OBYEKTIFIKASI PEREMPUAN OLEH RUU APP ( I )
   
  ”RUU APP yang dimaknai sebagai “alat kontrol” moralitas masyarakat, tentunya 
dirancang dengan suatu landasan yang menjelaskan tentang adanya kegagalan 
fundamental yang selama ini tetap dianut oleh masyarakatnya…”
   
  Kaum perempuan bukan saja ditempatkan dalam suatu ruang yang didalamnya 
tengah berpolemik ataupun berkonfrontasi ide tentang keperempuanan itu sendiri 
bersamaan dengan hakikatnya, tetapi ada praksis yang memperjelas tentang kaum 
perempuan sebagai obyektifikasi dari ruang imajinasi seksualitas yang tengah 
diperdebatkan secara massif. Reaksi pro-kontra terhadap “RUU APP 
(Anti-Pornografi dan Pornoaksi)” di Indonesia, pada dasarnya telah menegaskan 
suatu realita tentang penempatan kaum perempuan sebagai “obyek” nyata pada 
suatu ruang polemik, dan tentunya bukan suatu keterselubungan yang membedakan 
antara kaum perempuan dan kaum laki-laki dalam penyampaian alur pemikiran 
dengan gaya bahasa yang abstrak (terkadang eufemisme), tetapi merupakan suatu 
penjelasan nyata tentang pembedaan yang over-diskriminatif. Tentunya persoalan 
tentang kebebasan berekspresi telah menjadi perdebatan yang mengekspos perihal 
“keharusan moralitas” berhadapan sporadis dengan peran seni dan kebebasan
 berpikir, dimana ada satu titik kontras yang berpraksis mengondisikan suatu 
stigma mapan kepada kaum perempuan sebagai ikon imajinasi seksualitas dan 
supremasi fantasi pada ruang hubungan seksualitas. Titik kontras yang merupakan 
rekayasa murni tentang “budaya normatif dan budaya formil” yang berhasil 
mencitrakan kaum perempuan dengan bermacam pencitraan pada satu ruang yang 
telah mapan dibentuk dari kesejarahan panjang tentang perkembangan masyarakat. 
   
  Dalam hal ini kita bukan dituntut untuk membangun sebuah “rejim moralitas” 
yang didalamnya dijejali oleh kaum teknodemokratik dan terknospritual untuk 
menciptakan “masyarakat moral”, atau hidup dalam suatu ketotalan dari dua 
bentuk tawaran menuju masyarakat “hitam ataupun putih” yang mengandaikan adanya 
suatu “masyarakat uniformal”. Dan ternyata kita semakin dibenturkan oleh suatu 
“kekacauan” pada logika berpikir dengan beberapa praksis despotik oleh kaum 
fanatisan yang selalu “menjual” keagamaan untuk suatu pembenaran bagi praksis 
politiknya. Atau ini merupakan bagian nyata dari realita struktur sosial yang 
telah terbagi-bagi oleh sistem liberalisme, dan diperlukan sekumpulan orang 
atau suatu komunitas untuk “menjaga” eksistensi moral di tengah-tengah 
masyarakat yang telah dibentuk oleh kemapanan akses keuangan, budaya 
globalisasi, dan mengoptimalisasi suatu pencitraan tentang relasi perempuan dan 
hasrat seksualitas. Jargon demokrasi hanyalah suatu “pelindung”, sama
 halnya dengan jargon-jargon budaya bangsa yang dimanfaatkan secara ekstrem 
untuk “mengebiri” beberapa praksis dan eksistensi rasionalitas, yang mampu 
melihat sebuah kerentanan struktural ataupun kerapuhan esensi yang telah 
terbangun lama di tengah-tengah masyarakat luas. Lalu apakah ragam 
“pembenaran-pembenaran” pada masing-masing teori dasar tentang masyarakat, 
harus dimaterialkan dalam suatu bentuk sistem yang “dipaksa” penerapannya 
kepada seluruh masyarakat? Tentunya ini bukanlah hal yang dianggap sebagai 
suatu kejujuran, ataupun suatu nilai kebenaran yang diusung oleh beberapa 
kelompok yang melegitimasi RUU APP, tetapi mencitrakan kaum perempuan sebagai 
“patron” dari pengumbaran hasrat seksual.
   
  Dan mereka harus mengakuinya secara terbuka (walaupun itu tidak mungkin), 
ketika polemik seputar RUU APP, telah mengondisikan kaum perempuan sebagai 
“titik utama” yang berhubungan dengan seksualitas, pornografi, dan pornoaksi. 
Dan beberapa praksis mereka telah menegaskan itu, termasuk dengan praksis dan 
pernyataan “sarkastik” yang (sekali lagi) harus melacurkan nilai-nilai 
keilahian, sebagai senjata taktis untuk melegalisasi rancangan sistem 
“pengelola” moralitas masyarakat. Dan terlebih dari itu, mereka hanyalah unsur 
“penggembira” yang selalu berteriak-teriak tentang “moralitas” bersamaan dengan 
agen-agen teknospiritual yang hidup bersenggama dengan unsur-unsur premanisme. 
Tentunya disini para elit struktural hanya berfungsi sebagai “penonton” pada 
suatu teater realitas tentang gelombang pro-kontra RUU APP, dan kunci utama 
tetap dipegang oleh unsur-unsur yang mendominasi struktural elit itu sendiri. 
Dan tafsir yang melandaskan teologi “fundamental” telah memainkan dua
 sisi “mata uang” yang terlalu ambiguitas, pada satu sisi membela hak-hak kaum 
perempuan dari suatu bentuk eksploitasi, tetapi di satu sisi yang lain 
menyerang kaum perempuan dengan bermacam pencitraan yang dilandaskan juga pada 
tafsiran teologi tersebut. Tentunya kedua sisi itu telah melegitimasi suatu 
eksploitasi (dengan ragam manifestasi) kepada kaum perempuan, dengan landasan 
praksisnya yang mengobyektifikasi kepada subyek kaum perempuan. (bersambung) 
   
  Mei 2006, Leonowens SP

                
---------------------------------
Blab-away for as little as 1¢/min. Make  PC-to-Phone Calls using Yahoo! 
Messenger with Voice.

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Protect your PC from spy ware with award winning anti spy technology. It's free.
http://us.click.yahoo.com/97bhrC/LGxNAA/yQLSAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke