REPUBLIKA Senin, 03 Oktober 2005
Bom Bali Jilid II dan Hiperrealitas Yusuf Maulana Pengkaji Politik Bahasa; Bekerja pada Institut Analisis Propaganda Bertepatan dengan hari diumumkannya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), bom kembali mengguncang Bali. Ingatan publik pun langsung tertuju pada peristiwa yang pernah mengguncang Bali dan mendatangkan simpati masyarakat internasional, hampir tepat tiga tahun lalu. Peristiwa bom kedua ini memecah suasana gembira malam Minggu (1/10) di dua kawasan wisata di Jimbaran dan Kuta, sekitar pukul 19.30 waktu setempat. Sampai dengan Minggu pukul 04.30, korban yang meninggal setidaknya 25 orang; seratus orang lebih mengalami luka. Dua jam setelah ledakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan kepada pers bahwa ledakan itu merupakan tindakan teroris. SBY meminta aparat kepolisian mengusut peledakan ini. Simpati kepada korban dan kecaman terhadap pelaku peledakan berdatangan dari para pemimpin atau pejabat asing, termasuk dari Sekjen PBB Kofi Annan dan Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Pengeboman di Bali itu merupakan yang pertama kali di tahun pertama pemerintahan SBY. Ini tentu menjadi ujian bagi SBY, di saat dirinya baru saja memutuskan kebijakan menaikkan harga BBM yang mengundang protes banyak masyarakat. Hal itu berarti, setelah SBY tidak mampu menjamin kehidupan rakyatnya dari ancaman kemiskinan, SBY kini gagal memberikan jaminan keamanan bagi rakyat. Sehingga daftar kegagalan yang akan mengisi raport setahun pemerintahannya (tepat tiga pekan setelah pengeboman itu) kian bertambah. Dalam hal ini, langkah cepat dan terpadu aparat menjadi katarsis atas kekecewaan rakyat. Juga hal ini akan memberikan keamanan serta kepastian. Sejauh ini, modus operandi, jenis bom, daya ledakan, serta tersangka pelaku masih dalam penyelidikan intensif aparat kepolisian. Namun galibnya, dalam peristiwa pengeboman, akan muncul (atau dimunculkan) tersangka ''prematur'' di publik. Apalagi masih kuat ingatan publik akan dua tokoh teratas buronan kepolisian kita (Dr Azahari dan Nurdin M Top) yang masih belum tertangkap. Dengan demikian, langkah cepat dan terpadu aparat bisa memberikan kepastian. Dan sedikit atau banyak akan meminimalkan prasangka-prasangka terhadap kalangan tertentu. Kecurigaan dan teori Momentum bom Bali II memang bisa mengundang pelbagai kemungkinan kecurigaan atau teori. Pertama, kejadiannya bertepatan dengan kenaikan harga BBM dan belum redanya kepanikan rakyat. Akan muncul dugaan bahwa kejadian itu didesain untuk mengalihkan perhatian rakyat atas kebijakan pemerintahan SBY. Dengan kata lain, bom Bali II ini menjadi bom politik yang dianggap bisa menguntungkan posisi SBY. Kedua, masih berkaitan dengan kenaikan harga BBM, tidak tertutup kemungkinan bahwa ada pihak-pihak yang dirugikan dengan kebijakan SBY tersebut. Termasuk pihak yang dibatasi geraknya karena aparat kepolisian bertindak tegas terhadap upaya penyeludupan BBM ke luar negeri. Mereka pun melakukan skenario yang bertujuan untuk membalas dendam terhadap pemerintahan SBY. Apalagi dengan keuntungan memanfaatkan opini dan kepanikan publik, kemungkinan tersangkanya mengarah kepada pihak lain. Ketiga, bom Bali II ini bisa pula ditafsirkan sebagai sebuah desain untuk mendelegitimasi bahkan menjatuhkan kepemimpinan SBY. Rumor-rumor gerakan ekstraparlemen untuk menjatuhkan SBY menjelang pengumuman kenaikan harga BBM memang gencar. Keempat, meskipun tidak memilih waktu yang tepat dengan kejadian bom Bali I (yakni 12 Oktober), namun rekam jejak yang langsung mengaitkan kejadian kedua sebagai kelanjutan kejadian pertama tidak bisa dielakkan. Penyebabnya, tersangka utama dalam kejadian pertama masih bebas sehingga mengundang prasangka merekalah yang juga kini (disangka) melakukannya. Dengan demikian, bom kali ini dipandang menjadi semacam perayaan pelakunya untuk tiga tahun atas kejadian pertama. Sejauh ini, kemungkinan atau teori keempatlah yang paling sering diungkap publik. Lalu, mengapa pelaku memilih 1 Oktober? Bahwa tidak persisnya pilihan timing, hal ini kemudian bisa dirasionalisasikan sebagai berikut. Histeria atas kejadian akan lebih intensif dan tinggi bila dilakukan berdekatan dengan kepanikan rakyat atas kenaikan harga BBM. Bila 12 Oktober dipilih, histeria publik atas dampak kenaikan BBM sudah semakin menurun. Dan lagi aparat keamanan sendiri akan lebih bersiap-siap tentunya guna mengantisipasi terulangnya kejadian tiga tahun lalu pada 12 Oktober (sehingga akan menghambat keleluasaan gerak si pelaku). Apalagi, sebagaimana dikatakan SBY pada pertengahan tahun ini, dirinya sudah memeroleh informasi bahwa akan ada peledakan lagi. ''Dipercepatnya'' timing kejadian, secara hipotesis juga bisa dikaitkan dengan preferensi pelaku dalam membaca konstelasi politik yang tengah dihadapi SBY. Adanya pihak-pihak yang tengah beroposisi dengan SBY bisa menjadi celah bagi pelaku bom Bali II untuk ''berlindung''. Dalam arti, tuduhan tidak secara langsung akan tertuju kepadanya. Karena terdakwa kejadian bom Bali I adalah Muslim, hal ini ''relevan'' dengan timing kejadian bom Bali II yang ''dipercepat'', sehingga bisa ditafsiri sebagai ''penghormatan'' pelaku sebelum memasuki Ramadhan. Imbasnya jelas: publik akan memersepsi latar belakang pelaku kejadian kali ini adalah juga Muslim! Hiperrealitas Kemungkinan-kemungkinan di atas tentu saja tidaklah benar-benar sebagai sebuah realitas (objektif). Realitas yang bermunculan di publik saat ini akan lebih banyak sebagai hasil konstruksi pengalaman masa lalu (saat kejadian pertama). Realitas ''ciptaan'' inilah yang akan memenjara publik pada saat keraguan akan jaminan keamanan dari pemerintah semakin besar. Realitas ''ciptaan'' ini berikutnya memunculkan kepanikan publik, kondisi yang diingini pelaku tentunya. Sebagai akibatnya, realitas-realitas yang tercipta dalam benak-benak tiap individu akan masih berkembang biak selagi kepastian perlindungan dari aparat pemerintah tidak memadai. Bila ini tidak diperhatikan pemerintah, realitas tersebut akan melampaui kondisi normal. Publik terus-menerus terhantui dengan teror. Dalam kosa kata Baudrillard, dalam realitas seperti ini bekerja mekanisme simulasi yang akan menciptakan hiperrealitas. Artinya, realitas ''ciptaan'' (model, dalam bahasa Baudrillard) publik tidak lagi bisa dipisahkan dengan realitas aktual itu sendiri. Antara opini (yang dimodel sebagai ''real/nyata'') dengan realitas itu makin kabur. Langkah cepat dan terpadu pemerintah diharapkan mampu menguraikan semiotika pengeboman yang bisa menempatkan sebagian kalangan dalam posisi tertuduh (dalam kejadian ini, yang paling dekat adalah umat Islam). Jangan sampai di tengah masyarakat (di Bali khususnya) berkembang kembali prasangka yang menempatkan anggota masyarakat yang lain dalam posisi/model ''pasti bersalah''. Berangkat dari kejadian pertama tiga tahun lalu, pengalaman akan memberikan pelajaran bagi publik (terlebih di Bali) bahwa mencurigai atau menyamakan perilaku pelaku pengeboman sebagai keseluruhan atau ciri perilaku komunitasnya hanya akan memperpanjang teror-teror baru (post terror) --antara lain segregasi dan disintegrasi sosial. Dalam kejadian kedua ini, tampaknya sudah ada indikasi makin matangnya publik untuk tidak gegabah memprasangkai sesama anggota masyarakat. Kondisi ini seharusnya menjadi modal bagi pemerintahan SBY dalam memulihkan kembali kepercayaan rakyat. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Life without art & music? Keep the arts alive today at Network for Good! http://us.click.yahoo.com/FXrMlA/dnQLAA/Zx0JAA/uTGrlB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/