http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=231587
Sabtu, 17 Juni 2006, Pembukaan Kembali Kasus Soeharto Oleh Samsul Wahidin Surat Keputusan Penghentian Proses Penyidikan (SKP3) yang dikeluarkan Kejaksaan Agung terhadap kasus Pak Harto diperkarakan oleh aliansi yang secara hukum dinilai punya kompetensi menggugat (bekwaam). Putusannya, SKP3 tersebut dinilai hakim tidak sah dan batal demi hukum. Artinya, kasus Pak Harto dapat (dan bahkan hakim memerintahkan) untuk dibuka kembali. Lalu, apa implikasi hukum ke depan berkenaan dengan putusan dibukanya kembali kasus Pak Harto itu? Alasan yuridis keluarnya SKP3, atau sebenarnya makna lain dari penghentian penyidikan sebagaimana disebut dalam KUHAP, itu merupakan wewenang kejaksaan untuk menutup perkara demi hukum (pasal 14 huruf h) selain secara praktis tidak cukup bukti dan peristiwa itu bukan merupakan tindak pidana. Oleh koalisi penggugat, kasus Pak Harto dinilai tidak termasuk di dalam salah satu dari ketiga kualifikasi tersebut dan kepada hakim diminta agar SKP3 dibatalkan. Kendati putusan tersebut disambut gembira khususnya oleh korban yang mendukung penuh dibawanya kasus Pak Harto ke pengadilan, kasus itu belum final. Berdasar KUHAP, putusan itu masih dapat dimintakan banding ke pengadilan tinggi yang merupakan instansi terakhir yang memeriksa dan mengadili perkara yang digelar melalui sidang praperadilan dengan hakim tunggal (yo pasal 83 ayat 2). Hal itu merupakan gambaran bahwa perkara tersebut masih berada pada tahap prosedural di samping merefleksikan mekanisme keadilan yang ingin dituju untuk memecahkan suatu masalah prosedur hukum secara cepat. Karena itu, ada beberapa kemungkinan implikasi hukum yang bersifat prosedural dan substansial dari putusan PN atas kasus itu. Prosedural Implikasi prosedural yang mengemuka dari bergulirnya kasus tersebut ialah kemungkinan dikuatkannya putusan PN oleh pengadilan tinggi. Hal itu berarti baik fakta maupun pertimbangan hukum yang diambil peradilan tingkat pertama diakomodasi pengadilan tinggi yang merupakan instansi yang memberikan putusan final. Hal itu berarti putusan pengadilan banding mendukung dalil-dalil yang disampaikan penggugat. Makna praktisnya, kasus Soeharto harus dibuka kembali dan kejaksaan wajib melanjutkan penyidikan atau tuntutan (pasal 83 ayat 2 huruf b). Kalau ternyata PT mementahkan putusan PN, itu berarti koalisi yang mengajukan gugatan agar kasus Pak Harto dibuka kembali hasus menerima kenyataan bahwa kasus Pak Harto ditutup untuk selamanya karena kasus yang sama tidak boleh diajukan kembali (ne bis in idem). Apa pun yang akan diambil sebagai putusan oleh pengadilan banding, prosedur yang akan ditempuh itu menjadi gugur demi hukum ketika tersangka yang menjadi subjek hukum yang harus bertanggung jawab meninggal dunia. Namun, yang mengemuka selama ini adalah pertimbangan apakah Pak Harto sehat atau tidak untuk dapat dimintai pertanggungjawaban hukum. Prosedur yang mengemuka selama ini juga menyoal apakah sakit permanen dapat dijadikan alasan untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan. Tampaknya, Kejaksaan Agung mengambil keputusan spekulatif dengan menjadikan sakit permanen sebagai dasar untuk menghentikan proses penyidikan dan penuntutan. Jika hal itu diakomodasi pengadilan, berarti melegitimasi kemungkinan baru atas KUHAP yang hanya memperkenankan tiga alasan sebagai dalil untuk menghentikan penuntutan. Apa pun namanya, SP3 atau SKP3, substansinya sama -tetap sama-sama menghentikan proses hukum yang berimplikasi kepada terbebasnya seseorang dari pertanggungjawaban secara hukum terhadap perbuatan yang diduga kuat bermuatan pidana dan adagiumnya harus disidangkan demi hukum kendati esok langit runtuh. Substansial Implikasi substansial berkenaan dengan dikabulkannya tuntutan untuk membuka kembali kasus Pak Harto sungguh luas. Beberapa di antaranya, pertama, kasus Pak Harto itu sebagai bottle neck (tutup botol) atas bebagai kasus lain. Dalam perspektif hukum, kasus-kasus perdata akan sangat mudah digelar jika sudah ada putusan peradilan pidana yang menyatakan seseorang bersalah. Kalau saja peradilan Pak Harto digelar, baik dengan kehadiran maupun in absensia dan kemudian dinyatakan terbukti bersalah (dihukum atau tidak), itu akan membawa implikasi keperdataan yang luas. Bukti pernyataan bersalah oleh hakim pidana menjadi dalil kuat untuk proses dalam lapangan keperdataan. Kedua, dalam hukum, Pak Harto merupakan key person yang darinya akan berkembang menjadi begitu banyak kasus yang bisa mengikuti. Seperti kasus Tommy dalam perkara pembebasan pajak atas PT Timor. Sumber pembebasan pajak ialah keputusan presiden dan itu harus dipertanggungjawabkan kepada yang mengeluarkan keputusan, yaitu Pak Harto sebagai presiden. Dengan tidak dinyatakan bersalahnya Pak Harto, setidaknya, jalan untuk menjerat Tommy dalam kasus itu akan lebih melingkar panjang. Artinya, implikasi dibukanya kembali kasus itu mempermudah penuntutan berbagai kasus lain yang jumlahnya bisa sangat banyak. Ketiga, dalam sistem pertanggungjawaban pidana, ada asas batasan atas pertanggungjawaban sesuai dengan porsi masing-masing. Dengan ditutupnya kasus Pak Harto, berbagai kasus yang dilakukan kroni-kroninya, baik dalam kapasitas pertanggungjawaban Pak Harto dan yang lain sebagai pelaku (pleger) maupun menyuruh melakukan (doen plegen), turut melakukan (medepleger), atau uitloker (pasal 55 KUIHP) menjadi terbuka. Artinya, meskipun, misalnya, Pak Harto tidak dapat dimintai pertanggungjawaban, namun ke hilir, kroni-kroninya tetap dapat dimintai pertanggungjawaban hukum. Sementara, hal itu tidak akan dapat dilakukan, atau sekurangnya, jalannya lebih panjang ketika kasus Pak Harto ditutup. Keempat, pembukaan kembali kasus Pak Harto dengan serta merta memberikan legitimasi yang luas untuk para penegak hukum agar segera menentukan langkah dengan tidak semata memusatkan perhatian kepada kasus tersebut. Kendati kasus itu menjadi bottle neck, bukan berarti kasus lain yang berhubungan dengan kebijakan yang dibuat Pak Harto tidak dapat diajukan ke pengadilan. Bahwa kemudian harus ada keterkaitan dengan adanya keharusan menghadapkan saksi kunci (Pak Harto) karena berbagai kebijakan yang telah diambil, hal itu dihitung belakangan. Aspek Politik Kekentalan legitimasi politis atas kasus Pak Harto merupakan hal yang tak bisa dielakkan. Pada dasarnya, akan terus terjadi semacam pertarungan kekuatan dengan kepentingan masing-masing untuk meneruskan atau menghentikan kasus Pak Harto. Cermin ini bisa disimak dari keputusan Presiden SBY yang melalui proses keraguan hingga sampai pada keputusan untuk mengendapkan kasus tersebut sementara waktu (entah sampai kapan). Secara politis, ada bahasa yang tidak sinkron antara apa yang disampaikan presiden untuk mengendapkan kasus Pak Harto dan dikeluarkannya SKP3. Riilnya, hanya presiden dan jaksa agung yang bisa mengklarifikasi ketidaksinkronan itu. Namun, kepastian untuk mengendapkan kasus itu telah dilakukan dan tidak akan dicabut dalam waktu dekat. Apa lagi urusan pemerintah khususnya presiden tidak semata masalah itu saja. Berbagai kasus lain juga memerlukan sikap presiden untuk memastikan apakah kasus-kasus itu diselesaikan berdasar hukum atau diselesaikan berdasar sikap politis. Prof Dr Samsul Wahidin SH MH, guru besar Ilmu Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> See what's inside the new Yahoo! Groups email. http://us.click.yahoo.com/si.u7A/bOaOAA/Zx0JAA/uTGrlB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/