http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=130883


PROYEKSI POLITIK
Kekuatan Politik Cenderung Monolitik 



Senin, 26 Desember 2005
JAKARTA (Suara Karya): Menebak dinamika politik di tahun 2006 tidaklah sulit. 
Hasil telaah sejumlah lembaga kajian menyimpulkan, stabilitas politik hampir 
tak ada masalah. Kekuatan-kekuatan politik penting -mereka yang memiliki 
pengaruh politik yang menentukan dalam sebuah proses politik, seperti partai 
politik, militer, civil society, bahkan pers- telah "dijinakkan" Presiden 
Susilo Bambang Yudhoyono. 

Menurut kajian Akbar Tandjung Institute, reposisi dan rekonsiliasi politik yang 
cenderung pro-pemerintah tidak saja telah mengubah konstelasi politik nasional, 
melainkan juga mengarah pada kecenderungan iklim politik yang monolitik. Tidak 
ada kekuatan-kekuatan politik yang menjadi kelompok penyeimbang terhadap 
kekuasaan. DPR pun kehilangan kegarangannya. Posisi PDI Perjuangan sebagai 
oposisi yang kesepian juga sulit bisa "mengganggu" kekuasaan secara signifikan. 
Akibatnya mudah diduga, bahwa langkah politik duet SBY-JK (Jusuf Kalla) hampir 
tak ada hambatan berarti, kecuali sebagai seremoni demokrasi saja. 

Fenomena menguatnya stabilitas politik pasca-reshuffle kabinet di penghujung 
2005 itulah yang dikhawatirkan Direktur Eksekutif SSS, Sukardi Rinakit, akan 
munculnya bayang-bayang politik "Mataram". 

Pertanyaannya, apakah stabilitas politik otomatis akan memberi manfaat yang 
besar bagi rakyat? Jawaban pertanyaan ini bakal mewarnai politik di tahun 2006. 
Secara normatif, stabilitas politik mestinya memberi kesempatan luas kepada 
pemerintah untuk mewujudkan cita-cita mulianya, yakni melindungi dan 
menyejahterakan rakyatnya. Namun, pengalaman kekuasaan di era rezim Orde Baru 
ternyata tidak selinier itu. Sebab, stabilitas politik yang kondusif, justru 
menempatkan perekonomian nasional di tangan segelintir orang saja, sementara 
rakyat hanya menunggu tetesan rezeki sisa. 

Tentu saja, buru-buru memvonis pemerintah tidak pro-rakyat juga tidak fair, 
karena hal itu masih harus dibuktikan. Tapi, kehadiran para penentu kebijakan 
yang berlatar belakang entrepreneur di pentas politik menjadi ujian tak ringan 
untuk menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat. 

Pengalaman kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), terutama harga minyak 
tanah, kata pakar komunikasi politik UI, Effendi Gazali, jelas menunjukkan 
logika kekuasaan yang tidak pro-rakyat. Logika itu makin sulit dimengerti, saat 
kenaikan harga BBM disusul kenaikan gaji/tunjangan para pejabat. 

Jadi, pergumulan para politisi berlatar belakang entrepreneur akan cukup 
menonjol di tahun 2006. 

Bahkan, dalam pandangan Ketua Lembaga Kajian Pedoman Indonesia Fadjroel 
Rachman, kiprah kelompok ini menentukan arah kebijakan publik, dan kebijakannya 
selalu dikaitkan dengan kepentingannya. Kelompok ini sedikit banyak menentukan 
aktivitas gerakan mahasiswa dan LSM. Tim ekonomi di bawah komando Boediono yang 
pro-pasar, akan membuat para entepreuneur sibuk memenuhi hasratnya. Kesibukan 
mereka ini yang membuat mahasiswa, aktivis dan LSM kesepian, sehingga daya 
tahan gerakan mahasiswa dan aktivis tidak panjang. Oleh karena itu, sulit 
menonton demonstrasi yang memacetkan jalanan, karena demonstrasi di tahun 2006 
bersifat sporadis. 

Kehadiran kekuatan baru dari kalangan entepreuneur ini, juga mempengaruhi dan 
menentukan orientasi media massa, baik cetak maupun elektronik. Di tangan para 
pemilik modal yang dekat dengan kekuasaan, media menjadi terbatas untuk bisa 
melakukan fungsi watchdog-nya. Itulah tantangan media massa di tahun 2006. 

Namun demikian, sekalipun stabilitas politik sangat menjanjikan, situasi di 
tahun 2006 bukan tanpa dinamika. Selain dinamika internal para politisi yang 
berlatarbelakang entepreuneur, di tahun 2006 tetap akan diwarnai 
ketidakpuasan-ketidakpuasan rakyat kebanyakan. 

Ancaman PHK, jumlah pengangguran dan problem semacam itu merupakan isu serius 
yang akan dihadapi penguasa di tahun 2006. Sekalipun isu-isu non-ideologis itu 
tak menggoyah stabilitas, tapi cukup menentukan sejauhmana kredibilitas elite 
selanjutnya. Bila di sana-sini muncul isu-isu non-ideologis itu, maka pada 
saatnya akan menjadi akumulasi isu yang bisa saja berubah menjadi "ideologi" 
bersama untuk melakukan perlawanan atau mendekonstruksi. 

Dalam situasi yang tidak menguntungkan bagi rakyat, peran para kaum intelektual 
menjadi sangat penting. Para kaum intelektual dituntut untuk tidak hanya berada 
di menara gading. Independensi kaum intelektual merupakan energi dahsyat untuk 
melakukan perubahan. 

Tokoh Angkatan 66 Soegang Sarjadi mengungkapkan, selagi ada kaum intelektual 
yang independen, dan itu banyak, maka tidak perlu pesimis berlebihan terhadap 
masa depan bangsa. "Negara ini sangat kaya, dan mereka-mereka (kaum 
intelektual) itulah yang akan mencerahkan, sehingga terjadi perubahan seperti 
yang diharapkan," katanya. 

Peneliti LIPI Syamsuddin Haris mengatakan, jika elite begitu kuat, tapi situasi 
ekonomi dirasa berat oleh rakyat, dan media massa tak bisa menjalankan 
fungsinya, maka akan terjadi penguatan publik secara alami. "Kalau rakyat 
susah, tidak ada lagi rasa takut," kata dia. 

Syamsuddin juga memperkirakan, rivalitas antara SBY-JK tetap akan mewarnai 
perpolitikan nasional, karena makin dekat dengan konsolidasi partai-partai 
politik untuk Pemilu 2009. 

Lepas dari soal situasi dan dinamika politik, sejatinya masa depan bangsa di 
tahun 2006 juga bergantung pada kepemimpinan SBY. Dari perspektif tokoh, SBY 
sangat menentukan ke arah mana bangsa ini akan menuju. Jika SBY memiliki 
komitmen untuk rakyat, maka SBY bisa mewujudkan itu, meski bukan tanpa 
tantangan. 

Tapi soal SBY, mantan wartawan yang juga mantan anggota DPR, Ichsanudin Noorsy 
tidak yakin, SBY akan mampu mensejahterakan rakyat, sekalipun situasi politik 
kondusif. Sebab, sikap peragu SBY tidak bisa dihilangkan begitu saja. Bahkan, 
kata Noorsy, Boediono akan menyerahkan banyak keputusan kepada SBY, sementara 
SBY ragu-ragu memutuskan. Pada saat yang sama, SBY menghadapi ketidakpuasan 
militer yang secara korps tidak dihormati, karena SBY membiarkan Ryamizar 
Ryacudu. 

Untuk itu, Presiden tetap masih harus mendengarkan kritik-kritik dan 
menanggapinya tidak secara emosional dan membangun komunikasi politik yang 
elegan, tanpa melulu terjebak oleh link politiknya. (Hanif Sobari)

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Know an art & music fan? Make a donation in their honor this holiday season!
http://us.click.yahoo.com/.6dcNC/.VHMAA/Zx0JAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke