http://www.sinarharapan.co.id/berita/0605/30/opi01.html



Kompetensi Badan POM Melindungi Masyarakat  
Oleh
Slamet Soesilo

Cikal bakal Badan POM (Pengawasan Obat dan Makanan) adalah Direktorat Jenderal 
(Dirjen) Farmasi yang lingkup tugasnya semula adalah pengelolaan suplai 
kefarmasian untuk kesehatan sektor publik. Lingkup tugas tersebut pada tahun 
70-an mulai bergeser ke pengawasan dan pengendalian obat. 

Lalu lingkup itu ditambah dengan tugas pengawasan dan pengendalian makanan dan 
kosmetika. Namanya pun diubah menjadi Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan (POM).

Obat memegang peran yang penting dalam menyelamatkan jiwa manusia. Namun, 
sebagian besar masyarakat tidak mempunyai akses terhadap obat yang sangat 
dibutuhkan yang oleh WHO disebut obat esensial. WHO memperkirakan sepertiga 
dari penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap obat esensial; di Asia-Afrika 
bahkan diperkirakan setengah dari penduduk. Setiap tahun jutaan anak maupun 
dewasa meninggal karena penyakit yang seharusnya dapat dicegah dengan obat 
esensial yang harganya relatif terjangkau. 

Sementara itu di banyak negara, terutama negara berkembang, tidak terdapat 
sistem quality assurance (penjaminan mutu) karena legislasi yang tidak memadai 
maupun tidak ada atau tidak berfungsinya badan pengendali dan pengawas obat 
yang oleh WHO disebut "Drug Regulatory Authority" (DRA). Akibatnya, masyarakat 
menggunakan obat yang bermutu rendah yang di farmasi dikenal sebagai obat 
substandar maupun obat palsu. 

Masyarakat tidak mampu menilai mutu obat dan oleh karena itu perlu ada DRA yang 
berfungsi dengan baik. Penduduk yang memiliki akses terhadap obat seringkali 
juga menerima obat yang tidak tepat atau dalam dosis yang tidak tepat, yang 
dikenal dengan penggunaan obat yang irasional. 
Banyak yang menerima resep atau membeli obat yang tidak tepat; menggunakan 
beberapa obat sekaligus yang seharusnya cukup dengan satu jenis atau 
menggunakan obat yang mengandung risiko sementara terdapat alternatif yang 
aman. 


Konas 
Pada tahun 1983 diterbitkan Kebijaksanaan Obat Nasional (Konas). Indonesia 
termasuk yang pertama merumuskan kebijaksanaan tersebut, sedangkan WHO baru 
menerbitkan pedoman "drug strategy" pada 1988. Konas 1983 menjadi pedoman untuk 
penetapan kebijaksanaan, perumusan legislasi dan regulasi, serta penyusan 
rencana strategis jangka panjang. 

Konas menjadi pedoman penerapan pemantapan registrasi obat, Daftar Obat 
Esensial Nasional (DOEN), pengembangan penggunaan obat generik, pengembangan 
fungsi pengawasasan dan pengendalian obat antara lain melalui penerapan sistem 
quality assurance, serta pengembangan jaringan laboratorium pemeriksaan mutu.

Berdasarkan Konas, penggunaan obat yang irasional diatasi baik melalui 
regulasi, manajerial, maupun komunikasi-informasi-edukasi (KIE). Pendekatan 
regulasi antara lain dilaksanakan dengan peningkatan registrasi obat. 

Obat yang telah terdaftar dievaluasi sesuai kriteria yang ditetapkan 
berdasarkan Konas. Sebagai hasil evaluasi kembali obat yang beredar, dilakukan 
penarikan beberapa obat dari peredaran pada 1984, dilanjutkan penarikan 283 
merek obat pada November 1991. 

Penarikan obat pada 1991 mendapat tentangan yang dahsyat dari segala pihak, 
termasuk anggota PPOJ (Panitia Penilai Obat Jadi) sendiri yang dibentuk Dirjen 
POM untuk evaluasi obat, padahal pendaftaran obat yang sama telah ditolak PPOJ. 

Bukankah kalau obat tersebut tidak ditarik dari peredaran berarti memberikan 
perlindungan pasar karena pendaftaran obat saingannya ditolak? Pendekatan 
manajerial ditempuh dengan penggunaan obat DOEN dan obat generik dalam suplai 
obat sektor publik. 

Kebijaksanaan ini telah diterapkan 100% dalam suplai obat Inpres waktu itu, dan 
sebagai hasilnya survei WHO menunjukkan bahwa anggaran pemerintah untuk obat 
yang hanya 20% dari seluruh belanja obat nasional telah mampu meliput sekitar 
70% dari penduduk. Di sini, efisiensi anggaran pemerintah tampak nyata. Sarana 
kesehatan sektor publik waktu itu diharuskan menggunakan obat DOEN dan obat 
generik. 

Pendekatan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) ditempuh dengan beberapa 
kegiatan di Puskesmas dan tingkat kabupaten dan sebagai hasilnya survei WHO 
menunjukkan banyak perbaikan dalam penulisan resep di Puskesmas antara tahun 
1997 hingga 2002. Sayangnya, penulisan resep secara rasional yang dikembangkan 
di Puskesmas tidak diikuti oleh pelayanan kesehatan sektor swasta. Di sini, 
faktor pendidikan tenaga kesehatan merupakan salah satu faktor yang menentukan. 

Untuk meningkatkan aksesibilitas obat oleh masyarakat telah dilakukan 
pengendalian harga pada tahun 1984, yang menurut KONAS merupakan rasionalisasi. 
Pekerjaan ini banyak memakan tenaga dan mengalami kegagalan terutama karena 
faktor inflasi sehingga dari waktu ke waktu produsen harus menyesuaikan harga. 
Akibatnya dalam waktu satu tahun, registrasi obat telah meningkat dua kali 
lipat karena produsen terdorong untuk mengajukan pendaftaran dulu obat yang 
belum tentu akan diproduksinya. 


Kelemahan Undang-undang 
Karena pendekatan dari segi suplai mengalami kegagalan, pendekatan dari segi 
demand ditempuh dengan penerapan penggunaan obat generik yang dicanangkan pada 
tahun 1989. Kebijaksanaan ini dimulai dengan persiapan yang matang untuk 
menjamin mutu obat generik. Ternyata kebijaksanaan ini telah berhasil dengan 
baik yang ditunjukkan dengan meningkatnya penggunaan obat generik. 

Hambatan utama dalam penerapan Konas adalah keterbatasan sumber daya dan 
infrastruktur. Inilah rupanya yang mendorong perubahan dari Direktorat Jendral 
POM menjadi Badan POM. 
Hambatan besar lainnya adalah penegakan hukum. Seringkali pemalsu obat yang 
telah ditangkap keesokan harinya sudah melenggang bahkan mengancam produsen 
obat yang dipalsunya. Di samping itu juga, ada kelemahan dalam peraturan 
perundang-undangan karena sanksinya tidak memberi efek jera.

Dalam penggunaan obat yang rasional, hambatan utama adalah dalam pendidikan 
tenaga kesehatan yang tidak pernah mengajarkan pengetahuan mengenai obat 
esensial serta penerapan standar pengobatan yang didasarkan evidence based. 
Faktor yang sangat menentukan juga promosi obat yang tidak etis.
WHO memakai istilah Drug Regulatory Authority (DRA), karena organisasi dan 
kedudukan pengawasan pengendalian obat di setiap negara berbeda-beda. Ada 
badan, ada dirjen, dan lain-lainnya. 

Penetapan kepalanya bermacam-macam, ada yang merupakan political appointment 
sehingga ada nonprofesi dari partai yang memegang kedudukan ini, dan profesi 
pemangku jabatan ini pun bermacam-macam. 
Dalam International Conference Among Drug Regulatory Authorities (ICDRA) yang 
saya ikuti sejak yang pertama pada 1980 di Anapolis, Amerika Serikat, hingga 
yang ketujuh di Orlando pada 1994, saya berjumpa dengan sejawat, seperti Prof. 
Shirota dari Jepang yang seorang pharmacist. Kepala DRA Jepang yang sekarang 
pun masih seorang pharmacist, yaitu T. Kurokawa. Di Asean, para kepala DRA 
seperti Yeap Boon Chai dari Malaysia, Tan Kiok K'ng dari Singapura, Pakdee 
Pothisiri dari Thailand serta dari Filipina (saya lupa namanya) adalah 
pharmacist. 

Perlu dikemukakan bahwa bidang farmakalogi juga merupakan bidang pendalaman 
dari pharmacist seperti yang tampak pada para sejawat yang bekerja untuk INRUD 
(International Network on Rational Use of Drug). 

Dalam hal ini boleh dikatakan bahwa ketepatan menduduki jabatan Kepala Badan 
POM tidak tergantung dari profesinya, tapi yang perlu adalah wawasan yang harus 
mencakup berbagai aspek bidang farmasi baik aspek sosial, teknologi, maupun 
ekonomi. 

Penulis adalah mantan Dirjen POM dan anggota WHO Expert Committee on National 
Drug Policies

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Home is just a click away.  Make Yahoo! your home page now.
http://us.click.yahoo.com/DHchtC/3FxNAA/yQLSAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to