Cerita Kisah Mualaf Cina Mengharu Biru    Kirimkan Ini lewat Email
<http://www.blogger.com/share-post.g?blogID=5483747148928992268&postID=3\
943758222224432473&target=email> BlogThis!
<http://www.blogger.com/share-post.g?blogID=5483747148928992268&postID=3\
943758222224432473&target=blog> Berbagi ke Twitter
<http://www.blogger.com/share-post.g?blogID=5483747148928992268&postID=3\
943758222224432473&target=twitter> Berbagi ke Facebook
<http://www.blogger.com/share-post.g?blogID=5483747148928992268&postID=3\
943758222224432473&target=facebook>         [Gadis cantik cina]
Ilustrasi gadis cina(foto:english.sina.com)
Kisah cerita di bawah ini judul aslinya : Kisah Cinta Sejati Wanita
Mualaf, kisah cerita ini  cukup panjang dan mengharu biru dan bila Anda
ingin membaca kisah ini  secara serius tolong sediakan tisu. Pesan buat
Anda : jangan pernah  malas untuk membaca karena dengan membaca kamu
akan terhindar dari  segala macam kebodohan, kesombongan, fitnah,
mencampuri urusan orang  lain dan sebagainya. Insyah Allah kedepannya
Anda akan menjadi orang  bijaksana.

Sebelum  mulai, izinkan aku mohon maaf bila ada pihak tak berkenan
terutama  keluargaku. Untuk itu nama dan tempat disamarkan. Aku ucapkan 
terimakasih untuk Retno (samaran) mahasiswi Universitas T yang telah 
sudi menulis. Semoga  menginspirasi  pembaca atau menguatkan orang yang 
mengalami  seperti  aku. Allah limpahkan rahmat dan Hidayah-NYa pada
kita, amiin!.

Profile

Panggil  aku Mawar usia 30-an lahir di kota P, pulau  di seberang pulau
Jawa  sebagai bungsu dari 4 bersaudara. Kami keluarga Cina generasi ke-4
imigran ke Indonesia. Kakek buyut pendatang dari negeri jauh di utara 
pada awal abad 20.

Menurut cerita,  kakek buyut berjualan kebutuhan pokok gula, garam beras
dll,  keluar-masuk kampong dengan pikulan.   Bisnis keluarga berkembang
pesat  setelah pemerintah menggalakkan usaha yang dilakukan bangsa
sendiri  (pribumi).

Saat itu ada istilah  Ali-Baba. Ali panggilan pribumi dan Baba /
pebisnis Cina. Pengusaha  pribumi diberi kemudahan izin usaha bahkan
izin impor, tapi umumnya  kesulitan modal. Sementara banyak etnis Cina
modalnya kuat membeli izin  usaha dari pribumi, sehingga memudahkan
bisnis expor-impor ke Singapura,  Malaysia dan Hongkong yang dikuasai
etnis kami.

Bisnis  keluarga makin besar, merambah semua bidang;  pertambangan,
emas,  perkebunan dan lainnya.  Kekayaan keluarga kami diatas rata-rata
orang  kaya Indonesia, above than ordinary rich.

Harta  keluarga amat melimpah hingga orangtua cemas  seandainya kami 
sekeluarga (tiba-tiba) mati dan tidak ada yang mengurus harta kami. 
Untuk itu kami sekeluarga tidak pernah melakukan perjalanan pesawat 
bersama-sama. Bila liburan bersama, biasanya kami dibagi 2-3 flight. 
Papa-mama satu pesawat sisanya dibagi 2 flight. Sehingga bila terjadi 
musibah, ada anggota keluarga yang  tetap melanjutkan bisnis.

Aku bercerita tentang keluarga sebab sangat terkait dengan kisah
selanjutnya.

Papa  lahir dan dibesarkan di kota P. Setelah lulus SMA studi bisnis di 
negeri H (Hongkong). Begitu kembali papa menjadi businessman handal, 
banyak relasinya di berbagai negara. Papa rendah-hati, pendiam, bicara 
terukur dan seperlunya serta  jarang marah. Mama dari pulau lain yang 
menjadi karyawati perusahaan kakek sebelum bertemu papa. Mama orangnya 
keras, pintar, lincah, banyak pergaulan hingga kadang kami fikir, papa 
sepertinya takluk pada mama.

Banyak kebijakan perusahaan berasal dari ide mama dan selalu sukses.
Keduanya memang pasangan  serasi dan saling mengisi.

Mengenal Islam

Masa  kecilku penuh kebahagiaan. Dari SD hingga SMA aku sekolah swasta 
terkemuka, siswanya banyak anak bupati, gubernur atau pejabat. Aku pun 
berbaur tanpa memandang golongan, agama dan ras. Kadang aku diundang ke 
rumah mereka (anak bupati/gubernur) sehingga kenal dekat keluarganya dan
kelak bermanfaat buat perusahaan kami.

Di  sekolahku ada pelajaran agama untuk setiap pemeluknya. Jika ada 
pelajaran agama tertentu, penganut agama lain diizinkan keluar, tetapi 
boleh juga tinggal. Misalnya ada pelajaran Islam, aku lebih suka tinggal
di kelas mendengarkan apa yang diajarkan.

Aku  non-Muslim, setiap minggu ke tempat ibadah kami, tetapi aku lebih 
tertarik dengan Islam. Ada semacam panggilan dari hati paling dalam, 
Awalnya kupikir hanya perasaan ingin-tahu. Tapi setiap mendengar adzan, 
hati aku selalu bergetar.

Rumah kami  sangat besar. Sering aku sendirian, orangtua sibuk di
Jakarta dan hanya  beberapa hari di rumah dalam sebulan. Kakak-kakakku
masih kuliah di LN,  sehingga rumah dengan 6 kamar besar, hanya dihuni
aku sendiri. Pembantu,  sopir dan satpam tinggal di pavilion terpisah
dengan rumah induk. Di  kesunyian hati, aku merasa sejuk setiap
mendengar ayat Quran yang kadang  tidak sengaja aku dengarkan di TV.

Aku  makin tertarik dengan pelajaran Islam. Melihat ibu guru mengenakan 
kerudung dan wajah bersih bersinar membuat hati merasa sejuk. Dengan 
melihat wajah ibu guru saja, aku merasakan damai. Tanpa sadar akupun 
mencatat apa yang diajarkan, aku hapal ayat-ayat pendek. Semua terjadi 
begitu saja dan tak bisa dicegah. Pernah ibu guru menghampiri aku yang 
secara refleks sedang mencatat pelajaran tentang HAJI di papan tulis.

Beliau  tahu aku non-muslim. Begitu mendekati tempat duduk aku. Jantung 
berdebar keras membayangkan diusir dari kelas. Ternyata hanya tersenyum 
ramah melihat catatanku. "Insya Allah kelak Mawar bersama ibu 
melaksanakan ibadah Haji ya…."

Hubunganku  dengan Ibu Aisyah (samaran) makin akrab, aku tidak sabar
menanti hari  pelajarannya. Hubungan itu bagai anak dan ibu. Meski aku
juga tetap  mengikuti pelajaran agamaku, tapi lebih banyak melamun
bahkan tidak  mencatat sama sekali.

Sebagai gadis  remaja tinggi 160 cm sedang mekar dan giat cari pacar.
Banyak komentar  teman; tubuhku indah, proporsional, wajah oriental dan
akan banyak  menarik perhatian laki. Tapi saat itu aku tak tertarik
dengan pria  seetnis. Sebaliknya setiap Jumat aku suka melihat siswa
muslim ibadah  shalat Jumat, hati langsung bergetar membayangkan andai
salah satunya  mau jadi pacarku. Dengan wajah bersih bersinar, basah
tetesan air wudhu,  melangkah ke masjid di seberang sekolah Ah...!
Indahnya membayangkan  wajah-wajah tersebut.

Aku tahu diri,  mana ada pribumi yang mau menjadi pacarku. Banyak yang
masih membedakan  ras. Pacaran dengan cina dianggap memalukan dan
menjadi cemohan.

Aku  pernah berpacaran dengan anak bupati. Dia memutuskan hubungan 
hanya  karena ayahnya calon Gubernur yang tidak mau anggota keluarga 
bisa  menghambat pencalonan, seperti anaknya berpacaran dengan cina.
Alasannya  sangat mengada-ada tapi aku sadar; orangtuanya tentu tidak
rela anaknya  berhubungan terlalu jauh denganku yang juga beda agama.

Tapi  hatiku sudah bulat kelak punya suami pribumi bahkan  bersedia
masuk  Islam. Keputusan ini kelak membawa hidupku melewati perjalanan
penuh  ujian dan cobaan.

Studi ke Australia dan Amerika

Lulus  SMA aku study ke Aussie (Australia) dan Amerika mengikuti 2
kakakku.  Tak banyak yang perlu diceritakan. Hampir 5 tahun kemudian aku
kembali  dengan gelar Master dan mengabdi untuk bisnis keluarga. Dalam
waktu  singkat profit perusahaan meningkat pesat, terus membesar -
merambah  banyak sektor bisnis.  Aku punya akses ke para elite daerah,
karena  semasa sekolah aku sudah mengenal keluarganya. Semua urusan
perizinan  aku selesaikan dengan mudah.

Aku  masih single di pertengahan usia 20-an. Banyak pria  berusaha 
mendekatiku, dari pengusaha muda sukses hingga pemilik perusahaan 
besar.  Namun hatiku tidak bergetar sama sekali.  Mencari suami itu 
mudah tapi aku ingin mencari soulmate.

Romantisme dalam Islam

Suatu  hari kantor mendapat staf baru dari kantor cabang di Jawa, 3
tahun  lebih tua dariku, wajah bersih dan etnis Jawa. Tutur-kata lembut,
sopan,  tinggi proporsional dan ahhh...! Ini dia. Dia muslim taat.
Wanita  sekantor tidak habisnya membicarakan dan berlomba  mendapatkan 
perhatiannya. Menurut laporan - dia amat rajin, jujur, berprestasi 
hingga dipromosikan ke posisi lebih tinggi dan satu divisi denganku.

Awalnya  aku jaga image sebagai anak Big Boss. Lama-lama hati enggak
bisa  bohong,..sedikit demi sedikit namun pasti...aku jatuh cinta. Suatu
saat  kami semobil dari kantor gubernur. Tiba-tiba dia meminta izin
shalat  Ashar di Masjid Raya. Dari dalam mobil,  kucermati ia berwudhu, 
melangkah ke masjid, shalat...Ahhh!. Andai saja aku kelak bisa mengikuti
di belakangnya.

Awalnya kami  memanggil  secara formal 'Pak' dan 'Ibu'.  Tapi lama-lama
secara tak  sengaja aku memanggil "Mas" karena aku sering melihat orang
Jawa  memanggil yang lebih tua, suami atau kakak dengan sebutan "Mas".
Dia  rikuh, tetapi lama-kelamaan terbiasa. Tapi itu aku lakukan bila
hanya  berdua, tidak di kantor. Aku meminta dipanggil 'Dik'  bukan 'Ibu
Mawar.'

Seperti  pepatah Jawa, "Witing tresno jalaran kulino" terjemahan bebas 
"Cinta  tumbuh karena terbiasa selalu bersama." Bayangkan bagaimana awal
cinta  kami!!!

Kami duduk di belakang sopir  mobilku.  Awalnya membahas berkas kerja,
kadang tidak sengaja tangan  kami bersentuhan. Dia secara sopan segera
menarik tangannya dan minta  maaf. Ahh!...sebal rasanya. Padahal aku
yang menginginkan. Tapi itu  tidak berlangsung lama, Akhirnya dia
takluk. Aku biarkan tangannya  memegang berkas lalu aku pura-pura
membahas sambil tanganku menyentuh  jari dan tangannya. Aku tidak pandai
pura-pura. Dengan berani kugenggam  jemarinya, lama-lama dia (sebut saja
Mas Fariz) merespon, menggenggam  tanganku...ahh!...!

Sering aku  pura-pura minta supir kembali dari suatu tempat, seolah ada
yang  tertinggal ... padahal hanya ingin berlama-lama dengan dia.

Suatu  saat aku pura-pura ketinggalan sesuatu, meminta sopir ke rumah.
Begitu  memasuki rumah orangtuaku, wajah Mas Fariz pucat. Dia gugup
karena  khawatir papa (Big Boss)  marah jika mengetahui pada jam kerja
mampir ke  rumahnya. Aku bilang tidak perlu takut, bukankah anak Big
Boss yang  membawanya.

Setahun berlalu. Hubungan  kami semakin erat tapi dia belum menyatakan
cinta. Mungkin takut  ditolak apalagi beda agama. Hingga suatu saat dia
menelpon mengajak  bertemu di restoran luar kota.  Dia meminta datang
sendirian tanpa  sopir.

Di restoran itu dia menyatakan  cinta...langsung saja kuterima.
Kukatakan aku bersedia memeluk Islam  dan sejak lama ingin masuk Islam,
jadi mas Fariz semoga menjadi  pembimbingku. Airmatanya meleleh. Seumur
hidup baru kali ini seorang  pria berlinangan airmata karena aku. Aku
tidak kuasa menahan airmata dan  yakin mendapatkan 'Soulmate.'

Di  kantor kami bekerja seperti biasa. Tapi di luar kantor kami sepasang
kekasih. Dia mengajari shalat dan sedikit doa. Dia memang lelaki taat, 
menjaga kesopanan dan tidak pernah melewati batas. Sehingga kadang aku 
yang menggoda, namun dia selalu bilang, sabar!...tunggu waktunya.  
Seribu kali sayang, serapat apapun ditutupi, sedikit demi sedikit bocor 
juga rahasia kami hingga  papa tahu ................

Tantangan Keluarga

Suatu  hari tiba-tiba papa datang ke ruangan aku, padahal amat sangat
jarang  terjadi, jika ada keperluan biasanya aku dipanggil. Mulanya papa
tidak  menanyakan hubungan aku dengan mas Fariz, tetapi sedikit demi
sedikit  topiknya mengarah kesana. Akhirnya papa menanyakan kebenaran
hubungan  itu. Aku tidak sanggup menjawab, wajah aku tertunduk. Papa
menatap dan  menunggu jawaban aku.

Aku tidak  sanggup berbohong atau menyangkal, sebaliknya jika bilang
"iya" aku  khawatirkan karir  Mas Fariz. Aku hanya bisa menangis ...
Esoknya, Mas  Fariz tidak hadir, dia dipindahkan ke Jawa. Akupun
kehilangan kontak.

Seminggu  kemudian mas Fariz bercerita di telpon bahwa setelah papa
menemuiku,   dia langsung menemuinya. Esok paginya dia harus kembali ke
kantor lama.  Keadaan semakin parah, setiap karyawan di kantornya sudah
tahu hubungan  kami. Banyak tuduhan kalau mas Fariz mengincar harta dan
kedudukan  dengan memacariku. Berulangkali dia sebut nama Allah,
bersumpah,  cintanya kepadaku bukan karena itu.

2  minggu kemudian dia resign, tetapi kami masih  berhubungan telpon.
Dia  mencari pekerjaan di perusahaan yang punya cabang di kota P agar
bisa  menemui aku.  3 bulan kemudian dia  mendapatkannya dengan  gaji
jauh  lebih kecil.  Aku amat terharu, dia korbankan karirnya demi aku.

Kami pun bebas berhubungan tidak peduli perkataan orang di kantor, tapi
papa kembali mengetahui dan kali ini mama turun tangan.

Mereka  tidak bedakan ras dan tidak keberatan bergaul dengan siapapun,
tapi  tidak bisa diterima jika aku masuk Islam dan mereka sudah curiga.
Maka  kujelaskan, aku sudah dewasa untuk mengambil keputusan hidup tanpa
tergantung papa-mama - jawaban yang membuat mereka murka.

Mereka  berkata, banyak orang rela mati demi merasakan rumah mewah,
sopir  tersedia tiap saat, mobil mewah, uang melimpah dan dihormati.
Mereka  katakan, tanpa mereka aku tidak akan pernah bisa memperoleh
kehidupan  seperti ini. Aku hanya menangis. Tapi hatiku bertekad apapun
yang  terjadi aku tidak akan meninggalkan Mas Fariz.

Aku  giat mendalami Islam. Saat istirahat kantor, aku pergi ke tokobuku 
besar di Mal untuk membaca buku Islam. Pernah aku mengajak rekan kantor 
ke tokobuku. Aku langsung ke rak buku Islam, dia ingatkan kalau aku ada 
di bagian rak buku Islam. Aku bilang memang benar, aku mau membaca 
tentang Islam.

Klimaks

Kedua  kakak laki-laki aku menikah dan menetap di Jakarta menjalankan
bisnis  kami  dan papa-mama sekarang lebih banyak tinggal di kota kami 
bersama  kakak perempuanku dan aku. Tapi hubungan aku dengan papa-mama
semakin  renggang, kakakku pun sudah terprovokasi dan menjauh.

Aku  dianggap bukan bagian keluarga dan tak diajak makan bersama di meja
makan. Pembantu  disuruh memanggilku untuk makan bila mereka  selesai 
makan. Makanan yang ada adalah sisaan mereka dan pembantu tidak 
diperbolehkan menambah. Akhirnya aku makan makanan sisa.

Jika  mereka makan ayam, aku makan ceker dan kepala saja. Bayangkan 
rasanya  sakit hati. Aku bersabar dan mas Fariz selalu mengingatkan
untuk  berbakti pada orangtua. Bisa saja aku akan di restoran  termahal
di kota  P.

Kakak perempuanku sebenarnya  kasihan padaku, sehingga kadang dia
menyimpan sebagian makanan yang baru  dimasak. Sehingga pada saat
mama-papa selesai makan, diam-diam  dihidangkan untuk aku. Secara tidak
terduga, mereka kembali ke  meja-makan dan memergoki. Langsung mama
rebut piringnya dan melemparkan  ke lantai. Sambil menyindir tidak perlu
kasihan sebab aku sanggup hidup  tanpa diberi makan mama-papa.

Ohh..!  Mereka rupanya sudah amat membenci. Hancur berkeping hati aku.
Aku hanya  menangis tetapi tidak menyesalI dan aku akan tetap bertahan.

Mas  Fariz menyarankan bicara baik-baik agar papa-mama luluh. Suatu
malam  ada kesempatan mendatangi mereka dan berbicara. Dengan tutur baik
aku  meminta maaf. Aku tumpahkan perasaan semuanya. Tapi justru itu
membuat  mereka bertambah murka. Mereka tuduh aku kena sihir dan
menyarankan aku  sadar.

Ya Allah! Aku sehat, Insya  Allah tidak ada satupun sihir. Semua
keinginan murni dari panggilan jiwa  yang tidak bisa aku cegah. Aku
jelaskan lagi,  bahwa aku sudah dewasa  hingga apapun keputusan bisa
kupertanggung-jawabkan. Aku bisa mandiri  jika dikehendaki. Pendirian
mereka pun tetap bahkan menantang, jika  sanggup hidup mandiri, sekarang
juga serahkan seluruh harta yang  aku  dapatkan selama hidup dengan
mereka.

Karena  tekad bulat, malam itu seluruh kartu credit, ATM, buku bank aku 
serahkan. Uang yang aku punya hanya yang tinggal di dompet. Sepertinya 
tinggal menunggu waktu untuk meninggalkan rumah. Esok paginya aku ada 
keperluan untuk membuka lemari besi tempat penyimpanan surat berharga 
keluarga. Berulangkali mencoba, aku tidak bisa membukanya.

Ternyata  nomor kombinasinya diubah. Padahal ada barang pribadi aku:
Ijasah,  perhiasan dan lain. Aku telpon papa tapi jawabannya sinis. Papa
menyindir kalau sanggup hidup mandiri, mengapa mau membuka lemari besi 
keluarga, pasti ada barang  yang mau dijual. Aku dikucilkan. Mereka 
menyiksa dengan caranya sehingga aku  menyerah. Aku mengadu ke mas Fariz
dan mengatakan akan minggat. Dia diam, lalu  berpesan jangan sampai 
putus hubungan keluarga.

Beberapa  hari kemudian aku tinggalkan rumah dan kos di dekat kantor.
Aku  berpamitan baik-baik pada mama-papa. Tetapi mereka menoleh pun
tidak.  Aku masih ada cukup uang di dompet. Aku bersumpah tidak akan
meminta  uang mereka.

Aku bertekad hidup  mandiri. Selama bekerja di perusahaan papa, secara
formal aku digaji  sesuai dengan posisiku. Tapi disamping itu setiap
bulan, aku mendapat  uang-saku dari papa hampir 20x lipat gaji resmi.
Sehingga penghasilan  sebulan cukup untuk hidup mewah selama setahun.
Seluruh simpanan bank,  mencapai 10 digit. Mungkin cukup biaya seumur
hidup.

Sekarang  aku tetap bekerja dengan harapan masih digaji. Tapi akhir
bulan aku  tidak mendapat sepeserpun. Saat kutanyakan ke pembayaran
gaji, ada  perintah menahan gajiku. Ya Allah, mereka lakukan cara apapun
agar  menyerah. Saat itu juga kutinggalkan perusahaan papa selamanya.

Start from Zero

Saat  kuadukan ke mas Fariz dia teramat sedih dan meminta maaf, karena
dia  hidupku menderita. Dia rela andai aku tak kuat untuk mundur. Aku
peluk  dia dan kupastikan keputusanku tidak berubah. Akupun semakin
ingin hidup  bersamanya. Saat itu hanya dia sandaranku. Dengan berurai
airmata, dia  tanya lagi, apakah rela menjadi muslimah dan menjadi
istrinya. Kuciumi  tangannya kukatakan kukorbankan kehidupanku hanya
untuk bisa hidup  bersamanya dan tidak akan menyesali.

Singkat  cerita, dengan diantar mas Fariz aku mengucapkan kalimat
syahadat di  sebuah masjid disaksikan imam dan beberapa jemaah masjid.
Dia mengajak  segera menikah di kota kelahirannya. Kebetulan tugasnya
dipindahkan ke  pulau Jawa.

Sebelum menikah kami  datangi rumah papa-mama. Tapi satpam di pintu
gerbang mengatakan kalau  dia diperintahkan tidak boleh membuka pintu
bila kami datang. Sebenarnya  ia mau membuka pintu. Tapi aku larang,
khawatir mencelakai pekerjaan  Biarlah aku saja yang menderita. Aku
tinggalkan secarik surat yang  isinya mohon doa restu bahwa aku akan
menikah dengan Mas Fariz. Aku  beritahukan ke pak satpam aku sudah
muslimah. Matanya berkaca-kaca saat  kukatakan aku mualaf.

Keluarga mas  Fariz menanyakan ketidakhadiran keluargaku di pernikahan
kami. Tapi  setelah mas Fariz bercerita, mereka memahami. Kami menikah
secara  sederhana. Keluarganya amat sangat menerimaku dengan hangat
tanpa  mempermasalahkan keturunan Cina. Ibu mertuaku amat sayang
kepadaku. Aku  amat sangat bahagia menjadi istrinya.

Aku  hidup di rumah sederhana, kulalui dengan penuh kebahagiaan dan aku 
tidak mengeluh sedikitpun dengan yang mas Fariz berikan. Aku tidak lagi 
bekerja, karena aku ingin mengabdi pada suamiku. Disamping itu semua 
ijasah masih tersimpan di lemari besi, aku tidak bisa melamar pekerjaan.
Aku pun ingin membuktikan bisa mandiri dengan suamiku.

Mas  Fariz amat sangat menyayangiku tiap pagi sebelum berangkat kantor
dia  memelukku. Tiap hari kubawakan 'lunch box' makan siang karena aku
tidak  mau dia makan makanan masakan orang lain. Aku sangat posesif,
ingin  memiliki dan melayani secara total. Tiap hari aku bangun sebelum
dia  bangun dan tidur setelah dia benar-benar tidur untuk memastikan dia
sudah benar-benar tidak perlu aku layani lagi. Aku siapkan celana, baju,
kaus kakinya tiap pagi sebelum berangkat kerja. Sehingga dia tidak 
perlu memikirkan pakaian apa yang harus dia pakai. Bahkan aku potong 
kukunya bila sudah panjang. Dia kujadikan pangeran bagi diriku.

Tiap  malam sebelum tidur, kami ngobrol dan saling mengajarkan bahasa.
Dia  mengajari bahasa jawa, sedangkan aku mengajari bahasa mandarin. Dia
amat  cepat belajar mandarin dalam waktu singkat dia menguasai kata-kata
yang  umum diucapkan, kadang mengajakku bicara mandarin di rumah. Memang
perusahaan tempatnya bekerja milik etnis Cina dan banyak berhubungan 
dengan keturunan Cina, sehingga bila berbahasa mandarin akan memberi 
keuntungan tambahan.

Suatu saat dia  pulang membawa motor, kantornya memberi pinjaman cicilan
motor. Memang  hanya motor, tapi aku bahagia sekali dengan yang dia
dapatkan.  Berulangkali dia minta-maaf tak bisa membeli mobil seperti
yang pernah  kumiliki. Aku katakan motor yang kita miliki jauh lebih
mewah dari  mobilku dulu. Karena motor ini bukan sekedar dibeli dengan
uang, tapi  juga dengan cinta.

Kehidupan  perkawinan kami teramat indah, kalau di rumah nyaris kami
tidak bisa  berjauhan. Tiap hari bagi kami adalah bulan madu. Setahun
kemudian lahir  anak kami. Bayi itu sebut saja 'Faisal'. Mas Fariz yang
membacakan Azan  dan iqomat sesaat setelah lahir. Aku merasa lengkap
kebahagiaanku.  Setiap hari bertambah bahagia bisa merasakan 2 orang
"Fariz" dalam  rumahku. Saat mas Fariz ke kantor, aku di temani Fariz
kecil. Aku  mencintai 2 orang yang sama darah dagingnya.

3  tahun anak kami hadir. Mas Fariz bercita-cita mendatangi orangtuaku, 
oma-opanya Faisal. Dia ingin perkenalkan cucu mereka dan menyatukan aku 
dengan papa-mama. Dia berharap dengan kehadiran Faisal, akan meluluhkan 
hati orangtuaku. Tapi tiap menelpon, papa-mama bersikap seperti dulu. 
Bahkan waktu kukatakan bahwa mereka  punya cucu dariku, mereka menjawab,
kalau mereka tak merasa punya keturunan dariku…Ohh! malangnya
anakku.  Aku teramat sedih, teganya papa-mama. Aku maklumi masih
membenciku, tapi  jangan pada anakku, cucu mereka.

Tidak Putus Dirundung Malang

Dia yakin papa-mama akan menerima kami. Sebelum harapan terpenuhi,
musibah mulai datang ....

Suatu  hari suamiku pulang lebih awal karena merasa nggak enak badan,
seperti  masuk angin. Aku menyuruhnya segera istirahat, tidur dan
memberi obat  penghilang sakit. Malamnya tubuh panas menggigil.
Keesokannya aku bawa  ke dokter dan dikatakan hanya demam biasa sehingga
hanya diberi obat  penurun panas. Tapi malamnya tubuh tetap panas,
menggigil dan mengigau.  Dia menolak untuk dibawa ke RS bilangnya demam
biasa.

Hari  ke-4 kondisinya parah dan pingsan, dari hidung keluar darah. Di RS
Hasil periksa darah, trombosit tinggal 26.000 normalnya diatas 150.000. 
Suamiku kena demam berdarah, Dokter menyalahkan kenapa tak segera dibawa
ke RS lebih awal, karena serangan terberatnya di hari 5. Kalau kondisi 
tidak kuat, amat berbahaya.

Hari ke 5  makin parah, napasnya berat, trombositnya tidak naik. Malam
itu  setengah mengigau, dia memanggilku, aku genggam tangannya, aku
dekati  telingaku ke mulutnya, aku dengar dia coba ucapkan sesuatu. Air
matanya  meleleh. Dia ucapkan "Maafkan aku" Aku tenangkan dia, kalau
tidak ada  yang perlu dimaafkan. Aku ikhlas mendampinginya. Setelah
mendengar  kata_kataku dia tenang, dengan 1 tarikan napas dia ucapkan
"La ilaaha  illa llaah" lalu meninggal dalam pelukanku.

Aku  ingat ucapannya, jika Allah izinkan, dia ingin meninggal di
pelukanku.  Aku memarahi dia, jangan bilang seperti itu. Tapi dia
serius, kalau dia  tak sanggup kalau aku meninggalkannya. Ternyata Allah
kabulkan. Orang  yang aku jadikan sandaran hidup telah pergi. Tidak
terkira sedih hatiku.  Andai tidak ingat anakku, aku ingin menyusul Mas
Fariz.

Mas  Fariz jujur dan baik, seluruh rekan kerjanya dan big boss hadir 
melayat. Kantor memberi santunan 4x gaji, ditambah uang duka. Aku 
ditawari kerja di perusahaan tersebut. Tapi aku rasa setengah nyawaku 
hilang. Selama 3 bulan berduka, aku tidak sanggup melakukan apapun.

Sementara  aku di rumah mertua agar Faisal ada yang mengasuh. Rumah dan
motor  dijual, karena tidak sanggup kubayangkan kenangan Mas Fariz.
Hampir  setengah tahun di rumah mertua, aku putuskan kembali ke kota
asalku.  Sebenarnya ibu mertua amat baik dan penyayang. Tapi aku tahu
diri  tidak  mungkin bergantung ke siapapun. Aku harus mandiri demi
anakku  satu-satunya.

Di kota asalku aku  mengontrak rumah dan membuka toko kecil. Mungkin
karena masih berduka  dan terbayang suami hingga kurang mikirkan
usahaakhirnya bangkrut.  Uang  habis untuk membayar tagihan suplier.

Aku  sebenarnya tidak pernah putus asa apapun aku jalani asal halal.
Pernah  jadi pelayan restoran beberapa bulan dan berhenti karena anakku
tak ada  yang menjaga. Akhirnya aku kehabisan uang tak sanggup bayar
kontrakan.  Dengan koper isi pakaian dan menggendong anakku berjalan
tanpa tujuan.  Aku bingung akan kemana. Pernah terlintas di benakku
untuk kembali ke  keluargaku. Tapi dengan kondisi ini mereka pasti
merasa menang, tertawa  terbahak dan mengejekku seumur hidupku bahwa aku
gagal memilih jalan  hidup.

Dibawah Naungan Islam

Ditengah  perasaan putus asa, kuteringat masjid tempat aku pertama kali 
mengucapkan kalimat syahadat. Masjid itu bukan Masjid Raya di kota kami,
tapi masjid tua bersejarah, maka banyak jemaah berziarah. Aku berpikir, 
dulu aku memulainya dari masjid itu, sehingga kalaupun jalan hidupku 
berakhir aku ingin di masjid itu pula. Aku datangi masjid tersebut Dan 
aku shalat mohon petunjuk. Anakku kelelahan tertidur di sampingku.

Aku  tidak punya uang untuk membeli makanan dan hanya bisa menangis.
Rupanya  tangisku didengar seorang bapak dan beliaulah imam masjid
tersebut dan  dia pula yang dulu membimbing aku membaca syahadat. Aku
tidak lupa  dengan wajahnya tetapi dia pasti tidak ingat, karena wajahku
tidak  sesegar dulu lagi. Sewaktu aku perkenalkan diriku dan aku katakan
bahwa  aku dulu mualaf yang beliau bimbing, dia langsung ingat tapi juga
kaget  dengan kondisiku seperti ini.

Akhirnya  aku ceritakan semuanya pada beliau, sebab aku merasa tidak ada
lagi  orang di dunia ini yang aku jadikan sandaran hidupku.

Setelah  mendengar kisahku dia menyuruhku jangan pergi - tetap tinggal
di  masjid. Beliau menyuruh seorang jemaah membelikan makanan untuk aku
dan  anakku. Sebentar kemudian dia meninggalkan aku sambil berpesan akan
segera kembali (rupanya dia mencari tempat untuk aku tinggali). Tidak 
lama beliau kembali. Sambil tersenyum dia katakan, mulai malam ini aku 
memperoleh tempat tinggal. Aku diajak ke belakang masjid disitu ada 
bangunan tambahan terdiri beberapa ruangan.  Biasa dipakai untuk gudang 
peralatan masjid, seperti tikar, kursi dan lainnya. Salah satu ruang 
tampak sudah kosong. Dia menunjuk bahwa itulah rumahku. Aku boleh 
menempati selama mungkin aku mau.

Ruang  sebelahnya ditempati Pak Tua penjaga masjid, sehingga aku ada
yang  menemani. Ruangan itu berukuran kurang lebih 2x2m. Pak Imam masjid
menambahkan, aku diberi honor sekedarnya jika mau membantu membersihkan 
masjid, sehingga cukup untuk makan. Beliau tambahkan kalau aku bisa 
datang ke rumahnya sekedar membantu istrinya memasak. Rumah beliau hanya
beberapa ratus meter dari masjid.

Alhamdulillah,  aku amat bersyukur ternyata Allah mendengar doaku. Aku
ingat, bahwa  Allah tidak akan menguji hambanya melebihi beban yang
sanggup dia pikul.  Aku bersyukur memperoleh tempat berteduh, walau
hanya kamar kecil (jauh  lebih kecil dibanding kamar mandi saat di rumah
orangtuaku). Ada lagi  yang membuatku tenang yaitu aku tinggal dekat
rumah Allah, setiap merasa  sedih, aku tinggal masuk masjid  mengadukan
langsung pada Allah. Karena  tinggal dekat masjid otomatis shalatku
tidak pernah terlewatkan  sekalipun.

Alhamdulillah, hidupku  sedikit demi sedikit mulai tenang. Aku sering
membantu istri Pak Imam  memasak di rumahnya. Imbalannya beliau selalu
membekali makanan untuk  aku bawa pulang. Sehingga aku tidak perlu risau
memikirkan makanan  harian. Kalau Pak Imam sekeluarga ada keperluan
keluar kota, akulah yang  dititipi menjaga rumahnya dan bisa tinggal di
rumahnya. Sebenarnya  mereka menawarkanku tinggal bersama mereka. Tapi
aku tahu diri tidak mau  terus menerus merepotkan orang lain.

Pekerjaanku  setiap hari membersihkan halaman masjid, membersihkan kaca
jendela,  Sedangkan Pak Tua mengepel lantai masjid. Tiap minggu aku
mendapatkan  honor sekedarnya dari hasil kotak amal, tapi kadang aku
tidak  mendapatkan sepeserpun, karena kadang sudah habis untuk keperluan
masjid, tapi aku lakukan itu dengan senang hati dan ikhlas. Sementara 
ini aku benar-benar ingin mengabdi pada Masjid ini - sebagai tanda 
terimakasih. Aku tidak mau bersusah-payah mencari pekerjaan. Aku percaya
kelak masjid ini akan memberi jalan memperoleh pekerjaan.

Kadang  pada malam hari aku duduk di teras masjid, mengobrol dengan Pak
Tua.  Dia bercerita, anak-anaknya ada di kampong, tapi dia tak mau 
merepotkannya. Selama masih kuat, dia tak mau merepotkan orang lain. 
Lalu saat giliran aku bercerita, kadang aku bingung harus cerita 
apa...???

Apa aku ceritakan kalau  dulu aku pernah naik kapal pesiar keliling
EROPA, tidur di hotel mewah  di LAS VEGAS atau saat kuliah punya
apartment mewah di Australia …Ahh!  Pasti dia tertawa  menganggap
aku berkhayal. Jangankan tidur di hotel,  uang yang aku punya tidak
lebih dari Rp 20.000,-

Dulu  tiap minggu aku bisa beli peralatan makeup, eye-shadow, lipstick
jutaan  rupiah. Kini makeup aku air wudhu sebelum shalat. Tapi justru
banyak  yang mengatakan wajahku tetap bersih, cantik alami. Kadang orang
berpikir aku masih memakai makeup. Yah…! mungkin Allah yang 
memakaikannya. Kecantikan dari dalam "Inner Beauty"  Banyak yang
bilang  dengan mata sipit dibalik kerudung, aku terlihat cantik.

Tanpa  terasa hampir 2 tahun aku menetap disini, anakku sudah sekolah SD
dekat  masjid milik yayasan dan tanpa membayar sepeserpun. Aku hanya
membeli  seragam dan alat sekolah. Bahagianya hati melihat anak aku
masuk  sekolah…ohh! seandainya mas Fariz masih ada dan melihat anak
kita di  hari pertama sekolah.

Anakku rupanya  tumbuh besar dalam keprihatinan sehingga sangat tahu
diri. Tak pernah  sekalipun merengek minta dibelikan ini itu seperti
layaknya anak lain.  Pernah hatiku amat pilu. Ketika dia pulang sekolah
dengan kaki telanjang  sambil menenteng sepatunya. Sambil tertawa, tanpa
mengeluh, dia justru  menunjukkan sepatunya.

"Ma, sepatu  Faisal sudah minta makan" Sepatunya robek depannya, seperti
mulut minta  makan. Melihat dia tertawa, aku ikutan tertawa, walau hati
ingin  menangis. Andai dia tahu dulu mama selalu memakai sepatu harga
jutaan.  kini, membelikan sepatu anakku yang murah aku belum sanggup.
Alhasil  selama 2 hari anakku ke sekolah memakai sepatu robek, hingga
aku belikan  sepatu bekas layak pakai.

Aku  bersyukur punya anak amat tahu diri. Tidak mau membebani ibunya.
Anak  saleh akan menjadi bekal amat bernilai buat orangtua. Pak Imam
masjid  kadang menengok dan menanyakan keadaan kami. Dia sering cerita, 
bagaimana istri Muhammad SAW  hidup jauh lebih menderita, tapi tetap 
tabah. Beliau bilang, aku pasti akan menjadi ahli surga. Berulangkali 
dia katakan, orang lain tidak akan sanggup menghadapi cobaan ini, tapi 
aku tetap bertahan memegang keyakinan, meninggalkan kenikmatan dunia 
yang justru pernah kuperoleh.

Suatu  siang, aku melihat mobil datang ke halaman masjid. Dari dalam
mobil  keluar 2 orang yang aku kenal. Yang satu Tante Grace, satunya Oom
Albert. Mereka lawyer perusahaan dan keluarga kami. Entah bagaimana 
mereka bisa mengetahui aku ada disini. Mereka membawa sebundel amplop, 
mengajak aku berbicara. Aku lihat mata Tante Grace  memerah menahan 
airmata saat melihat tempat aku tinggal. Bahkan Oom Albert suara 
bergetar, lehernya tersekat menahan sedih. Mereka diutus orangtua aku. 
Karena orangtuaku sudah tahu bagaimana keadaan aku sekarang. Mereka 
katakan dalam amplop isinya surat bank, ATM, Ijasahku yang bisa aku 
miliki lagi. Bahkan aku dijemput pulang ke rumah mama-papaku.

Sejenak  aku bahagia, kupikir orangtuaku terbuka hatinya, aku bisa pakai
uang  yang banyak untuk hidup lebih baik. Tapi dengan terpatah-patah Oom
Albert melanjutkan, mama-papa memberi syarat.  Saat kutanyakan  
syaratnya. Keduanya nyaris tidak sanggup melanjutkan.

Tante  Grace makin menunduk menahan tangis. Akhirnya oom Albert
mengatakan  syaratnya aku dan anakku harus kembali ke keyakinan lama.
Saat itu juga  aku langsung menjawab, kalau aku tidak mau menerima
amplop itu dan aku  katakan agar dikembalikan ke papa. Keduanya amat
sangat minta maaf  padaku, karena mereka tahu aku tersinggung. Tapi aku
juga sadar keduanya  hanya menjalankan tugas. Bahkan Tante Grace
katakan, andai mengikuti  nurani pasti mereka serahkan itu amplop padaku
tanpa syarat apapun, tapi  mereka terikat profesi.

Keduanya  pamit. Tapi tidak lama kemudian kembali lagi, aku pikir ingin
membujuk.  Rupanya mereka berinisiatif fotocopi ijasah dan menyerahkan
copy-nya  padaku. Mereka inisiatif  sendiri resikonya kehilangan
pekerjaan. Mereka  bilang hanya itu yang bisa mereka lakukan untukku.

Alhamdulillah.  Sedikit demi sedikit Allah memberi jalan untukku. 
Akhirnya aku punya  bukti kalau aku pernah sekolah tinggi meraih Master
bidang keuangan  (finance) di luar negeri.

True Happiness

Rupanya Allah cukup menguji dan memberi rewards atas ketabahanku.

Suatu  pagi 2 orang mengamati bangunan masjid,  wanita kulit putih  dan
lokal.  Pak Tua ada di halaman Masjid, maka mereka menghampiri. Masjid
kami  memang unik, bangunan tua dengan arsitektur Melayu Kuno dan sering
dikunjungi. Biasanya Pak Tua menjadi juru-bicara karena dia paling tahu 
sejarah masjid. Aku banyak mendapat cerita dari Pak Tua sehingga aku 
tahu sejarah masjid kami.

Dari jauh  tampak keduanya mengobrol dengan Pak tua, sampai akhirnya
kulihat si  Kulit Putih kebingungan.  Akupun menghampiri dan dengan
sopan  memperkenalkan diri serta menawarkan bantuan.

Ternyata  dia mahasiswi Arsitektur dari Australia dan ditemani mahasiswi
Arsitektur  universitas T di kotaku sebagai penterjemah (panggil saja 
Retno). Rupanya bahasa Inggris Retno kurang lancar hingga si Bule 
kebingungan mendengar terjemahan cerita Pak Tua. Dengan sopan aku 
mengajukan diri membantu si Bule.

Dengan  bahasa inggris sangat lancar, aku ceritakan semua hal tentang
masjid.  Aku ajak berkeliling ke tiap sudutnya. Si Bule bertambah takjub
saat  kukatakan pernah study di negerinya. Retno terus memandangiku
setengah  tak percaya. Setelah puas mendapat informasi, sebelum pulang
Retno  berjanji menemuiku segera, ingin menanyakan banyak hal tentang
diriku.   Dengan senang-hati akan kuterima kedatangannya kapan saja.

Beberapa  hari kemudian Retno  menemuiku. Dia amat ingin tahu siapa
diriku. Aku  ceritakan semua perjalanan hidupku sampai saat ini. Dia
amat bersimpati  dan ingin menolong. Walau tak mengharap pertolongan
orang lain, tapi  kuhargai niatnya. Dia bilang dengan pendidikan dan
kemahiran bahasa  asing akan mudah mendapat pekerjaan, apalagi ada copy
ijasah. Seminggu  kemudian dia datang membawa kertas dan amplop, 
menyuruh membuat surat  lamaran.

Informasinya Rektorat  memerlukan tenaga honorer. Aku terharu ada orang
peduli mau membantu  tanpa pamrih, aku ucapkan banyak terimakasih
padanya. Bagiku dia seperti  diutus Allah untuk menolongku. Tidak lama
kemudian aku mendapat kabar  gembira, aku dipanggil ke Rektorat untuk
test dan wawancara. Sebelum  berangkat aku shalat memohon kepada Allah
agar diberi kelancaran. Anakku  aku titipkan pada Pak Tua yang kuanggap
sebagai orangtua sendiri.

Alhamdulillah,  test  berjalan lancar. Saat wawancara justru Bahasa
Inggris lebih aku  kuasai dibanding pewawancara. Dia bilang English-ku
perfect.

Beberapa  hari kemudian dia datang dan tampak gembira sekali, katanya
dalam  beberapa hari aku akan mendapat surat dari Rektorat yang isinya 
diterimanya aku sebagai honorer. Dia tahu informasi karena temannya  
bekerja disana. Aku segera menuju masjid dan bersujud syukur lama 
sekali. Kurasa aku lulus semua test yang diujikan Allah.  Sering aku 
bertanya pada Allah, apakah karena aku mualaf sehingga Allah kurang 
percaya pada keimananku hingga perlu diuji dengan ujian amat berat.

Walau  hanya honorer aku sangat bersyukur, yang penting aku memperoleh 
penghasilan layak. Pekerjaan membantu Bagian Keuangan di Rektorat, 
memang sesuai dengan ilmuku. Mulai banyak yang tahu kalau aku lulusan 
luar negeri. Setiap seminar yang memerlukan makalah bahasa Inggris pasti
aku yang diberi tugas penyusun makalah.

Aku  banyak membantu penterjemahan litelatur asing untuk mahasiswa.
Nyaris 3  tahun terakhir, aku tidak pernah membeli baju baru. Dengan
gaji  sekarang aku bisa membelinya. Aku amat sangat senang bukan main,
bisa  membelikan pakaian anak. Bahagia melihat anak berpakaian layak.
Pakaian  sekolahnya sudah menguning, kini aku beli yang baru, putih
bersih dan  sepatu baru. Sepatu lamanya robek dan kusimpan sebagai
kenangan.

Tak  lama kemudian aku mengontrak rumah. Sebelum  aku meninggalkan
Masjid  tak lupa pamitan ke rumah Pak Imam mengucapkan terimakasih atas 
pertolongannya, beliau katakan yang menolong bukan dia tapi Allah yang 
menolongku. Aku memeluk dia lama sekali. Aku katakan dahulu aku ucapkan 
syahadat di depannya dan aku tak akan pernah mengingkarinya seumur 
hidupku, apapun yang terjadi.

Sebelum  pergi kupandangi kamarku untuk terakhir kali, sempat beberapa
menit  tertegun, membayangkan, mungkin kelak ruangan ini dipakai oleh
orang  yang senasib seperti aku.....

Aku harap Semoga Allah memberinya kekuatan....

Setelah  melewati segala cobaan, Allah terus-menerus memberi semacam
rewards,  belum setahun bekerja, Rektorat memberi kabar statusku menjadi
karyawan  tetap. Beberapa dosen senior menawari posisi asisten dosen.
Rekan kerja  mengatakan karirku amat bagus. Orang berkualifikasi
sepertiku amat  dibutuhkan. Mereka bilang kesuksesan hanya menunggu
waktu.

Aku  hanya mengucap Alhamdulillah. Dahulu aku sering berdoa dengan
linangan  airmata kesedihan, sekarang sering menangis saat berdoa, tapi
kali ini  aku menangis bahagia. Sampai saat ini aku sendirian, aku
bertekad  membesarkan anak sebaik-baiknya. Aku masih merasa istrinya mas
Fariz.  Seperti yang aku pernah katakan, dia bukan hanya suami, tapi
soulmate  dan tidak tergantikan. Tetapi entah kalau Allah mempunyai
rencana lain.  Tiap memandang anakku, aku seperti melihat mas Fariz.
Seolah dia masih  mendampingiku.

Alhamdulillah! kini  aku mampu membeli motor. Di akhir pekan aku sering
berboncengan dengan  anakku jalan-jalan atau sengaja lewat di depan
rumah orangtuaku, sambil  aku katakan bahwa itu rumah opa-oma. Sering
anakku bertanya, "Ma kapan  kita pergi ke rumah oma-opa? " Aku tersekat
tak bisa menjawab sebab  menahan airmata.  Aku terus berdoa, semoga
suatu saat kelak orangtuaku  dibukakan hatinya, jika tak mau menerimaku
lagi, mohon diterima anakku –  cucu mereka.

Wassalam,

Mawar.



[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Reply via email to