http://www.ambonekspres.com/index.php?option=read&cat=42&id=39221
JUMAT, 23 Agustus 2012 | 52 Hits


Tentang Pesan ‘Kebebasan Pers’
(Tanggapan atas tulisan Usamah Kadir; Menimbang Ulang Kebebasan Pers)



Saya dan Usamah Kadir alias Uka berada dalam satu ‘kandang’ – sama-sama anggota 
Dewan Kehormatan Daerah Persatuan Wartawan Indonesia (DKD PWI) Cabang Sulawesi 
Selatan. Tapi maafkanlah saya kalau mengabaikan pesan, ‘sesama bus kota 
dilarang saling mendahului’.


Atas nama ‘kepentingan umum’, saya terpaksa menulis pesan -- yang lain -- 
kepada Beliau, menanggapi tulisannya. Saya termasuk orang yang percaya bahwa 
perbedaan pendapat mendorong munculnya kebenaran sejati. Bukankah Rasulullah 
Muhammad Saw mengatakan, perbedaan pendapat di kalangan umatku, merupakan 
rahmat? Tapi melalui SMS, Uka mewanti-wanti: “Perbedaan pendapat itu adalah 
rahmat, dengan syarat, (1) masing-masing pendapat itu benar berdasarkan 
dalil-dalil yang sah, (2) mereka yang berpendapat berniat baik, dan (3) 
perbedaan itu bukan perbedaan tentang aqidah,” katanya. Saya yakin, ketiga 
syarat itu terpenuhi.

Menanggapi tulisan HAB Amiruddin Maula (Fajar, Sabtu, 28/7-2012), Uka menulis, 
“Oleh karena itu, tidak heran jika baru-baru ini ada tabloid yang terbit dan 
beredar di masyarakat yang isinya, menyebar fitnah yang menyerang kehormatan 
seseorang.

Uka menilai, munculnya tabloid dengan beritanya yang dianggap ‘menyebar fitnah’ 
itu, salah satu buah kebijakan M. Junus Yosfiah ketika menjabat Menteri 
Penerangan di era Presiden Prof. B.J. Habibie, membuka kran Kebebasan Pers 
sebebas-bebasnya. Konon Junus Yosfiah dalam suatu kesempatan, mengemukakan, 
“pengelola medianya atau penanggungjawabnya tidak harus wartawan.

Bahkan Pemimpin Redaksinya pun tidak harus wartawan senior. Tukang becak pun 
boleh jadi pemimpin redaksinya, asalkan dia sanggup dan dia warga negara 
Indonesia.” Maka, menurut Uka, setelah Yosfiah berceramah, membanjirlah 
permohonan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) ke Deppen RI.

Setelah UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers diberlakukan, “Justeru kebebasan pers 
‘menerbitkan media cetak’ bertambah parah, karena UU ini menghilangkan 
persyaratan SIUPP bagi kepentingan pendirian perusahaan dan penerbitan pers,” 
kata Uka.

Setelah itu, tulisnya, bermunculanlah berita-berita yang berisi kabar bohong, 
fitnah, adu domba, menuduh, bahkan mencaci maki. Uka menilai, rupanya 
‘kebebasan pers’ yang selama Orde Baru didambakan kaum pekerja pers -- 
diterjemahkan oleh Menpen dan wartawan – sebagai, ‘mudahnya menerbitkan 
perusahaan pers media cetak’.

Justeru di sinilah menurut dia, “awal terjadinya kesalahan fatal dan terus 
berlangsung seiring dengan perkembangan pers nasional hingga hari ini.” Uka 
menilai, ‘kebebasan pers’ bukan kebebasan mendirikan perusahaan pers dan 
kebebasan menerbitkan media cetak pers.

“Sesungguhnya ‘kebebasan pers’ yang dimaksudkan, ialah, kemerdekaan asasi yang 
dimiliki oleh setiap wartawan dalam mencari dan mengumpulkan bahan-bahan 
berita, kemudian menulis dan menyiarkannya menurut kaidah jurnalistik dan 
berdasarkan kebenaran dan kejujuran. “Sesungguhnya yang dimaksud dengan 
‘kebebasan pers’ (menurut saya) ialah; ‘kebebasan yang tidak bebas’.

Sebab, sebebas-bebasnya seorang wartawan menulis berita, tetap saja dia tidak 
bebas dari aturan hukum, nilai-nilai tradisi dan ajaran Ilahiyah, yang selalu 
harus kita junjung tinggi jika kita ingin hidup bahagia di dunia dan di 
akhirat,” tulis Uka.

Beliau kemudian menutup tulisannya dengan kalimat, “untuk meminimalisir 
penerbitan dan beredarnya media cetak seperti di atas, melalui tulisan ini saya 
mendesak Dewan Pers untuk segera melaksanakan Uji Kompetensi Perusahaan Pers 
atau Sertifikasi Media agar ke depan nanti yang tersisa hanyalah media cetak 
pers yang kompeten dan profesional dalam rangka terciptanya Pers Indonesia yang 
sehat.”

Dari tulisan Uka tersebut, terkesan bahwa ada korelasi antara nilai kuantitatif 
dan nilai kualitatif, sehingga, seolah-olah Junus Yosfiah dan UU No. 40 tentang 
Pers -- yang membuka kran ‘kebebasan pers’ -- menjadi ‘biang keladi’ 
bermunculannya berita-berita berisi kabar bohong, fitnah, adu domba, menuduh, 
bahkan mencaci maki.

Pada acara yang diselenggarakan Dewan Pers dengan tema, Laporan Pelaksanaan HAM 
(Hak Asasi Manusia) oleh Human Rights Watch (HRW) di Jakarta, 16 Mei 2012 
(Berita Dewan Pers Etika, Mei 2012), Elaine Pearson, Wakil Direktur HRW untuk 
Asia, mengatakan, ada tiga isu yang menjadi fokus catatan HAM di Indonesia. 
Ketiga isu tersebut, kebebasan beragama (religious freedom), kebebasan 
berekspresi (freedom of expression) serta pertanggungjawaban aparat keamanan 
(accountability for security forces), termaktub di dalam Universal Periodic 
Review (UPR) submission November 2011.

Di dalam sidang Dewan HAM PBB bulan Mei 2012 yang diselenggarakan di Jenewa, 
Indonesia menjadi salah satu negara yang direview pelaksanaan HAMnya. Dalam hal 
kebebasan berekspresi, menurut HRW, pasal makar dan haatzai artikelen masih 
sering diterapkan untuk membungkam para aktivis perdamaian.

Kebebasan menyatakan pendapat - termasuk melalui internet - terus dipromosikan, 
namun Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik No. 11 tahun 2008, masih 
memuat pasal tentang pencemaran nama baik melalui internet dengan ancaman 
hukuman maksimal 6 tahun.

Jadi, sedikit banyak tergambar bagi kita bahwa ‘kebebasan berpendapat’ dan 
‘kebebasan berekspresi’, nilai yang bersifat universal dan masuk dalam wilayah 
HAM. Jadi sesungguhnya, segala tindakan yang bersifat menghalangi atau 
membatasi kebebasan, merupakan pelanggaran HAM. Konstitusi RI, Undang-Undang 
Dasar 45 telah mengukuhkan hal tersebut di dalam pasal 28 dengan menjamin 
kebebasan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat (lisan dan tertulis) dan 
berekspresi.

Menurut pasal ini, pelaksanaan jaminan ini diatur di dalam undang-undang. 
Kebebasasan berserikat dan berkumpul telah diatur di dalam UU Politik dan 
kebebasan berpendapat dan berekspresi agaknya dianggap cukup dengan 
pemberlakuan UU tentang Pers (UU No 11 tahun 1966, UU No 4 tahun 1967, UU No 21 
tahun 1982, UU No. 40 tahun 1999) -- tetapi pada sisi lain diberlakukan UU 
tentang Informasi dan Transaksi Elektronika yang bersifat membatasi kebebasan.

Ketentuan yang termaktub di dalam Batang Tubuh UUD 45 tersebut sebenarnya belum 
sepenuhnya melaksanakan Mukaddimah UU 45, Bahwa kemerdekaan adalah hak segala 
bangsa... Kemerdekaan yang dimaksud Mukaddimah UUD 45 tersebut, tidak hanya 
berarti ‘segala bangsa’ harus bebas dari penjajahan oleh bangsa lain (juga 
bangsa sendiri), melainkan meliputi segala macam kemerdekaan (kebebasan).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kebebasan berpendapat 
(lisan dan tertulis) dan berekspresi merupakan hak asasi setiap warga negara 
yang sebagian diperankan oleh pers dengan jaminan kebebasan oleh UU tentang 
Pers.

Jadi, kebebasan pers yang bersumber dari kebebasan berpendapat dan berekspresi, 
bukanlah hak monopoli wartawan dan karena itu tidak salah jika Junus Yosfiah, 
mengatakan, Tukang becak pun (maaf) berhak menerbitkan koran. Mungkin lebih 
tepat jika dikatakan, semua orang bisa dan boleh melakukan pekerjaan wartawan 
(ingat kontributor dan citizen jurnalism), tapi tak semua orang boleh mengaku 
wartawan.

Ada dua ‘hantu’ yang sangat ditakuti oleh wartawan pada masa Orde Baru, yaitu, 
sensor dan breidel. Tindakan sensor dilakukan pada saat media belum terbit dan 
breidel setelah media diterbitkan dan diedarkan. Tiga UU tentang pers (No. 
11/1966, 4/1967, 21/1982) sebelum UU No 40, menegaskan, tidak membenarkan 
tindakan sensor dan pembreidelan, tapi dengan alasan ‘negara dalam keadaan 
transisi’, diberlakukan ketentuan izin.

Pada era UU No. 11/1966 dan No 4/1967, dikenal adanya SIC (Surat Izin Cetak) 
yang dkeluarkan oleh Laksus Pangkopkamtib (Pelaksana Khusus Panglima Komando 
Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan SIT (Surat Izin Terbit) oleh 
Departemen Penerangan. Kemudian pada era UU No 21/1982, ketentuan izin diubah 
menjadi SIUPP.

Pemberlakuan ketentuan izin, dinilai sama dengan pembatasan terhadap kebebasan 
pers, karena sewaktu-waktu penguasa - tanpa melalui proses hukum - mencabut 
izin (SIC, SIT atau SIUPP), sehingga media tidak dapat terbit, jadi tak ada 
bedanya dengan pembreidelan. Pada masa lalu itu, hanya melihat ‘kulit’nya -- 
media yang dianggap ‘brengsek’ itu -- langsung dibreidel, tanpa memeriksa 
isinya – yang sebenarnya justeru substantif – apakah benar atau tidak.

Lantas, apabila kelak hasil sertifikasi Dewan Pers mengakibatkan media 
berguguran, timbul pertanyaan, apakah itu tidak berarti lembaga terhormat yang 
telah banyak berbuat di era reformasi ini menggantikan fungsi Departemen 
Penerangan tempo doeloe yang suka membreidel media?(*)

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke