Kacian-nya propessor di Indo. Ngak heran kalo banyak yang kepingin terus 
manggon di LN misale dia itu ditugasin belajar di LN, lebih baik "mbolos" 
jangan balik. Bayar kembali duit yang pemerintah keluarin buat dia belajar di 
LN, simple as that anjuranku.
   
  Inilah namanya dunia terbalik...politikus dibayar lebih gede ketimbang para 
akademisi. Dan paling celakanya ya itu sudah dibayarin lebih gede politikus ini 
punya kekuasaan yang bisa dia gunakan untuk nambah rejeki dengan cara korupsi. 
   
  Bener2 hebat koq negeriku ini. Apa2 kewalik(jowo-ne..terbalik). Buat apa jadi 
akademikus ya di Indo itu, lha mbok jadi poli-tikus saja lebih baik dan lebih 
cerah masa depannya, tikus bisa ngerikiti makanan(duit negara-rakyat)
   
  Harry Adinegara
  

  ]


Resonansi - Republika

Selasa, 11 April 2006

Nasib Profesor di Indonesia

Seorang profesor yang sudah berdinas sekitar 40 tahun, dihitung sejak pertama
kali mengajar di perguruan tinggi, menerima gaji kurang lebih Rp 2,7 juta per
bulan, atau lebih sedikit tergantung kepada ukuran keluarga yang masih berada di
bawah tanggungannya. Sekiranya sang profesor masih punya tanggungan anak yang
kuliah satu atau dua orang, Anda bisa membayangkan betapa sulit baginya untuk
mengatur bujet rumah tangga. Atau, bahkan tanpa berutang, dapur bisa berhenti
berasap, karena pendapatan setiap bulan benar-benar berada dalam sistem
''menghina''.

Bandingkan dengan seorang anggota DPRD di daerah yang punya PAD (Penghasilan
Asli Daerah) tinggi, yang menerima gaji sekitar Rp 40 juta per bulan. Tidak
peduli apakah anggota ini punya ijazah asli atau palsu yang belum ketahuan,
pendapatannya sama.

Untuk menandingi perdapatan per bulan anggota DPRD yang terhormat ini, seorang
profesor harus bekerja sekitar 15 bulan, baru imbang. Inilah panorama
kesenjangan yang amat buruk yang berlaku sampai sekarang. Jangankan dengan wakil
rakyat dengan PAD tinggi, di daerah minus sekalipun, dengan pendapatan sekitar
Rp 5 juta per bulan, seorang profesor botak tidak bisa menandingi.

Memang, ada sejumlah kecil profesor atau doktor yang punya penghasilan tambahan
yang cukup tinggi sebagai konsultan, dosen di luar negeri, merangkap jadi
anggota DPR, komisaris atau penasihat bank, ikut proyek, atau mengajar di
beberapa tempat, dan lain-lain. Tetapi, standar gaji mereka, ya seperti tersebut
di atas itu.

Dengan kenyataan seperti itu, mana mungkin seorang profesor punya karier
akademik yang menjulang tinggi. Dana untuk beli buku sudah tersedot untuk
kepentingan survival, sekadar bertahan hidup. Nasib saya pribadi karena pernah
memberi kuliah di Amerika Serikat, Malaysia, dan Kanada, plus anggota DPA selama
lebih sedikit lima tahun, memang agak mendingan. Ditambah lagi jumlah anak dan
istri tunggal. Sewaktu belajar di Chicago, istri saya juga sempat bekerja
sebagai baby sitter (pengasuh anak) dengan penghasilan yang lumayan. Dengan
kondisi ini, kami bisa menabung. Penghasilan lain juga datang dari sumber-sumber
lain, seperti dari menulis dan bantuan teman.

Sekiranya penghasilan saya hanya sebagai seorang profesor dengan golongan IVe
sekalipun, saya hanya akan gigit jari bila berkunjung ke toko buku.
Paling-paling hanya lihat daftar isi, dan kalau ada waktu baca kesimpulan buku
itu. Setelah itu pulang sambil mengenang alangkah bagusnya buku itu.

Tulisan ini tidak ingin memberi kesan bahwa seorang profesor itu perlu diberi
perhatian khusus. Sama sekali tidak. Tetapi makhluk yang satu ini, apalagi
mereka yang mendapatkan PhD di luar negeri, adalah pekerja keras dengan
membanting otak selama bertahun-tahun. Tugasnya kemudian adalah untuk turut
''mencerdaskan kehidupan bangsa'' pada tingkat perguruan tinggi.

Pemegang PhD setelah pulang ke Tanah Air tentu harus berpikir keras lebih dulu
bagaimana agar rumah tangga bisa bertahan. Urusan buku terpaksa menjadi agenda
nomor sekian. Padahal tanpa buku dan jurnal, seorang pemegang PhD pasti akan
kehabisan stok, tidak bisa meng-update (menyegarkan) ilmunya. Akibatnya,
buku-buku terbitan puluhan tahun yang lalu dikunyah lagi untuk bahan
perkuliahan.

Dengan kenyataan seperti ini, mana mungkin orang dapat berharap kualitas
perguruan tinggi kita akan terbang tinggi dibandingkan dengan mitranya di negara
tetangga saja. Kualitas pendidikan kita sudah terlalu jauh di bawah standar,
termasuk perguruan tinggi yang biasa disebut sebagai pusat keunggulan.

Dengan rendahnya mutu lulusan kita, akan sangat kecil kemungkinan bangsa ini
akan mampu bersaing pada tingkat regional untuk mengisi lapangan kerja yang
terbuka lebar sebenarnya. Selain itu, kemampuan bahasa Inggris yang sangat lemah
bagi lulusan kita menambah lagi daftar buruk kita untuk mampu bersaing di dunia
kerja untuk perusahaan-perusahaan asing di kawasan Asia Tenggara, misalnya.

Sebagai perbandingan, di Malaysia gaji seorang profesor penuh (full professor)
hampir dua kali lipat gaji anggota parlemen federal. Di Indonesia gaji seorang
anggota DPR pusat sekitar 19 X lipat gaji seorang profesor penuh per bulan.
Maka, orang tidak boleh kaget lagi jika dunia akademik dan keilmuan kita semakin
suram dan buram dari waktu ke waktu, sementara dunia politik kita semakin
berkibar dan kumuh, sementara masih saja sebagian politisi DPR kita merangkap
jadi calo proyek.

Tidak malu? Pertanyaan ini sudah tidak relevan lagi untuk Indonesia, sebab
peradaban bangsa ini baru sampai sebatas itu. Akan tenggelamkah kita? Semoga
tidak! Anak bangsa yang masih punya hati nurani harus bangkit menolong perahu
republik ini agar tidak semakin dipermalukan dunia.

(Ahmad Syafii Maarif )
--
"Moral behavior is not irrational. The challenge is to define
self-interest in a manner capacious enough to accommodate the real
motives for people's choices. (Robert H. Frank)






                
---------------------------------
On Yahoo!7
  Messenger: Make free PC-to-PC calls to your friends overseas. 

[Non-text portions of this message have been removed]



Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke