http://www.kompas.com/kompas-cetak/0605/09/opini/2642557.htm


 
Mimpi Negara Kesejahteraan 


Sugeng Bahagijo 



Di tengah berita-berita tentang gedung sekolah ambruk dan kematian anak-anak 
lantaran kekurangan gizi dan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa 
"kemiskinan belum berkurang" (Kompas, 20/4), Sis- wono Yudo Husodo mengajak 
kita merenungkan kembali "Negara Kesejahteraan" sebagai cita-cita para pendiri 
bangsa. Sebab, setelah 60 tahun merdeka kita masih saja tidak sejahtera 
(Kompas, 25/4). 

Artikel Siswono menarik karena seakan merangkum kegelisahan dan keprihatinan 
kita dan mengangkat kembali sebuah gagasan dan strategi pembangunan yang di 
Indonesia dianggap gagal dan tidak penting untuk dipelajari. 

Tulisan ini hendak mendukung pemikiran ulang tentang negara kesejahteraan 
(welfare state) sebagai kebijakan dan institusi yang relevan untuk situasi 
Indonesia karena mengandung aspek-aspek (i) pendalaman demokratisasi, (ii) 
pemenuhan hak-hak sosial warga secara universal dan penanggulangan kemiskinan, 
(iii) penciptaan kohesi sosial-kegotongroyongan. 

Rezim kesejahteraan 

Istilah welfare state (negara kesejahteraan) muncul pertama kali tahun 1940-an 
oleh Uskup Agung York, Inggris, sebagai antitesis atas program warfare state 
(negara perang) Nazi Hitler di Jerman yang sedang memperluas wilayahnya. Negara 
kesejahteraan atau rezim kesejahteraan (welfare regime) lebih dari sekadar 
kebijakan sosial. Tidak semua kebijakan sosial dapat digolongkan welfare state, 
misalnya, program jaring pengaman sosial (JPS) tahun 1997 yang hanya bersifat 
minimal dan sementara saja. 

Bagaimana asal-usulnya? Sebelum Perang Dunia I, cikal bakal welfare regimes 
dimulai oleh tokoh-tokoh karismatis dan otoritarian, seperti Bismark (Jerman), 
Von Tappe (Austria), dan Napoleon III (Perancis), dengan melansir 
jaminan-jaminan sosial untuk pegawai pemerintah dan kelompok pekerja industri. 
Di Inggris sistem welfare diawali sekali dengan lahirnya UU Penanggulangan 
Kemiskinan (Poor Law- 1880-an). Dalam periode kedua, sesudah Perang Dunia II, 
1945-1990, welfare state merupakan kreasi dan produk demokrasi multipartai atau 
kebijakan (koalisi) partai politik yang memerintah untuk menciptakan warga 
negara dan angkatan kerja yang terdidik dan sehat dan mengurangi kesenjangan 
sosial ekonomi. 

Menurut Esping Andersen, yang studi- studinya menjadi acuan para sarjana dan 
pengambil kebijakan, negara kesejahteraan dibangun atas dasar nilai-nilai 
sosial, seperti (i) kewarganegaraan sosial, (ii) de- mokrasi penuh, (iii) 
sistem hubungan industrial modern, serta (iv) hak atas pendidikan dan perluasan 
pendidikan massal yang modern. Produksi dan penyediaan kesejahteraan warga 
negara tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada pasar. 

Tiga pilar kebijakan menjadi resep keberhasilannya: kebijakan makro-ekonomi 
yang Keynesian, kebijakan penciptaan lapangan kerja yang penuh dan daya beli 
yang tinggi dari warga negara, serta program-program jaminan sosial. Inilah 
tiga pilar yang menopang keberlanjutan welfare regimes lebih dari 40 tahun 
sejak Perang Dunia II sampai masa Thatcher di Inggris dan Reagan di AS. 

Perolehan pajak 

Dari mana pendanaan welfare state? Kebijakan pajak yang tinggi dibarengi dengan 
belanja sosial yang tinggi menjadi ciri khas welfare state. Di Swedia, Jerman, 
dan bahkan Inggris, perolehan pendapatan pemerintah (pajak dan nonpajak) 
mencapai lebih dari 30 persen dari PDB. Di Skandinavia bahkan perolehan pajak 
mencapai 50 persen dari PDB. Bandingkan dengan Indonesia, perolehan pajak dan 
nonpajak ditargetkan oleh pemerintah SBY-JK sebesar 19 persen PDB. Sementara 
belanja sosial hanya kurang dari 4 persen PDB. Untuk mendukung ekonomi dan 
pemenuhan hak-hak sosial ekonomi warga secara luas dan bermutu, birokrasi pajak 
dan pelayanan umumnya harus memiliki kinerja yang sangat baik. 

Pada perkembangan mutakhirnya (1980-1990), pemerintahan kubu konservatif 
Thatcher dan Reagan, merombak berbagai kebijakan welfare state di Inggris dan 
Amerika. Pajak yang tinggi atas modal dan investasi dikurangi. Swastanisasi 
berbagai pelayanan umum di Inggris terjadi. Di AS banyak tunjangan sosial yang 
diperketat syarat-syaratnya dan jumlah penerimanya dibatasi. Yang terjadi 
adalah penciutan dan perampingan dan bukan perlucutan atau penghapusan. 
Buktinya, hingga akhir periode 1990-an, pasca-Reagan dan Thatcher, tingkat 
pengumpulan pendapatan pemerintah dan belanja publiknya yang masih tinggi, di 
atas 30 persen PDB. 

Di Indonesia ada kepercayaan yang luas diyakini orang, tetapi sayangnya keliru: 
bahwa pajak yang tinggi dan belanja sosial yang tinggi mengurangi pertumbuhan 
ekonomi dan keunggulan ekonomi suatu bangsa. Ini adalah mitos belaka dan sudah 
waktunya dibuang jauh. 

Studi Peter H Lindert mungkin perlu disimak dengan serius. Studi raksasa itu 
memeriksa kecenderungan dan kaitan antara belanja sosial dan kinerja ekonomi 
berbagai negara sepanjang 200 tahun. Dalam bukunya Growing Public: Social 
Spending and Economic Growth since the Eighteenth Century Vol I, (Cambridge 
University Press), Lindert secara meyakinkan, melalui bukti-bukti historis dan 
faktual, memperlihatkan bahwa belanja sosial yang tinggi (dan pajak yang 
tinggi, tetapi proporsional) justru memperkuat ekonomi dan kemakmuran bersama. 
Contohnya adalah Swedia dan negara-negara Eropa. 

Pilihan Indonesia 

Welfare state barangkali menjadi mimpi kita semua. Namun, yang dimimpikan belum 
tentu yang dikerjakan/mampu dikerjakan. Negara kesejahteraan mungkin akan terus 
menjadi mimpi jika Indonesia gagal mengatasi dua kendala pokok. Kendala pokok 
pertama adalah terlalu kecilnya anggaran untuk belanja sosial. Pekerjaan rumah 
besar adalah melakukan pembalikan prioritas anggaran, dari pembayaran utang ke 
belanja kesehataan, pendidikan, dan penciptaan lapangan kerja. 

Kendala kedua adalah membuat birokrasi yang andal dan bersih. Negara 
kesejahteraan memerlukan birokrasi seperti itu untuk mendukung kegiatan ekonomi 
dan menyediakan pelayanan umum yang luas dan bermutu. Birokrasi yang terlalu 
berkuasa tetapi tidak andal dan tidak bersih, juga perizinan usaha yang 
berbelit, akan mematikan ekonomi dan melumpuhkan pelayanan-pelayanan umum. 

Di sisi lain birokrasi yang andal dan bersih sangat diperlukan oleh negara 
kesejahteraan untuk dapat memiliki dana yang cukup untuk membiayai 
belanja-belanja sosial. Tantangan Indonesia adalah bagaimana birokrasi bisa 
berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip well trained, well- paid, dan well 
supervised. Kebocoran dana-dana pajak dan nonpajak akan menjauhkan Indonesia 
dari cita-cita mewujudkan negara kesejahteraan. 

Sugeng Bahagijo Anggota Perkumpulan Prakarsa; Bukunya tentang Perkembangan 
Welfare State Akan Diterbitkan oleh LP3ES (2006) 


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Home is just a click away.  Make Yahoo! your home page now.
http://us.click.yahoo.com/DHchtC/3FxNAA/yQLSAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke