SUARA KARYA MoU RI-GAM dan Federalisme Oleh Faisal Siagian
Selasa, 6 September 2005 Tulisan berikut bukan untuk memperdebatkan isi Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah RI dengan GAM, melainkan ingin mengupas lebih jauh MoU RI-GAM karena isi MoU tersebut terkesan terlampau memberi konsesi yang terlalu besar kepada GAM. Penulis menilai butir-butir yang tertera dalam MoU sangat luas, terutama terkait dengan pemberian kewenangan yang sangat luas kepada rakyat Aceh dalam melaksanakan hubungan luar negeri maupun dalam penguasaan sumber daya alam. MoU ini hampir menjadikan Aceh menjadi 'negara federal'. Setelah naskah nota kesepahaman damai (MoU) antara Pemerintah RI dan GAM ditandatangani di Helsinki Finlandia, maka damai di Aceh memunculkan berbagai pertanyaan referensi aksi dan wacana. Apa sesungguhnya masalah mendasar yang perlu dipecahkan agar kesepakatan damai tersebut dapat menjadi permanen dan agenda apa saja yang perlu ditempuh agar kesepakatan itu tidak menimbulkan masalah baru? Bagaimana komitmen moral dan intelektual untuk mewujudkan damai di Aceh? Kesediaan Pemerintah RI berunding dengan GAM sebetulnya merupakan usaha meluluhkan tanda protes yang keras rakyat Aceh atas perlakuan ketidakadilan pemerintah pusat di masa lalu. Dengan MoU RI-GAM, "Semua permintaan rakyat Aceh akan dikabulkan oleh pemerintah pusat asalkan jangan minta merdeka lepas dari NKRI." Dalam satu tahun terakhir ini sebenarnya pemerintah pusat sudah bersikap arif, termasuk lewat terobosan UU Otonomi Khusus Aceh. Dalam hal MoU, meskipun implementasinya dibutuhkan waktu yang lama, namun ada upaya dari pemerintah untuk menghargai hak-hak masyarakat Aceh, khususnya untuk mengobati rasa frustasi akibat DOM dan darurat militer di masa lalu. Yang perlu dipahami, memang ada penderitaan, ketidakadilan dan permasalahan-permasalahan lain yang dirasakan rakyat Aceh. Pertanyaannya, apakah hal itu harus dibayar sedemikian mahal dengan MoU yang isinya mirip federalisme? Sejauh ini pemerintah terkesan "mundur untuk maju" karena ketakutan kemungkinan lepasnya Aceh dari bingkai Republik Indonesia. Aceh dan Federalisme Sebenarnya tuntutan GAM terlalu luas. Ketika perundingan digelar sekitar Januari 2005, waktu itu pemerintah mengusulkan bahwa kebijakan fundamental yang harus dilakukan adalah penegakan hukum bagi pelanggaran HAM khususnya pada masa DOM, darurat militer dan persoalan ekonomi. Tidak ada indikasi yang jelas dari pemerintah bahwa jika semua itu ditempuh maka seluruh persoalan Aceh akan tuntas. Di bawah pemerintahan lama, hampir semua keinginan rakyat Aceh umumnya dan GAM pada khususnya tidak ditanggapi pemerintah pusat. Pemerintah baru SBY-JK akhirnya mencari opsi lain dengan mengirim juru runding Hamid Awaludin ke Helsinki. Namun semua langkah perundingan RI-GAM terkesan kurang transparan termasuk tidak adanya konsultasi dengan DPR. Jadi, saat itu, baik masyarakat maupun DPR sebetulnya sudah tidak sabar terhadap apa yang diprogramkan oleh para negosiator RI mengenai Aceh. Maka, ketika proses negosiasi damai di Aceh berlangsung sukses, meski rakyat Aceh menyambutnya dengan senang hati tetapi masyarakat di luar Aceh serta DPR tetap saja bertanya-tanya. Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin sempat dipuji dan dihormati, namun setelah itu muncul sedikit gerakan antipati. Hal itu terjadi karena MoU memuat butir-butir yang bersifat sangat sensitif dan masih mendatangkan kontroversi. Bagaimana dengan pernyataan anggota DPR dan sebagian politisi (termasuk mantan Presiden Megawati) yang menganggap MoU RI-GAM itu mirip negara federal? Misalnya Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik kecuali dalam bidang luar negeri, pertahanan dan keamanan, moneter/fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, di mana kewenangan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah RI. Namun dalam persetujuan oleh Pemerintah Indonesia yang menyangkut Aceh, seperti masalah internasional, keputusan DPR, kebijakan administratif harus mendapat persetujuan dari DPRD Aceh bahkan nama Aceh dan gelar pejabat senior akan ditentukan oleh DPRD setelah Pemilu 2009. Sedang tuntutan rakyat Aceh untuk mendapatkan sebagian dari penghasilan sumber daya alam secara setimpal dan proporsional, hal itu juga dinilai suatu tuntutan yang wajar, yang tidak perlu dirisaukan. Mengenai pembagian kekayaan alam, Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai isi MoU cukup aspiratif. Selama ini daerah penghasil minyak 85% diberikan ke pusat dan 15% untuk daerah. Sebagai daerah penghasil migas, Aceh memperoleh 70 persen sedangkan untuk pusat 30 persen. Namun bagian untuk pusat juga perlu dipertimbangkan, karena dana untuk pusat tidak semata-mata digunakan pemerintah pusat sendiri, tetapi untuk membantu daerah-daerah minus. Isi MoU luas, jelas maksud dan tujuannya yaitu ingin memberikan kewenangan yang luas kepada masyarakat Aceh mengurus dirinya sendiri kecuali urusan luar negeri, urusan keuangan dan urusan pertahanan/keamanan. Begitu luasnya otonomi yang diberikan kepada Aceh sehingga mirip sistem negara federal. Tetapi sistem yang berlaku untuk Aceh itu tentu juga bisa diberlakukan di daerah lain, bila menuntut hal yang sama. Artinya, sistem federal bisa saja diterapkan untuk seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian sistem federal ini merupakan salah satu opsi yang bisa diterapkan, baik di Aceh maupun di provinsi lain, seperti Provinsi Papua. Dengan disepakatinya MoU RI-GAM, rakyat Aceh percaya bahwa pemerintah pusat telah memberikan kemerdekaan yang begitu besar bagi rakyat Aceh. Rakyat Aceh telah diberikan otonomi luas termasuk otonomi sosial, otonomi keuangan, dan otonomi politik yang masih harus menunggu perundang-undangan yang berlaku pasca-Pemilu 2009. Banyak pakar di dalam negeri ikut prihatin terhadap perkembangan bangsa Indonesia akhir-akhir ini. Mereka pun aktif memberikan solusi-solusi tertentu. Pakar sosiolog dari UGM Muhadjir Darwin mengatakan, satu-satunya cara untuk mengerem proses disintegrasi adalah dengan meninjau kembali sistem negara kesatuan yang selama ini dianut bangsa Indonesia. Selain itu perlu dipikirkan pula secara serius alternatif perubahan sistem negara Indonesia ke bentuk federasi. Menurut Muhadjir, dengan alternatif sistem federasi, tidak perlu lagi adanya referendum, apalagi memberi pilihan merdeka lepas dari Indonesia. Pemberian kewenangan yang begitu luas bagi Provinsi Aceh akan memicu provinsi-provinsi lain -- yang selama puluhan tahun merasa terbelenggu oleh pusat --, meminta hal yang sama. Bila itu terjadi, maka Indonesia akan menuju sistem negara federal. Keinginan membentuk negara federasi tidak identik dengan disintegrasi. Setidaknya tiga kebijakan pokok, yakni masalah luar negeri, pertahanan/keamanan dan kebijakan moneter masih dipegang pemerintah pusat, sehingga tetap berada dalam satu wilayah NKRI. Dengan sistem federal, tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia dipastikan akan meningkat, khususnya di provinsi-provinsi luar Jawa. *** Penulis alumni Pasca Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) bekerja di Media Center KPU Pusat. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Life without art & music? Keep the arts alive today at Network for Good! http://us.click.yahoo.com/FXrMlA/dnQLAA/Zx0JAA/uTGrlB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/