http://www.gatra.com/artikel.php?pil=23&id=89516


Departemen Luar Negeri Main Ganda Dana Visa

SURAT itu dikirim dari Stockholm, Swedia, sebuah kota resik yang teramat jauh 
dari Jakarta. Isinya dua lembar, dibungkus sampul putih. Yang dituju adalah 
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Isinya masalah amat serius, menyangkut 
perilaku minus staf Kedutaan Besar Indonesia di Stockholm.

"Pak Yudhoyono, kami minta perhatian Anda karena berdasar bukti yang kami 
terima, terdapat indikasi kuat terjadi korupsi di Kedutaan Indonesia di 
Stockholm. Setiap warga Swedia yang mengajukan visa, ongkosnya dilipatduakan. 
Separuh di antaranya masuk kantong pribadi pejabat dan staf kedutaan." 
Pengirimnya adalah Aviz Stockholm, nama samaran anggota LSM anti-korupsi di 
Stockholm. Aviz menyimpulkan, ulah menyimpang itu bukan perbuatan perorangan, 
karena pejabat lain menyetujuinya.

Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda tampak kaget ketika dihubungi di kantornya, 
kawasan Pejambon, Jakarta, Senin dua pekan lalu. Wajahnya terlihat menegang 
setelah mengetahui isi surat sesungguhnya. "Saya belum dengar hal ini. Akan 
saya cek," katanya. Ia kemudian meminta disambungkan dengan KBRI Stockholm, dan 
meminta laporan pejabat inspektorat jenderal. Namun Hassan mengaku, pada 
Desember 2004 ia mengumpulkan sejumlah perwakilan Indonesia di luar negeri. Di 
situ, ia memerintahkan para duta besar menghapus segala bentuk pungutan liar. 
"Saya kasih batas waktu sampai Januari 2005," ujarnya.

Aksi itu diperkirakan berlangsung sejak April 2004. Kata Aviz Stockholm, para 
staf konsuler yang biasa melayani permohonan visa warga Swedia yang akan 
berkunjung ke Indonesia selalu menyediakan dua slip tanda terima pembayaran 
visa.

Slip ganda ini dibuat dengan angka biaya berbeda. Di slip pertama, yang 
diberikan kepada pemohon visa, tertera angka 600 krona, sekitar Rp 700.000. Di 
slip kedua, yang jadi pegangan KBRI, tertulis angka resmi 350 krona, sekitar Rp 
450.000.

Sisanya, sebesar 250 krona atau Rp 350.000 untuk setiap pemohon visa, kemudian 
dibagi-bagi kepada staf bagian konsuler. Tiap hari kerja terdapat sekitar 50 
pemohon visa. Aviz menghitung, dalam sebulan diperkirakan bisa terkumpul 
minimal 312.500 krona, lebih dari Rp 406 juta. Lumayan! Di Swedia, tindakan 
seperti itu dapat dihukum hingga 20 tahun penjara. "Kami juga telah mengirim 
surat kepada Presiden Indonesia tentang hal ini," ujar Aviz.

Sebuah surat lain mengeluhkan lambannya pengurusan visa. Hanya mereka yang 
menyodorkan uang tip sebesar satu atau dua kali tarif resmi yang mendapat 
pelayanan ekspres. Hal ini bisa terjadi, antara lain, karena fasilitas visa 
kedatangan di bandara di Indonesia tak berlaku bagi warga Swedia. Mereka harus 
mengurus izin masuk ke Indonesia di KBRI Stockholm. Padahal, dua tahun terakhir 
ini, perwakilan Indonesia tak memiliki duta besar. "Kosongnya duta besar 
membuat para staf punya kesempatan luas untuk menyeleweng," tulis surat itu.

Menurut Inspektur Wilayah Eropa Departemen Luar Negeri, Trie Edi Mulyani, 
sebenarnya pihaknya telah memeriksa dugaan korupsi tersebut sejak Juni 2005. 
"Waktu itu, ditemukan penyimpangan pungutan visa," ungkap Ninik, panggilan 
akrab Trie Edi Mulyani.

Dua staf konsuler, yaitu Sri Agus dan Eri Baheram, lalu dipindahkan ke bagian 
lain. Masa penempatan bagi Kepala Bidang Konsuler, Partogi Samosir, juga 
dipercepat. Bahkan belakangan, para pelaku diperintahkan mengembalikan uang 
yang mereka tilap ke negara. "Besarnya waktu itu sekitar 20.000 krona," kata 
Ninik.

Saat itu, metode pemungutan duit para staf konsuler masih terbilang amatir, 
berupa pemberian tip secara spontan dalam pengurusan visa. "Tak seperti yang 
dilaporkan sekarang," ucap Ninik. Namun, menurut penelusuran Gatra, sudah sejak 
awal penilapan itu dilakukan dengan metode dua slip berbeda.

Kamis pekan lalu, Tim Pembantu Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan 
Departemen Luar Negeri menggelar rapat untuk menuntaskan "Stockholm-gate" ini. 
Tim itu beranggotakan, antara lain, Kepala Biro Kepegawaian Muhammad Ibnu Said 
dan Kepala Biro Administrasi Yuri Thamrin. Mereka merumuskan jenis sanksi 
berdasar rekomendasi Hassan Wirajuda, yang menginginkan adanya sanksi lebih 
keras. "Mereka sudah melanggar perintah saya untuk menghentikan pungutan liar," 
kata Hassan.

Hasilnya: dua staf lokal KBRI, Eri dan Sri Agus, dipecat. Partogi Samosir, yang 
baru bertugas satu setengah tahun di Swedia, ditarik ke Pejambon. Belum tahu, 
apa posisi baru sang diplomat.

Hendri Firzani dan Bernadetta Febriana
[Nasional, Gatra Nomor 50 Beredar Senin, 24 Oktober 2005] 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke