Indonesia vs Australia

Menarik, mengikuti perkembangan hubungan Indonesia dan Australia. Satu negara 
kepulauan yang besar melawan sebuah benua yang terpencil. Ya, terpencil, karena 
sebagai benua yang menjadi negara, Australia sangat jauh dari nenek moyang 
mereka, Eropa. Orang-orang Australia sendiri terbentuk dari para pendatang 
kulit putih yang secara sengaja merampas tanah luas itu dari tangan para 
penduduk aslinya, Aborigin. Idem tito dengan Amerika Serikat.

Tapi berkat dukungan Inggris dan sekutunya, Australia menjadi negara yang kaya 
dan makmur. Mungkin karena faktor sosial, budaya, ekonomi, politik, dan adat 
istiadat mereka yang eropa banget. 

Mula-mula Autralia bangun di bawah protektorat Inggris. Setelah para 
penduduknya merasa matang, maka mereka menjadi independen dan memisahkan diri, 
istilah Indonesianya, memerdekakan diri, dari Inggris. Walaupun tidak ada darah 
dan air mata kebahagiaan yang tertumpah dari proses kemerdekaan itu.

Lain sekali dengan negara tetangganya, Indonesia. Kemerdekaan Indonesia 
diperoleh dengan tetesan darah dan air mata nasionalisme yang tinggi. Semangat 
patriotisme 45 menggebu-gebu mengusir penjajah. Berbagai pemberontakan di 
sana-sini melawan sang penjajah, Belanda. Tak terhitung para pahlawan, yang 
terkenal maupun yang tidak terkenal berguguran dan tidak gugur di medan laga. 
Salah satunya adalah Sukarno. 

Pengorbanan para pahlawan dan rakyat tidaklah sia-sia. Akhirnya sang bambu 
runcing bisa mengalahkan artileri dan meriam. Walaupun secara jujur, kalau mau 
diakui, mundurnya Belanda, tidak sedramatis seperti jatuhnya kota Ho Chi Min 
(Hanoi) ke tangan para Vietkong. Kalau Amerika mundur dari Vietnam karena 
diserbu secara sporadis oleh para pejuang Vietnam, maka mundurnya Belanda dari 
Indonesia lebih karena desakan Internasional. 

Dengan kata lain, Belanda mundur bukan karena kalah di medan laga, tapi karena 
faktor kemanusiaan. Ekstrimnya mungkin, Belanda (dan dunia internasioanl) 
merasa kasihan, alias simpati, melihat  kegigihan para pejuang yang, walaupun 
bersenjatakan seadanya, melawan pelor-pelor ganas. “Wis, mesakke, ngalah wae” 
mungkin begitu ungkapan mereka.

Lalu kita pun meluapkan kegembiaraan kita dengan sorak-sorak bergembira. Sang 
“provokator” kemerdekaan pun, kemudian menjadi presidennya. Bendera merah putih 
menjadi barang yang sakral, karena diperoleh dengan tetesan darah yang tiada 
terhingga banyaknya. Walaupun dia hanya selembar kain, yang dengan mudah 
didapat di pasaran. Ada sesuatu perasaan yang gimana, gitu loh, dan “lain” 
kalau kita memegan sang saka merah putih. Kedudukannya malah bisa sejajar 
dengan kitab suci, yang tidak boleh sembarangan memperlakukannya.

Teori saya di atas, kemerdekaan yang diperoleh karena desakan internasional, 
bukan karena peperangan di medan perang,  jelas bertentangan dengan pelajaran 
buku sejarah yang kita pelajari selama ini. Lantas anda pun akan mencap saya 
sebagai orang yang tidak punya rasa nasionalisme. Emang gue pikirin.

Lebih tidak nasionalisme lagi, kalau saya mengatakan bahwa sebetulnya Indonesia 
ini belumlah siap untuk merdeka. Sebetulnya Pak Karno dkk tidaklah perlu 
mengorganisir massa untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah dengan 
senjata. Sebab rakyat Indonesia waktu itu, belum siap untuk independen (berdiri 
di atas kaki sendiri). Buktinya sampai sekarang, pabrik gula bikinan Belanda 
yang sudah berusia puluhan tahun masih dipakai, dan tidak ada inisiatip bikin 
pabrik gula hasil teknologi sendiri. Rel kereta api dari jaman kuda makan besi 
sampai era digital masih itu-itu juga. Tidak ada inisiatip memperlebarnya. 
Maksudnya tambah jalur. 

Pak Karno, sebagai bapak proklamasi, yang punya ide memerdekakan diri, mustinya 
bisa meletakkan fondasi yang kokoh tentang demokrasi. Tapi, karena secara 
psikis beliau juga tidak siap turun jabatan, malah mendaulatkan diri lewat MPR 
untuk menjadi presiden seumur hidup. Itu bertentangan dengan azas kemerdekaan 
yang dia rebut dari Belanda.

Ketidak siapan untuk merdeka secara hakiki dan maknawi ini secara laten 
diwariskan secara turun temurun kepada siapa saja yang memangku jabatan. Seolah 
di sana ada pemeo bahwa kemerdekaan hanya bisa diperoleh dengan memakan orang 
lain. Yang posisinya lebih tinggi, harus memakan yang posisinya yang lebih 
rendah. Pak polisi harus “memakan” para pengguna lalu-lintas, bukan 
mengayominya. Pak TNI memalak para pelaku bisnis, bukan memperlancar usaha 
mereka. Bahkan di kantor-kantor, tak segan-segan kita mendapati perilaku yang 
jauh dari sifat beradab. Tak segan menjatuhkan teman sekerja demi setetes 
“kemerdekaan” alias karir.

Hal ini berbeda jauh dengan negara-negara yang memperoleh kemerdekaan karena 
kematangan para penduduknya. Tidak perlu tertumpah darah dan air mata. 
Kemerdekaan toh pasti akan datang, kalau penduduknya secara sosial dan ekonomi, 
intelektual dan emosional sudah mapan. Contohnya, Singapura yang merdeka dari 
Malaysia dan Malaysia yang merdeka dari Inggris. Dua negara tetangga kita ini 
hampir dipastikan tidak punya kasus horisontal dan transendental seperti 
Indonesia.

Pokoknya, akibat kemerdekaan (independen) yang belum siap kita terima ini, 
segala aspek kehidupan kita, tidak bisa secara independen kita lakukan. 
Maraknya budaya sogok menyogok, dari mulai urusan KTP, SIM, Paspor, sampai 
pendidikan dan naik haji, adalah bukti bahwa kita sebenarnya belum siap untuk 
merdeka. 

Ketidak siapan kita untuk independen mengatur dan mengolah hasil alam juga 
nampak dari banyaknya kasus pertambangan seperti, minyak, emas, gas, yang 
dengan suka rela kita serahkan pada pihak asing. Bahkan untuk sekedar mengelola 
roda perekonomian, kita terlalu bersandar pada pihak asing, dengan dijualnya 
saham-saham dan obligasi bank-bank dan perusahaan kepada swasta asing.

Kalau roda perekonomian saja sudah kita serahkan pada pihak asing, lalu apa 
bedanya dijajah dengan merdeka? Kalau seluruh hasil emas dan minyak diserahkan 
pada pihak asing untuk diexploitasi, lalu apa bedanya independen (mandiri) 
dengan dependen (serba tergantung)?

Jadi kemerdekaan yang kita peroleh selama ini hanyalah pepesan kosong belaka, 
baik di mata internasional maupun dalam negri. Rakyat masih terjajah secara 
ekonomi dan segala aspeknya, akibat semangat patriotisme, heroisme yang 
menggebu-gebu.

Jadi tidak heran kalau negara tetangga kita, Autralia selalu menjadikan kita, 
Indonesia bulan-bulanan. Walaupun politik luar negrinya, mendukung NKRI, tapi 
mayoritas rakyat dan parlemen tidaklah demikian. Sehingga mudah saja mereka 
terprovokasi untuk memberi suaka pada para pengungsi politik. Sebab memang 
sudah bukan isapan jempol lagi bahwa, tentara kita sering melanggar HAM.

Ngomong-ngomong mengenai hubungan Ausie – Indonesie, yang sering putus – putus, 
mustinya Indonesia, yang memiliki semangat nasionalisme dan patriotisme yang 
tinggi, segera mengambil tindakan tegas. Mustinya pemerintah segera menerapkan 
keadaan darurat militer terhadap Australia, alias berperang. 

Mustinya pasukan TNI segera dikirimkan ke sana, menginvasi negara kulit putih 
yang tidak sah itu. Menginvasi dengan alasan yang macam-macam, misalnya 
mengembalikan tanah penduduk asli Australia kepada pemilik aslinya, seperti 
Amerika yang menyerang Irak dengan alasan mencari senjata pemusnah massal, Mass 
Weapon Destroyer.

Selama ini toh TNI hanya nampak sangar dan “berwibawa” di mata rakyat saja. 
Tapi belum ketahuan keampuhan mereka melawan negara asing. Kesaktian mereka 
hanya baru nampak secara signifikan di Aceh, melawan bangsa sendiri, atau 
ketika naik angkutan umum secara gratis, bermodalkan seragam loreng.

Atau mustinya pemerintah merekrut tenaga sipil menjadi militer, dengan program 
wajib militer, seperti ketika Amerika melawan Vietnam. Alangkah banyaknya 
pengangguran bisa ditanggulangi, dengan program wajib militer ini. Dari pada 
mereka “keleleran” ke sana  ke mari tak dapat kerja, lebih baik kasih senjata 
apa adanya, bambu runcing, kalau perlu, lalu serang Australia. Itu baru heroik 
namanya. 

Siapa tahu  dunia internasional sekali lagi hatinya tergugah untuk mendesak 
Australia menyerahkan tanahnya pada kita, melihat perjuangan yang gigih dengan 
senjata ala kadarnya. Seperti juga rakyat Australia yang merasa simpati pada 
perjuangan para pencari suaka asal Papua, yang berhari-hari menyebrang lautan 
ganas dengan perahu sederhana.

Percayalah, saat ini, perang atau berjihad melawan Australia itu sangat-sangat 
perlu, untuk menegakkan wibawa bangsa, seperti semangat para proklamator kita, 
yang kita junjung tinggi. Udah terlanjur mengakui sebagai negara yang berdaulat 
dan “merdeka”, mustinya semangat patriotisme kita tidak boleh kendur. 
Jadi sudah selayaknya lah Indonesia segera menyerang Australia. Kalau kalah? 
Itu pasti.

Wassalam
Blog: geocities.com/emabdalah



Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke