TEMPO  Interaktif
Sabtu, 27 Mei 2006 | 17:57:38 WIB 

Soeharto dan Rekonsiliasi Konstitusional
Jum'at, 12 Mei 2006 

TEMPO Interaktif, Jakarta: Rapat Presiden Yudhoyono dengan para pemimpin 
lembaga negara dan beberapa menteri kabinet akhirnya memutuskan akan 
menghentikan kasus hukum mantan presiden Soeharto (Koran Tempo, 11 Mei). 
"Ketegangan" politik ini mencuat diawali oleh kemunculan Soeharto yang tampil 
sehat sejahtera dalam pernikahan cucunya dan pertemuan dengan mantan Perdana 
Menteri Malaysia Mahathir Mohamad. Namun, Soeharto kemudian kembali masuk rumah 
sakit. Tak ayal, rasa kemanusiaan mengharuskan tokoh-tokoh politik menjenguk 
penguasa Orde Baru tersebut.

Hampir semua pernyataan yang sama kemudian muncul. Dua mantan Presiden RI, 
anggota DPR, dan Wakil Presiden menyatakan bahwa Soeharto sebaiknya diampuni 
dan dihentikan penyidikannya. Pernyataan yang lebih lugas malah muncul dari 
Jimly Asshiddiqie. Dia menyatakan, "Dipastikan saja. Harus ada ketegasan di 
antara kita sebagai bangsa untuk tutup buku mengenai masalah Pak Harto. Beliau 
mantan presiden, sudah uzur. Kita hormati, kita tempatkan dia dalam sejarah 
republik kita. Sebaiknya tidak usah ada pihak yang berpura-pura ingin 
mengusulkan pemeriksaan agar Soeharto diperiksa kembali, memeriksa, bahkan 
mengadili. Tapi nyatanya tidak. Itu hanya memberi harapan kosong." (Tempo 
Interaktif, 8 Mei).

Berpura-pura? Ya. Fenomena seperti itulah yang muncul, mulai masa Jaksa Agung 
A.M. Ghalib hingga kini. Publik hanya disuguhi wacana kesehatan, sakit 
permanen, dan unfit condition. Sikap "berpura-pura" ini sebenarnya tidak hanya 
merugikan publik, tapi menzalimi Soeharto sendiri yang hidup dengan 
ketidakpastian. Padahal Undang-Undang Dasar 1945 juga menjamin hak 
konstitusional Soeharto sebagai warga negara.

Model penegakan hukum "berpura-pura" terhadap dirinya membuatnya tidak dapat 
menikmati hak konstitusionalnya, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan 
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 
28-D UUD 1945). Hal ini pun berimplikasi bahwa Soeharto tidak dapat menikmati 
haknya atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan 
harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan 
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat (Pasal 
28-G UUD 1945).

Maka perdebatan terhadap kesehatan Soeharto sebaiknya dihentikan. Konstitusi 
sudah menegaskan kita adalah negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945), dan negara 
hukum itu sesungguhnya manusiawi hingga ke relung-relung nurani manusia. 
Soeharto bisa diampuni dan direhabilitasi, tapi proses hukum terhadapnya harus 
dilakukan agar bangsa ini tidak semakin menodai negara hukum dengan ternilai 
hanya sebatas untaian kalimat dalam UUD 1945.

Karena itu, hentikanlah wacana pengadilan in absentia terhadap Soeharto tidak 
dapat dilakukan. Metode interpretasi, konstruksi, dan hermeneutika hukum dapat 
dipakai untuk mengadili Soeharto tanpa kehadirannya (jika memang Soeharto 
enggan, atau alasan sakit untuk hadir di pengadilan). Sangat naif kalau pikiran 
penegakan hukum terhadap kasus Soeharto harus dipenjara oleh teks hukum 
sehingga harus membuang energi bangsa yang sangat besar selama delapan tahun. 
Bahkan setelah kematiannya suatu saat nanti, kasus Soeharto tetap menjadi 
misteri sejarah bangsa. Bukankah Presiden juga memiliki kewenangan mengeluarkan 
peraturan pemerintah pengganti undang-undang, yang substansinya dapat mengatur 
hukum acara yang sifatnya singkat untuk Soeharto? Karena itu, tesis 
"berpura-pura" itu dapat terhindarkan. Setelah proses hukum ranah kekuasaan 
yudikatif inilah, Presiden dapatlah memberikan grasi atau rehabilitasi terhadap 
Soeharto.

Solusi kroni, keluarga, dan konstitusionalisme

Dari segi hukum, proses peradilan Soeharto bukan main-main. Tap MPR Nomor 
XI/MPR/1998 dan Instruksi Presiden Nomor 30 Tahun 1998 adalah dasar hukum 
pengadilan Soeharto, bahkan termasuk keluarga dan kroni-kroninya. Maka kita 
jangan pula melupakan boncengan-boncengan Soeharto dalam dugaan berbagai kasus 
korupsi. Hal ini, selain disebabkan oleh keserakahan, karena corruption by 
system. Namun, tentunya negara hukum pun harus memprosesnya.

Kasihan anak cucu mereka yang harus didera sepanjang hidup tanpa kepastian 
hukum bagi ayah dan kakek-kakeknya yang sepanjang zaman akan mencacinya sebagai 
koruptor tanpa kejelasan oleh negara. Karena itu, bangsa ini sebaiknya 
memikirkan agar amanat Ketetapan MPR tersebut dapat dilaksanakan secara 
simultan, cepat, dan sederhana agar Tap MPR tersebut tidak terus-menerus 
menjadi noda hitam dalam kehidupan konstitusionalisme kita, yang tidak lain 
adalah berkemanusiaan yang adil dan beradab.

Presiden dapat saja mengeluarkan perpu untuk membuat hukum acaranya (dapat 
membonceng untuk dugaan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat) guna 
menggelar proses hukum amanat Tap MPR tersebut. Kemudian peraturan itu dapat 
diundangkan dan dicabut setelah semua proses tersebut rampung.

Tentunya drama kemanusiaan negara hukum ini belumlah mencapai klimaks mengingat 
Tap MPR tersebut masih tetap hadir. Sementara itu, perubahan konstitusi kita 
membuat MPR tidak dapat lagi bersidang untuk mencabut Tap MPR tersebut. Namun, 
konstitusi sebagai hukum tertinggi (hoogste wet) harus tetap ditegakkan.

Bagaimanapun, jika Tap MPR itu tak dicabut setelah amanat yang dikandungnya 
terlaksana, negara hukum konstitusional masihlah ternodai. Karena itu, Mahkamah 
Konstitusi sebagai lembaga pengawal konstitusi dapat memeriksa, mengadili, dan 
memutus Tap MPR tersebut, yang juga dapat mengikutkan Tap MPR atau produk hukum 
masa lalu yang bernada sama terhadap mantan presiden Soekarno. Ketika klimaks 
putusannya harus dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam sebuah forum yang 
dihadiri resmi (joint session) oleh MPR, Presiden/Wakil Presiden, Mahkamah 
Agung, Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Nasional Hak Asasi 
Manusia, lembaga negara lainnya, para mantan presiden, para gubernur, pers, 
tokoh lembaga swadaya masyarakat, mahasiswa, perwakilan korban Orde Baru, dan 
elemen masyarakat lainnya yang dianggap penting, tentunya teknologi informasi 
dapat membuat forum ini menjadi pentas nasional bagi seluruh rakyat.

Di sinilah pentas rekonsiliasi/rehabilitasi konstitusional tersebut menjadi 
klimaks yang diharapkan berakhir dengan jabatan tangan dan pelukan kemanusiaan 
sesama anak bangsa. Ini semua dilakukan untuk bersama menatap ke depan, yang 
tidak berarti mengurangi oposisi dan kritik kita terhadap pemerintah saat ini.

A. Irmanputra Sidin, Analis Konstitusi Universitas Indonusa Esa Unggul 






[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Home is just a click away.  Make Yahoo! your home page now.
http://us.click.yahoo.com/DHchtC/3FxNAA/yQLSAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke