http://www.indomedia.com/bpost/062006/20/opini/opini2.htm
Wartawan, Siapa Melindungi? AKHIR 1970-an, terjadi hal yang tidak mengenakkan bagi pers. Beberapa wartawan yang akan bertugas meliput kelaparan di salah satu desa di Jawa, harus bergerilya bak seorang pejuang yang masuk ke daerah musuh. Mulai camat, mantri polisi (sekarang Kepala Polisi Pagar Praja) sampai lurah dan aparat desa siaga penuh mencegat masuknya wartawan yang tercium lebih dulu. Melalui jalan desa, mereka dicegat camat. Lewat jalan setapak ada mantri polisi dan menyusuri sungai yang kering dihadang lurah. Tujuan mereka cuma satu, jangan sampai musibah kelaparan dengan penderita busung laparnya muncul di koran, sebab akibatnya bisa fatal. Lurah, camat dan seterusnya bisa lengser. Tapi mereka kalah sabar dengan wartawan, sehingga berita kelaparan itu muncul juga di koran dan ... tak lama kemduian camatnya diganti. Pada tahun-tahun akhir 1970-an itu adalah masa jayanya pemerintahan Orde Baru (Orba). Tak ada satu pun yang berani melawan Soeharto. Semua aparat dari bawah sampai atas harus seia sekata bahwa pemerintahan Orba berhasil. Kebetulan saat itu penghasilan dari minyak masih bagus, banyak proyek dibangun sampai ke desa-desa. Pemenuhan sandang, pangan dan papan adalah tolok ukur keberhasilan pada waktu itu. Karena itu, kasus kelaparan harus disimpan rapat-rapat. Lebih-lebih kalau ada penderita busung lapar. Wartawan harus siap untuk tidak memberitakan, kalau penguasa menghendaki. Dalam masa otonomi daerah (otda) seperti sekarang, ukuran tingkat keberhasilannya berbeda. Tingginya angka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), utamanya lagi Pengasilan Asli Daerah (PAD) menjadi tolok ukur utama. Kelaparan, busung lapar, wabah penyakit, kebodohan bukan lagi ukuran. Karena itu, walau sekarang kelaparan atau wabah penyakit terjadi di sejumlah daerah, pemerintah setempat tetap tenang. Mereka malah lebih mempersoalkan kemunculan beritanya daripada kasusnya. Ada kepala daerah yang begitu dilantik lantas berpikir untuk masa jabatan kedua, sampai-sampai harus perang dingin dengan wakilnya yang berasal dari partai lain karena saling berebut pengaruh. Mereka tetap berkepentingan agar berita yang muncul di koran selalu yang baik-baik saja, sehingga bisa menjadi modal pada pemilihan kepala daerah yang akan datang. Apa yang kita uraikan di atas adalah untuk menggambarkan betapa berita di koran itu penting, tetapi wartawan tidak selalu menjadi 'orang penting'. Kalau perlu kehadirannya ditolak, dicegat sana cegat sini, dicaki maki dan sumpah serapah. Terakhir adalah kasus dihajarnya 10 wartawan dari Jakarta oleh orang tak dikenal, saat mereka yang diundang Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur itu memasuki wilayah Kabupaten Kutai Kertanegara, kabupaten terkaya di Indonesia. Tanpa komentar apa pun, sekitar 15 orang yang membuntuti dengan kendaraan lain dan menyergap wartawan yang tengah melihat-lihat sambil memotret suasana. Wartawan tidak siap dan hanya berteriak-teriak. Sementara orang-orang tak dikenal yang bersikap seperti preman itu, seenaknya memukuli wartawan. Setelah selesai mereka pergi tanpa merebut apa pun barang wartawan. Kabarnya polisi kini tengah mengusut peristiwa itu, tetapi rasanya pesimis saja untuk mengungkap kasus ini. Sampai sekarang kasusnya masih gelap, tidak jelas apa latar belakangnya. Yang pasti wartawan gagal masuk ke daerah itu. Siapa sebenarnya yang harus melindungi tugas wartawan? Wartawan Harian Bernas Yogyakarta, Udin, tewas dianiaya setelah diambil dari rumahnya pada malam hari. Di Jawa Timur, ada wartawan ditemukan tewas dengan banyak luka. Begitu pula di Sumatera Utara. Semua itu berlatar pemberitaan. Itu memang bagian dari risiko, tetapi wartawan juga berhak mendapat perlindungan dalam tugasnya. Selama ini undang-undang hanya membatasi gerak wartawan agar beritanya tidak sampai melanggar ketentuan perundangan. Tetapi tidak ada yang mengatur bagaimana melindungi wartawan yang melakukan tugas jurnalistik. Kita sepaham, sekarang demikian banyak media massa dengan jumlah wartawan yang tidak terbilang lagi. Di antara mereka ada yang hanya memanfaatkan profesi wartawan untuk mencari keuntungan sendiri. Kita setuju, wartawan seperti ini dihukum karena mereka tidak punya karya jurnalistik. Mereka hanya mencari uang dengan berkedok wartawan. Tetapi wartawan yang benar-benar menjalankan profesinya tentu harus mendapatkan perlindungan. Publik internasional sampai saat ini masih terus mempersoalkan tewasnya seorang wartawan dari Australia di Timor Timur, menjelang jajak pendapat. Artinya, ada kewajiban moral dari mereka untuk melindungi wartawan. Di Indonesia justru terbalik, wartawan yang tengah bertugas bisa disatroni daripada membuka borok yang bisa memberikan citra buruk bagi penguasanya. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Life without art & music? Keep the arts alive today at Network for Good! http://us.click.yahoo.com/9I_uBB/YPaOAA/Zx0JAA/uTGrlB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/