http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/11/25/o2.htm
Kalau kita menilai secara jujur, dari pemerintah yang satu ke pemerintah berikutnya, selama ini memperlakukan pendidikan sangat tidak adil. Apresiasi pemerintah terhadap prestasi pendidikan sangat tidak memadai. ------------------------------ Pro-Kontra RUU Guru dan Dosen Oleh Laili Ima Fahriani ANGGOTA DPR khususnya Komisi X dengan melibatkan organisasi PGRI tengah membahas RUU Guru dan Dosen yang rencananya diundangkan bertepatan dengan Hari Guru Nasional, 25 November 2005 ini. Namun ditunda karena banyaknya reaksi yang muncul. RUU yang digodok ini terdiri atas 14 bab dan 42 pasal dan di antaranya terdapat pasal-pasal yang sangat menggembirakan bagi para guru, yaitu pasal-pasal yang berkaitan dengan kesejahteraan dan fasisilitas yang akan diperoleh guru jika RUU ini jadi undang-undang. Dua pasal yang berkaitan dengan hal di atas yaitu pasal 14 berbunyi: "Gaji pokok guru minimal dua kali lipat dari gaji pokok pegawai negeri non-guru untuk golongan yang sama". Bunyi pasal 11 "Anak guru dan dosen baik negeri maupun swasta mulai tingkat SD sampai perguruan tinggi dibebaskan dari biaya". ------------------------------------ Apa reaksi masyarakat dengan RUU Guru dan Dosen ini? Ternyata masih baru dalam proses tahapan pembahasan saja, sudah beraneka macam tanggapan baik yang pro maupun yang kontra. Para guru swasta protes karena gaji mereka tidak diatur di dalam RUU tersebut. Forum Rektor tidak setuju, karena hanya faktor ketersinggungan sebab pembahasan RUU ini tidak melibatkan mereka. Pegawai negeri non-guru bereaksi keras menolak undang-undang ini dan bukan tidak mungkin pula mereka akan menuntut kenaikan gaji yang sama dengan guru. Bahkan, ada selentingan tudingan bahwa sengaja pemerintah dan DPR mengangkat citra guru disamakan dengan profesi-profesi yang lain, hanya sekadar upaya untuk mendapatkan kembali empati dari masyarakat khususnya guru dan dosen di saat track record mereka jatuh akibat menaikan harga BBM yang sangat tinggi yang belum pernah dilakukan oleh pemerintah sebelumnya. Kalau kita menilai secara jujur, dari pemerintah yang satu ke pemerintah berikutnya, selama ini memperlakukan pendidikan sangat tidak adil. Apresiasi pemerintah terhadap prestasi pendidikan sangat tidak memadai. Pemenang olimpiade sains (fisika, kimia, matematika, biologi) misalnya, hanya dihargai Rp 10 juta, bandingkan dengan bangunan fisik buat kemajuan olah raga yang sampai trilyunan rupiah. Akibat perlakuan semacam ini, membuat kualitas pendidikan kita jauh tertinggal dari negara-negara tetangga kita. Kalau sekarang pemerintah telah menyadari kekeliruannya, dan untuk menebus kekeliruan itu mereka ingin mengangkat citra guru lewat suatu undang-undang berupa peningkatan kesejahteraan guru, pemberian fasilitas bebas biaya pendidikan bagi anak-anaknya, kesamaan profesi antara guru dan dosen, kenapa kita tidak sambut dengan baik. Kalau tingkat kenaikan kesejahteraan guru yang kita persoalkan dalam RUU ini, kenapa sebelumnya kita tidak persoalkan tunjangan jaksa dan hakim yang jumlahnya jutaan rupiah yang sampai sekarang kinerjanya, khususnya dalam menangani kasus korupsi masih jauh dari harapan? Kenapa sebelumnya kita tidak persoalkan gaji direktur Pertamina yang Rp 125 juta per bulannya serta gaji karyawannya di atas rata-rata gaji PNS? Kenapa kita diam melihat kesenjangan nilai gaji antara seorang profesor di perguruan tinggi (Rp 2,6 juta) dengan anggota DPR di Senayan (Rp 48 juta). Masih banyak bentuk kesenjangan yang terjadi di negeri ini. Tidak Berhasil Keinginan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru barangkali belajar dari pengalaman kegagalan pemerintah-pemerintah sebelumnya dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Upaya-upaya yang telah dilakukan selama ini dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan sudah banyak dilakukan. Mulai dari program pemberantasan buta huruf lewat Gerakan Nasional Orangtua Asuh (GN OTA), wajib belajar 9 tahun, reformulasi kurikulum sejak th 1994, Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) dan terakhir penerapan Kurikulum Berbasis Kompotensi (KBK). Semua program ini faktanya di lapangan belum memadai untuk mengkatrol kualitas pendidikan nasional, boleh dikatakan tidak berhasil. Bahkan, sistem KBK yang baru diterapkan setahun secara nasional, mendapatkan kendala-kendala di lapangan terutama sekolah-sekolah yang tergolong minim fasilitas sarana dan prasarana. Belum lagi kendala dari para guru yang tidak fokus hanya untuk mengajar lantaran mencari sampingan di luar sebagai tambahan dana untuk keluarga, di saat yang sama mereka dituntut untuk menilai siswa-siswnya berpuluh-puluh item saat mengajar di kelas. Berdasarkan fakta di atas, maka upaya dalam meningkatkan kualitas pendidikan tidak cukup hanya mengutak-atik metode atau sistem pendidikan yang akan diterapkan, tetapi yang lebih utama harus diperhatikan adalah komponen-komponen anak bangsa yang terlibat langsung di dalam proses pengelolaan pendidikan, baik sebagai objek maupun sebagai subjek. Komponen yang paling bertanggung jawab terhadap pendidikan di negeri ini adalah guru dan dosen. Selama ini, khususnya guru, diperlakukan sangat tidak adil. Guru dituntut meningkatkan keprofesionalannya, dituntut kreatif, inovatif dalam menjalankan kegiatan belajar-mengajar. Gonta-ganti kurikulum dari satu menteri pendidikan ke menteri pendidikan yang lain, mau tidak mau harus mereka terapkan. Ada siswa punya nilai jelek, tidak naik kelas, tidak lulus, sasaran utama yang disalahkan oleh orangtua siswa adalah guru. Di tengah derasnya tuntutan demi tuntutan ini, adakah pihak yang mempertanyakan: "Imbangkah gaji dan insetif yang diterima oleh guru dengan setumpuk beban tugas yang kita bebankan di pundak mereka?" Era sekarang tidak relevan lagi menyemangati guru untuk bekerja optimal hanya sebatas penghargaan berupa slogan "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa". Jika ingin melihat kualitas pendidikan berubah ke arah yang lebih baik, maka sekali lagi salah satu solusinya adalah "tingkatkan kesejahteraan guru". Upaya peningkatan kesejahteraan guru oleh pemerintah tinggal selangkah lagi. Disetujui atau tidak, tinggal kita menunggu hasil akhir penggodokan RUU di gedung DPR Senayan. Kalaupun nanti disetujui, khususnya isi pasal yang termuat pada awal tulisan ini, maka sudah dapat dipastikan akan mendapatkan reaksi yang cukup luas di kalangan masyarakat, terutama para pegawai negeri sipil non-guru. Sejarah bangsa lain membuktikan bahwa negara akan maju manakala gurunya diperhatikan. Saat Nagasaki dan Hiroshima dibombardir oleh Amerika dan sekutunya, pertanyaan pertama yang dilontarkan oleh pemerintah Jepang saat itu adalah "Masih ada berapa guru yang hidup?" Dan, sekarang Jepang termasuk salah satu negara yang termaju di dunia. Penulis, pemerhati sosial dan pendidikan, tinggal di Malang [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/uTGrlB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/