, sesuai
 karakter masing-masing— menampilkan watak pemimpin yang punya karisma. 
Orang tak begitu memperhatikan dengan jeli satu pola hubungan 
kemanusiaan yang mentereng: Bang Yos ini, biarpun sudah paham, masih 
juga datang ke Bang Ali untuk berkonsultasi.



Mendengarkan apa wisdom yang bisa dipetik dari pendahulunya itu. Ini 
bukan hanya “ngewongke” orang lain, yang merupakan seniornya, tapi 
secara politik ini simbol kepemimpinan yang hebat. Yang muda menghormati
 yang tua.Yang baru, dan belum banyak tahu, bertanya pada yang senior, 
yang lama, dan yang paham banyak urusan untuk diteladaninya. Namanya 
tentara, bisa saja galak, dan membentak, bahkan ganti mengancam jika 
diancam orang.



Tapi dalam suasana “damai”dua tokoh ini juga damai dengan siapa pun 
karena bibit damai itu ada pula di dalam jiwa mereka.Bang Ali itu 
seperti Baladewa,gampang marah. Tapi dalamnya halus. Bang Yos mungkin 
Prabu Salya. Negerinya dibikin aman dan makmur mayoritas kawulanya. 
Berikutnya,kita tak pernah dengar seperti apa sikap gubernur DKI.Yang 
kita lihat cuma foto yang dipajang di begitu banyak tempat di 
pojok-pojok jalan.



Rakyat seolah diberi tahu bahwa gubernur itu harus ahli “acting” dan 
terampil mengisi pojok-pojok jalan dengan foto besar seperti sedang ada 
pameran foto. Padahal, yang dibutuhkan warga DKI bukan pameran 
foto,melainkan pameran hasil karya nyata. Mengatasi kemacetan? Kebijakan
 impor motor dan mobil pun tak ada. Kemacetan kini justru makin parah. 
Jalan terobosan busway itu kerjaan Bang Yos.



Mengatasi banjir? PU yang mengerjakan dengan dana pusat, cara 
penanggulangan banjir dengan membereskan kanal timur. Apa yang 
dikerjakan gubernur sekarang,yang masih ingin maju lagi itu? Orang di 
sekitarnya mungkin saja tahu karena diajak rapat.Bagaimana mekanisme 
membikin publik tahu? Bagaimana “public accountability” dilakukan? Warga
 kota jarang yang tahu apa yang dikerjakan, dan apa hasil yang dicapai 
gubernur ini.



Dalam titik gelap seperti ini masa pilgub dan pilwagub telah tiba. 
Banyak calon. Jangan lupa,kita ingin memilih gubernur beneran. Gubernur 
yang memikirkan rakyatnya dengan sikap politik yang jelas: gubernur itu 
abdi rakyat, mengabdi pada konstitusi dan segenap aturan yang 
berlaku.Gubernur tak boleh mengabaikan rakyatnya. Peduli, dan sok murah 
hati, sok ramah-tamah, sok “care”terhadap rakyat, hanya di masa 
kampanye, itu sikap politik yang penuh kebohongan.



Baik hati dan penuh rasa peduli hanya di masa kampanye, itu sikap 
politik buatan,bukan cara hidup yang memang autentik, dan apa adanya. 
Sikap ini culas, dan tak bisa dijadikan gubernur beneran, sebagaimana 
didambakan seluruh warga DKI. Warga ingin gubernur yang “all out”, dan 
full kerja, demi warganya. Pikirannya buat warga. Jiwanya buat warga. 
Kerja, mengatur strategi, dan mendedikasikan hatinya,yang tulus, dan 
jujur, buat seluruh warga. Gubernur dengan kriteria macam ini yang kita 
cari. Banyak calon.



Lebih banyak dari masa sebelumnya. Gubernur sekarang optimistis, satu 
putaran, dan dia menang. Ini hitungan terburu-buru seperti orang mau ke 
belakang. Kalau pesaingnya anak-anak kecil yang masih ingusan, gagasan 
itu boleh jadi benar. Kali ini lawannya tokoh-tokoh penting. Jangan 
lupa, ada pula Jokowi, wong Solo, yang gemar bekerja “solo”, sendirian, 
diamdiam, tidak menggebrak,tidak menantang siapa-siapa.



Tapi yang dikerjakan secara “solo” tadi, mengagetkan orang. 
Pengalamannya di Kota Solo, yang lebih kecil dari Jakarta, menunjukkan 
semangat pemimpin autentik, yang khusus dilahirkan di zaman krisis 
kepemimpinan seperti saat ini. Dia juga bisa menabrak aturan kaku dan 
karatan, yang tak memihak rakyat.Apa yang tak memberi kemungkinan rakyat
 beruntung, biarpun namanya aturan, dirusaknya demi rakyat. Ini orang 
sipil.



Sekolahnya kehutanan. Tapi, dia tahu wisdomkehidupan dan cara menata 
kota. Dia sukses. Namanya harus. Kharismatik. Tapi, kurang suka 
omong.Tak perlu menggebrak. Tak perlu membentak. Tak pernah pasang foto 
di pojok-pojok jalan di kotanya. Kita punya perbandingan menarik 
jadinya: gubernur, yang belum jelas hasil kerjanya, bersaing dengan 
mantan wali kota, yang sukses mentereng. Ini satu hal menarik, yang 
mestinya, mantan wali kota itu lebih unggul.



Selebihnya,dia orang Jawa, yang bukan Betawi. Ridwan Saidi lebih jelas 
Betawi daripada gubernur yang ini. Jadi apa kelebihannya? Jangan lupa, 
ini soal penting: pemilih di DKI, lebih berat Jawanya ketimbang warga 
asli Betawi. Ini meyakinkan. Kita mau memilih gubernur sungguhan. 
Gubernur yang bekerja buat warganya. Maka, tentu saja, yang terpilih 
jelas harus calon yang punya sikap politik macam itu.●



MOHAMAD SOBARY

Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,

untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi.

Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.



http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/509449/

Berbagi berita untuk semua
http://goo.gl/KKHtihttp://goo.gl/fIWzb

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke