SUARA KARYA

            Probo, Bagir dan Korupsi
            Oleh Kentos R Artoko 

                        Probo, Bagir dan Korupsi
                        Oleh Kentos R Artoko 


                        Rabu, 19 Oktober 2005
                        Minggu lalu hampir semua media massa memuat berita 
ihwal kasus suap di Mahkamah Agung (MA) berkaitan dengan perkara korupsi yang 
dilakukan oleh Probosutedjo (Probo). Kasus suap ini melibatkan Harini Wiyoso, 
mantan hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta yang menjadi pengacara Probo. 
Kemudian terlibat pula 5 pegawai MA. Nama Ketua MA Bagir Manan pun terseret 
karena Harini maupun 5 pegawai MA menyebut disediakan dana Rp 5 miliar untuk 
Bagir Manan dalam upaya "membereskan" perkara kasasi Probosutedjo. Adik tiri 
mantan penguasa Orde Baru Soeharto ini mengaku sudah mengeluarkan dana 
seluruhnya Rp 16 miliar untuk "menyelamatkan" dirinya dari tuntutan hukum, 
sejak di tingkat pengadilan pertama, tingkat banding sampai tingkat kasasi di 
MA. 

                        Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun kemudian 
mengusut dana sebesar Rp 16 miliar yang telah dikeluarkan oleh Probo untuk 
"mengurus" kasus dugaan korupsi dana reboisasi yang didakwakan kepada 
perusahaannya, PT Menara Hutan Buana. 

                        Dana Rp 16 miliar tersebut, menurut Probo, 
pengeluarannya terinci pada sidang tingkat pertama hingga banding, senilai Rp 
10 miliar, dan tingkat kasasi Rp 6 miliar.Untuk urusan kasasi, inisiatif 
memberikan uang datang dari Harini Wiyoso. Tulisan ini tidak bermaksud untuk 
memberikan deskripsi tentang persoalan yang menyangkut Probo maupun Bagir, 
namun lebih menekankan pada aspek psikososiologis (phsycological sociology) 
yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia secara umum. 

                        Para penguasa dan pejabat bangsa ini sejak periode 
kerajaan dulu telah terbiasa mendapatkan dan memberikan upeti kepada para 
pejabat. Itu dimaksudkan untuk merealisasikan maksud yang akan ditempuh. 

                        Koentjaraningrat, dalam berbagai buku pegangan bagi 
mahasiswa tingkat awal telah menulis kebiasaan ini. Bahkan, sosiolog Clifford 
Geertz lebih membenarkan lagi. Geertz dalam bukunya Santri, Priyayi dan Abangan 
malah menggambarkan dengan jelas kasta tersebut dalam masyarakat Muslim di 
Indonesia. 

                        Bahkan, dalam buku tersebut, bagi rakyat jelata, protes 
terhadap sebuah kebijakan berarti kematian atau tereliminasi dari 
lingkungannya. 

                        Kondisi seperti ini memberi input kepada kita bahwa 
moralitas bangsa ini sebenarnya telah lama tercabik dan terampas dari hati 
nurani yang paling dalam. Dengan kondisi demikian tak pelak lagi rakyat jelata, 
pengusaha dan insan yang non-pejabat mesti memberikan upeti untuk menggolkan 
maksud dan tujuannya. Kalaupun tak ada upeti, para pejabat ramai-ramai 
melakukan tindak korupsi dan memaksa rakyat untuk memberikan upeti. 

                        Filsuf P Bordieu mengemukakan, korupsi telah menjadi 
bagian dari sistem disposisi (corruption has been included in disposition 
system) yang tahan terhadap waktu dan diwariskan antar-generasi. Awalnya 
tindakan ini merupakan struktur yang dibentuk, kemudian berperan dalam 
membentuk perilaku para pejabat, lalu berubah menjadi prinsip yang menggerakkan 
tingkah laku dan akhirnya tanpa disadari menjadi pengatur dalam praktik 
kehidupan di masyarakat. 

                        Dengan bergeraknya waktu, maka tindak korupsi telah 
menjadi habit (kebiasaan) yang berawal dari struktur yang dibentuk, dan menjadi 
usual dalam masyarakat. Contoh kecil saja, dalam bekerja atau belajar pasti 
setiap kita pernah melakukan korupsi waktu. Awalnya, kita memang merasa risih 
dengan perilaku tersebut, namun lama kelamaan hal tersebut menjadi kebiasaan 
dan malah dianggap tidak wajar bila tidak melakukan hal tersebut. 

                        Secara eksplisit, Yves Meny (1992) mengemukakan empat 
bentuk korupsi yang telah menjadi kebiasaan di dalam masyarakat. Pertama, 
korupsi jalan pintas, seperti penggelapan uang negara, penggelapan dana 
bencana, money politics dan permainan dalam sektor ekonomi yang berlandaskan 
pada upaya menyuap untuk mendapatkan keuntungan secara tidak wajar. 

                        Kedua, korupsi dalam bentuk upeti. Langkah ini 
dimungkinkan karena adanya jabatan tertentu yang bersifat sangat strategis, 
karena adanya penggelembungan nilai proyek, adanya seleksi karyawan dan terjadi 
dalam proses penentuan jabatan. 

                        Ketiga, korupsi kontrak, yakni tindakan yang dilakukan 
untuk mendapatkan proyek secara tidak wajar, fasilitas dan pengoordinasian 
pasar. 

                        Keempat adalah korupsi pemerasan terkait dengan jaminan 
keamanan, perlindungan dan gejolak intern maupun faktor luar yang berupaya 
mengkondisikan pasar. 

                        Soal Probo-Bagir, bisa dihubungkan dengan klasifikasi 
yang dibuat oleh Meny. Dari sisi Probo, upaya untuk menyelamatkan bisnis dalam 
bentuk penyuapan termasuk pada kategori korupsi. Bagir Manan, jika benar 
terbukti dia memanfaatkan posisinya sebagai Ketua MA untuk mendapatkan upeti, 
juga merupakan korupsi. 

                        Dalam melihat kasus tersebut, penulis berupaya 
seobjektif mungkin, tidak memihak. Namun, melihat kronologis masalah yang 
terjadi, maka sebagai pengusaha Probo jelas ingin "selamat", dan ternyata niat 
ingin selamat tersebut "dimainkan" oleh oknum yang berniat mengail di air 
keruh. 

                        Lantas bagaimana mengeliminasi hal ini di kemudian 
hari? Bukankah korupsi telah menjadi habit bagi masyarakat Indonesia? 
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh beberapa lembaga pemantau korupsi 
tingkat dunia, Indonesia masuk dalam peringkat keenam, dan pelaku korupsi 
terbanyak adalah kalangan birokrat. Oleh karena itu, untuk membersihkan bangsa 
ini dari korupsi yang telah menjadi habit, langkah pertama yang harus dilakukan 
adalah membersihkan birokrat dari oknum pelaku korupsi. 

                        Rekrutmen di seluruh instansi harus dilakukan dengan 
fair, berbasiskan kompetensi dan mencatat track record seseorang dari mulai 
awal berkarier hingga akhir masa tugasnya. Informasi tentang track record ini 
pun bisa diakses langsung oleh masyarakat, sehingga rakyat bisa ikut memilih 
seorang pejabat dari tingkat yang paling awal, di sebuah instansi sekalipun. 

                        Memang akan memakan waktu lama, namun bila hal ini 
dilakukan minimal 5 tahun mendatang, bisa diharapkanbisa diharapkan Indonesia 
sudah tidak masuk dalam negara paling korup di dunia. Semoga! *** 

                        Penulis wartawan Harian Umum Suara Karya.  
                 
                 


            Rabu, 19 Oktober 2005
            Minggu lalu hampir semua media massa memuat berita ihwal kasus suap 
di Mahkamah Agung (MA) berkaitan dengan perkara korupsi yang dilakukan oleh 
Probosutedjo (Probo). Kasus suap ini melibatkan Harini Wiyoso, mantan hakim 
Pengadilan Tinggi Yogyakarta yang menjadi pengacara Probo. Kemudian terlibat 
pula 5 pegawai MA. Nama Ketua MA Bagir Manan pun terseret karena Harini maupun 
5 pegawai MA menyebut disediakan dana Rp 5 miliar untuk Bagir Manan dalam upaya 
"membereskan" perkara kasasi Probosutedjo. Adik tiri mantan penguasa Orde Baru 
Soeharto ini mengaku sudah mengeluarkan dana seluruhnya Rp 16 miliar untuk 
"menyelamatkan" dirinya dari tuntutan hukum, sejak di tingkat pengadilan 
pertama, tingkat banding sampai tingkat kasasi di MA. 

            Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun kemudian mengusut dana 
sebesar Rp 16 miliar yang telah dikeluarkan oleh Probo untuk "mengurus" kasus 
dugaan korupsi dana reboisasi yang didakwakan kepada perusahaannya, PT Menara 
Hutan Buana. 

            Dana Rp 16 miliar tersebut, menurut Probo, pengeluarannya terinci 
pada sidang tingkat pertama hingga banding, senilai Rp 10 miliar, dan tingkat 
kasasi Rp 6 miliar.Untuk urusan kasasi, inisiatif memberikan uang datang dari 
Harini Wiyoso. Tulisan ini tidak bermaksud untuk memberikan deskripsi tentang 
persoalan yang menyangkut Probo maupun Bagir, namun lebih menekankan pada aspek 
psikososiologis (phsycological sociology) yang sedang dihadapi oleh bangsa 
Indonesia secara umum. 

            Para penguasa dan pejabat bangsa ini sejak periode kerajaan dulu 
telah terbiasa mendapatkan dan memberikan upeti kepada para pejabat. Itu 
dimaksudkan untuk merealisasikan maksud yang akan ditempuh. 

            Koentjaraningrat, dalam berbagai buku pegangan bagi mahasiswa 
tingkat awal telah menulis kebiasaan ini. Bahkan, sosiolog Clifford Geertz 
lebih membenarkan lagi. Geertz dalam bukunya Santri, Priyayi dan Abangan malah 
menggambarkan dengan jelas kasta tersebut dalam masyarakat Muslim di Indonesia. 

            Bahkan, dalam buku tersebut, bagi rakyat jelata, protes terhadap 
sebuah kebijakan berarti kematian atau tereliminasi dari lingkungannya. 

            Kondisi seperti ini memberi input kepada kita bahwa moralitas 
bangsa ini sebenarnya telah lama tercabik dan terampas dari hati nurani yang 
paling dalam. Dengan kondisi demikian tak pelak lagi rakyat jelata, pengusaha 
dan insan yang non-pejabat mesti memberikan upeti untuk menggolkan maksud dan 
tujuannya. Kalaupun tak ada upeti, para pejabat ramai-ramai melakukan tindak 
korupsi dan memaksa rakyat untuk memberikan upeti. 

            Filsuf P Bordieu mengemukakan, korupsi telah menjadi bagian dari 
sistem disposisi (corruption has been included in disposition system) yang 
tahan terhadap waktu dan diwariskan antar-generasi. Awalnya tindakan ini 
merupakan struktur yang dibentuk, kemudian berperan dalam membentuk perilaku 
para pejabat, lalu berubah menjadi prinsip yang menggerakkan tingkah laku dan 
akhirnya tanpa disadari menjadi pengatur dalam praktik kehidupan di masyarakat. 

            Dengan bergeraknya waktu, maka tindak korupsi telah menjadi habit 
(kebiasaan) yang berawal dari struktur yang dibentuk, dan menjadi usual dalam 
masyarakat. Contoh kecil saja, dalam bekerja atau belajar pasti setiap kita 
pernah melakukan korupsi waktu. Awalnya, kita memang merasa risih dengan 
perilaku tersebut, namun lama kelamaan hal tersebut menjadi kebiasaan dan malah 
dianggap tidak wajar bila tidak melakukan hal tersebut. 

            Secara eksplisit, Yves Meny (1992) mengemukakan empat bentuk 
korupsi yang telah menjadi kebiasaan di dalam masyarakat. Pertama, korupsi 
jalan pintas, seperti penggelapan uang negara, penggelapan dana bencana, money 
politics dan permainan dalam sektor ekonomi yang berlandaskan pada upaya 
menyuap untuk mendapatkan keuntungan secara tidak wajar. 

            Kedua, korupsi dalam bentuk upeti. Langkah ini dimungkinkan karena 
adanya jabatan tertentu yang bersifat sangat strategis, karena adanya 
penggelembungan nilai proyek, adanya seleksi karyawan dan terjadi dalam proses 
penentuan jabatan. 

            Ketiga, korupsi kontrak, yakni tindakan yang dilakukan untuk 
mendapatkan proyek secara tidak wajar, fasilitas dan pengoordinasian pasar. 

            Keempat adalah korupsi pemerasan terkait dengan jaminan keamanan, 
perlindungan dan gejolak intern maupun faktor luar yang berupaya mengkondisikan 
pasar. 

            Soal Probo-Bagir, bisa dihubungkan dengan klasifikasi yang dibuat 
oleh Meny. Dari sisi Probo, upaya untuk menyelamatkan bisnis dalam bentuk 
penyuapan termasuk pada kategori korupsi. Bagir Manan, jika benar terbukti dia 
memanfaatkan posisinya sebagai Ketua MA untuk mendapatkan upeti, juga merupakan 
korupsi. 

            Dalam melihat kasus tersebut, penulis berupaya seobjektif mungkin, 
tidak memihak. Namun, melihat kronologis masalah yang terjadi, maka sebagai 
pengusaha Probo jelas ingin "selamat", dan ternyata niat ingin selamat tersebut 
"dimainkan" oleh oknum yang berniat mengail di air keruh. 

            Lantas bagaimana mengeliminasi hal ini di kemudian hari? Bukankah 
korupsi telah menjadi habit bagi masyarakat Indonesia? Berdasarkan penelitian 
yang dilakukan oleh beberapa lembaga pemantau korupsi tingkat dunia, Indonesia 
masuk dalam peringkat keenam, dan pelaku korupsi terbanyak adalah kalangan 
birokrat. Oleh karena itu, untuk membersihkan bangsa ini dari korupsi yang 
telah menjadi habit, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membersihkan 
birokrat dari oknum pelaku korupsi. 

            Rekrutmen di seluruh instansi harus dilakukan dengan fair, 
berbasiskan kompetensi dan mencatat track record seseorang dari mulai awal 
berkarier hingga akhir masa tugasnya. Informasi tentang track record ini pun 
bisa diakses langsung oleh masyarakat, sehingga rakyat bisa ikut memilih 
seorang pejabat dari tingkat yang paling awal, di sebuah instansi sekalipun. 

            Memang akan memakan waktu lama, namun bila hal ini dilakukan 
minimal 5 tahun mendatang, bisa diharapkanbisa diharapkan Indonesia sudah tidak 
masuk dalam negara paling korup di dunia. Semoga! *** 

            Penulis wartawan Harian Umum Suara Karya.  
     
     


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




Kirim email ke