http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=221726&kat_id=16 Jumat, 18 Nopember 2005
Kontraksi Ekonomi dan Barisan Pengangguran Oleh : Kemal Syamsuddin Pemerhati Kebijakan Publik dan Direktur Eksekutif Institute for National Studies (National Institute) Kondisi ekonomi makro makin tidak menyenangkan. Keputusan Pemerintah menaikkan harga BBM rata-rata 108 persen, hanya sukses menyelamatkan APBN dalam jangka pendek, tapi menimbulkan berbagai persoalan baru yang susul-menyusul dan justru membuat keadaan semakin runyam. Pada gilirannya, malah menyebabkan posisi APBN 2006 dan seterusnya tidak aman dan makin tidak pasti. Persoalan baru itu, antara lain, melonjaknya angka inflasi Oktober sebesar 8,7 persen. Akibatnya, inflasi periode Januari-Oktober 2005 menjadi 15,65 persen. Sementara inflasi tahunan (year on year) Oktober 2004-Oktober 2005 mencapai 17,89 persen. Angka ini sudah jauh di atas asumsi 8,6 persen di APBN-P 2005. Bahkan, diperkirakan sampai akhir tahun ini laju inflasi kumulatif 2005 akan mencapai lebih dari 18 persen, mengingat masih ada beberapa faktor musiman pada November dan Desember. Lonjakan inflasi ini menimbulkan dampak baru berupa kenaikan suku bunga dalam negeri dan memaksa otoritas moneter menaikkan BI rate dari 11 persen menjadi 12,25 persen. Keputusan itu tidak dapat dihindari karena BI harus mempertahankan nilai riil rupiah, agar kepercayaan masyarakat terhadap mata uang nasional tetap dapat dipertahankan. Karena itu, dengan pertimbangan masih akan berlanjutnya lonjakan inflasi, sangat mungkin BI terus menaikkan BI rate ke kisaran 14-15 persen sampai akhir tahun. 9+87+Inflasi juga telah menyebabkan naiknya beban fiskal yang berasal dari indeksasi Surat Utang Pemerintah (Obligasi Negara) yang diterbitkan Pemerintah kepada BI. Lonjakan utang akibat indeksasi ini tentu saja menyebabkan efek penghematan fiskal yang diraih dari penghapusan subsidi BBM jadi kurang berarti. Sebab pada saat yang sama, Pemerintah harus menanggung pengeluaran tambahan untuk memenuhi kewajibannya kepada BI. Kemampuan Pemerintah memenuhi kewajibannya tentu saja akan sangat mempengaruhi kredibilitas Pemerintah di mata pelaku pasar. Pasalnya, sebagian surat utang yang diterbitkan Pemerintah, yaitu Surat Utang Negara, telah diperdagangkan di pasar obligasi nasional. Kegagalan atau penundaan pemenuhan kewajiban keuangan Pemerintah kepada BI akan langsung mempengaruhi kepercayaan pelaku pasar obligasi terhadap kredibilitas pemerintah. Persoalan lainnya adalah kenaikan suku bunga BI rate telah dan masih akan mendorong kenaikan suku bunga perbankan baik simpanan maupun kredit. Pengaruh BI rate terhadap suku bunga perbankan sangat signifikan, mengingat BI rate sebagai indikator moneter menjadi acuan perbankan dalam menentukan suku bunga pasar. Saat ini suku bunga simpanan perbankan nasional sudah merambat ke kisaran 11,5 persen-12,5 persen. Sedangkan suku bunga kredit telah naik ke kisaran 16 persen-17,5 persen. Kenaikan ini telah terjadi sejak awal September, sebagai antisipasi perbankan terhadap lonjakan inflasi. Karena diperkirakan BI rate masih akan meningkat, dengan sendirinya kenaikan suku bunga perbankan juga masih akan terus terjadi. Dengan demikian, tidak mustahil suku bunga simpanan akan bergerak ke kisaran 14 persen. Sedangkan suku bunga kredit juga masih mungkin naik hingga kisaran 20 persen, bahkan lebih. Kenaikan suku bunga perbankan tentu saja mendorong naiknya beban biaya bunga yang harus ditanggung dunia usaha debitor perbankan. Stress test BI menunjukkan, dunia usaha maksimal akan bertahan sampai kenaikan suku bunga 21 persen. Bila lebih, bisa dipastikan banyak perusahaan tak lagi mampu membayar cicilan utang kepada perbankan dan gulung tikar alias bangkrut. Tanpa menunggu suku bunga kredit 21 persen pun, saat ini banyak debitor kesulitan membayar cicilan kredit. Ini tecermin dari terus naiknya persentase kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) perbankan. Pada triwulan pertama 2005, rasio NPL masih 5,6 persen. Namun akhir triwulan kedua, rasio NPL sudah 7,9 persen. Pada awal triwulan ketiga, tepatnya akhir Juli, rasio NPL sudah 8,5 persen. Pembengkakan NPL ini mencerminkan semakin banyaknya debitor yang kesulitan memenuhi kewajibannya, sehingga kualitas kreditnya menurun, bahkan macet. Kenaikan NPL ini tentu patut disesalkan, karena terjadi sebelum kenaikan harga BBM Oktober. Setelah kenaikan harga BBM, sangat mungkin rasio NPL akhir tahun lebih dari 9,5 persen. UKM terpuruk Kenaikan rasio NPL tidak mustahil, mengingat korban kenaikan harga BBM kali ini banyak berasal dari kalangan usaha kecil menengah (UKM). Padahal, saat krisis 1998, sektor UKM berhasil bertahan dan bahkan menjadi peredam dampak sosial ekonomi krisis. Keberhasilan itu relatif sulit terulang kembali tahun ini dan masa datang. Sulitnya UKM bertahan dapat dimengerti, karena terpukul langsung oleh dampak kenaikan harga BBM. Sebagian besar UKM adalah konsumen minyak tanah yang harganya naik 300 persen. Padahal minyak tanah adalah komponen utama dalam proses produksi mereka. Bukan hanya itu, konsumen produk-produk UKM umumnya adalah konsumen akhir dan dari latar belakang sosial-ekonomi bawah dan menengah. Sehingga UKM sulit mentransfer kenaikan beban kepada konsumen dengan menaikkan harga jual produknya. Sebab konsumen juga mengalami tambahan beban dan penurunan daya beli. Akibat dilema ini, tidak sedikit UKM menghentikan kegiatan produksinya, sehingga turut menambah tingginya angka pengangguran. Tapi, kesulitan juga dirasakan perusahaan-perusahaan besar debitor perbankan. Ini tecermin dari data BPS yang memperlihatkan dampak kenaikan harga BBM terhadap tingkat pengangguran terbuka. Kenaikan harga BBM yang terjadi dua kali pada tahun ini, telah menyebabkan gelombang PHK pada industri tekstil, alas kaki, dan makanan. Padahal, tiga industri ini dikenal sebagai sektor industri padat karya. Tanpa memperhitungkan dampak kenaikan harga BBM, data BPS menunjukkan jumlah pengangguran Oktober seharusnya 11,2 juta orang. Akibat kenaikan harga BBM, jumlah pengangguran menjadi 11,6 juta atau 10,84 persen dari 106,9 juta angkatan kerja. Ini berarti telah terjadi kenaikan jumlah pengangguran sebesar 426 ribu orang, hanya karena kenaikan harga BBM. Ini tentu merisaukan. Pada Agustus 2004 saja, angka pengangguran mencapai 10,25 juta orang atau 9,86 persen dari jumlah angkatan kerja. Dibanding angka pengangguran terbuka per Oktober 2005, telah terjadi pembengkakan penganggur hingga 1,35 juta orang. Ini tidak bisa ditoleransi lagi! Karena tambahan pengangguran yang sangat besar berpotensi mengganggu stabilitas politik dan keamanan. Ancaman ini bukan main-main. Karena masih ada pengangguran setengah terbuka atau yang bekerja kurang dari 35 jam per bulan. Menurut hitungan LIPI pada 2004, jumlahnya 28,93 juta orang atau 27,5 persen dari total angkatan kerja. Sedikit guncangan ekonomi, status mereka merosot menjadi pengangguran terbuka. Dalam kondisi ekonomi makro yang semakin buruk, jumlah tenaga kerja yang bekerja kurang dari 35 jam per bulan akan meningkat. Karena pekerja penuh korban PHK menjadi setengah penganggur dan mencoba bekerja di sektor informal atau UKM. Namun, karena UKM menghadapi tekanan, jam kerja para pekerjanya juga tidak bisa lebih dari 35 jam per bulan. Dengan tambahan angka pengangguran terbuka 1,35 juta orang itu saja, keadaannya sungguh memprihatinkan. Sebab kian menjauhkan posisi Pemerintah dari realisasi janji-janjinya, yaitu menargetkan setiap satu persen pertumbuhan ekonomi menyerap sekitar 427 ribu-600 ribu tenaga kerja. Target optimistis itu memang sengaja disusun untuk memenangkan kampanye pemilu dan meraih simpati publik di masa awal pemerintahan. Padahal, kenyataan menunjukkan, beberapa tahun terakhir elastisitas dunia usaha menyerap tenaga kerja merosot menjadi 200 ribu-300 ribu tenaga kerja per satu persen pertumbuhan ekonomi. Penurunan elastisitas antara lain terjadi karena masih tingginya biaya ekonomi, terjadinya mekanisasi proses produksi yang lebih mengutamakan penggunaan mesin berteknologi tinggi dan menyisihkan penggunaan tenaga manusia. Mekanisasi proses produksi ini merupakan pilihan paling masuk akal untuk mengejar efisiensi proses produksi akibat tingginya biaya ekonomi yang harus ditanggung dunia usaha. Selain itu, penurunan daya serap tenaga kerja juga disebabkan investasi lebih banyak di sektor konsumsi dan jasa yang tak butuh banyak tenaga kerja. Hal ini sejalan dengan kenyataan yang menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi 1999-2005 lebih banyak didorong sektor konsumsi. Kontraksi ekonomi Bila setiap persen pertumbuhan ekonomi menyerap tenaga kerja, seharusnya terjadi penurunan jumlah pengangguran. Tapi karena selama 2005 terdapat penambahan angka pengangguran hingga 1,35 juta orang, maka sebenarnya bukan terjadi pertumbuhan ekonomi, melainkan kontraksi ekonomi. Dengan logika ini, bila menggunakan angka optimistis, maka sebenarnya telah terjadi kontraksi atau penyusutan ekonomi sebesar 2,25-3,16 persen! Tapi bila memperhatikan realitas penurunan elastisitas daya serap tenaga kerja tadi, maka sesungguhnya telah terjadi kontraksi ekonomi hingga 4,5 persen hingga 6,75 persen! Apapun angka yang dipilih, yang terjadi tetap saja kontraksi ekonomi. Alih-alih berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,6 persen per tahun hingga 2009 dan menurunkan pengangguran terbuka dari 9,6 persen menjadi 5,5 persen, yang terjadi justru kebalikannya. Karena kebijakan harga yang gegabah, telah terjadi penyusutan ekonomi dan membengkaknya jumlah pengangguran. Sungguh, ironi yang merisaukan. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/uTGrlB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/